1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bush: Iran Pendukung Utama Teror

13 Januari 2008

Dalam rangkaian kunjungannya ke Timur Tengah awal tahun ini, Presiden Amerika Serikat George W. Bush kembali menyebut Iran sebagai ancaman perdamaian dunia.

https://p.dw.com/p/Cp8K
Presiden Uni Emirat Arab Sheik Khalifa bin Zayed Al Nahyan (kanan) dan Presiden AS George W. Bush (kiri) usai pertemuan di Istana Al Mushref, Ahad (13/01) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Presiden Uni Emirat Arab Sheik Khalifa bin Zayed Al Nahyan (kanan) dan Presiden AS George W. Bush (kiri) usai pertemuan di Istana Al Mushref, Ahad (13/01) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.Foto: AP

Ketika Presiden Amerika Serikat George W. Bush mendarat di Abu Dhabi, tanah Uni Emirat Arab baru saja dibasahi hujan pertama di tahun 2008. Pertanda baik, katanya.

Bush tentu saja memerlukan pertanda baik itu karena saat ini ia merupakan satu orang yang paling tidak disukai di kawasan Timur Tengah. Apalagi Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik tersebut selama ini sangat pro Israel dan dianggap otomatis anti Palestina. Belum lagi Bush juga dikenal sebagai pencipta kekecauan Irak, tamak minyak bumi, dan penganut aliran Kristen yang sangat kanan dan cenderung fundamentalis.

Dalam pidatonya di Abu Dhabi, Presiden George W. Bush memuji umat Muslim sebagai warga yang bertoleransi tinggi. Namun ditambahkannya, saat ini agama disalah-gunakan para ekstremis yang menjalankan teror dan pembunuhan.

Sebagaimana bisa diduga, Bush kembali melantunkan lagu lama yang nadanya menudingkan telunjuk ke Iran. Disebutnya, Iran berperan besar dalam maraknya kekacauan di Timur Tengah.

Seperti yang diutarakan Bush, “Salah satu penyebab ketidakstabilan adalah para ekstremis yang didukung dan dibentuk oleh rezim yang berkuasa di Teheran. Sekarang ini Iran merupakan negara utama pendukung teror. Pemerintah Iran mengirimkan dana jutaan dolar kepada kalangan ekstremis di seluruh penjuru dunia. Sedangkan rakyat di negaranya sendiri menghadapi kesulitan dan tekanan ekonomi.“

Bush benar-benar menggunakan lawatan Timur Tengahnya yang terakhir ini sebagai upaya memantapkan sikap anti Iran di kalangan para sekutunya di Timur Tengah. Presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya di musim gugur tahun ini menyerukan agar negara-negara Arab sekutunya yang selama ini menjadi seteru Iran, untuk secara tegas mengambil sikap terhadap Iran yang disebutnya sebagai bahaya yang mengancam keamanan dunia.

“Amerika Serikat akan terus memperkuat komitmen di bidang keamanan dengan negara-negara sahabat di kawasan Teluk dan menyerukan semua negara sahabat untuk bersama menghadapi bahaya ini sebelum terlambat,“ ujar Bush.

Bush juga mengulang pernyataannya mengenai Al Kaida, Taliban, dan sekutunya yang disebutnya menghancurkan Irak, Afghanistan, dan kawasan Timur Tengah dengan berbagai aksi kekerasan berdarah. Bush menuding kaum ekstremis berambisi merakit senjata pemusnah massal.

Bush tidak menyebut Suriah dalam kaitannya dengan Iran. Walau pun Sabtu sehari sebelumnya, di Kuwait Presiden Amerika Serikat ke-43 itu sempat menyerukan Suriah untuk menghentikan dukungan terhadap milisi dan teroris.

Di Kuwait Bush mengunjungi pangkalan militer Amerika Serikat dan mendapatkan informasi baru dari Jenderal David Petraeus bahwa Suriah siap bekerja sama.

Di Abu Dhabi, Bush menegaskan bahwa perlawanan melawan ekstremisme merupakan perjuangan ideologis saat ini. Senjata yang paling ampuh adalah semangat meraih kemerdekaan dan keadilan. Dia mencontohkan pemilu di Irak dan pemilihan presiden di Palestina sebagai wujud nyata keinginan itu.

Lebih lanjut Bush, “Dan kita juga melihat keinginan itu dalam laporan para jurnalis pemberani yang lantang dealam pemberitaannya untuk menentang teror, penindasan, dan ketidakadilan. Kita saksikan juga semangat itu pada masyarakat awam di seantero Timur Tengah, yang muak dengan kekerasan, korupsi dan janji kosong, dan menjatuhkan pilihan mereka pada masa depan yang bebas tatkala mereka berkesempatan memilih.“

Namun Bush juga mengeritik negara-negara Arab yang terus menjalankan pembungkaman, memenjarakan jurnalis dan aktivis demokrasi, membatasi hak-hak warganya, melakukan kecurangan dalam Pemilihan Umum.

Bush juga menepuk dada pada kepemimpinan Amerika Serikat dalam mengupayakan perdamaian yang langgeng antara Palestina dan Israel. Bush kembali menegaskan dukungannya pada pembentukan segera negara Palestina.

“Negara Palestina yang mandiri, berjalan baik, demokratis, dan cinta damai tidak sekadar impian bagi warga Palestina. Itu juga merupakan jaminan perdamaian bagi semua negara tetangganya, dan warga Israel memahami hal ini. Pemimpin kedua pihak memang masih harus mengambil banyak keputusan sulit, dan mereka harus mewujudkan keputusan-keputusan itu dalam tindakan nyata. Sudah tiba waktunya bagi Tanah Suci, bahwa warga Palestina dan Israel hidup berdampingan secara damai.“