1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Bukan Pribumi Biasa

24 Oktober 2017

Betapa mudahnya para hantu muncul di Indonesia. Setelah komunisme, persoalan pribumi merupakan arwah berikutnya yang dibangkitkan dari kuburan sejarah. Opini Ben Sohib.

https://p.dw.com/p/2mHqY
Massaker von Batavia Hinrichtung chinesischer Gefangener
Foto: Public Domain

Persoalan pribumi merupakan arwah berikutnya yang dibangkitkan dari kuburan sejarah dalam dua bulan terakhir ini dan bergentayangan dalam kehidupan berbangsa. Kita belum tahu arwah apa lagi yang hendak "dipanggil” dalam waktu dekat ini.

Adalah Anies Baswedan yang berperan sebagai sang pemanggil arwah kali ini. Terlepas dari apakah itu sekadar keteledoran dalam memilih diksi, deklarasi penegasan kesetiaan pada sebagian pendukungnya yang selama ini berjuang dengan bendera agama dan ras, pesan tersirat yang diniatkan sebagai investasi politik untuk jabatan yang lebih tinggi di masa depan, atau memang cerminan dari apa yang mengendap jauh di lubuk kesadarannya (hanya Anies, Tuhan, dan hantu itu sendiri yang tahu), faktanya, kata "pribumi” yang terlontar dari mulut "Sang Gubernur Muslim” itu telah ikut berperan dalam memperbesar kobaran bara rasial di Indonesia.

Penulis: Ben Sohib
Penulis: Ben SohibFoto: Privat

Ujaran kebencian dan laku kekerasan berbasis SARA yang memang sudah memanas seiring meningkatnya politik identitas semenjak pemilu 2014, sekarang tampaknya akan menjadi lebih mendidih lagi. Berbagai reaksi dan klarifikasi yang eksesif baik dari para penentang maupun pendukung Anies atas kata "pribumi” yang ia gunakan dalam pidato pelantikannya, kian membuat segregasi dan permusuhan sesama anak bangsa menajam. Tiba-tiba saja kita dilemparkan ke dalam arena pertarungan babak baru: pribumi versus non-pribumi. 

Jika sebelumnya sejumlah politisi kanan di Indonesia mengumbar peringatan bahaya dominasi "Aseng” yang merujuk pada Republik Rakyat Cina nun jauh di sana, kini alarm tanda bahaya secara terang-terangan sepertinya dibunyikan guna mewaspadai anak bangsa Indonesia etnis Tionghoa. Sungguh ini merupakan upaya penajaman mata pisau konflik yang dramatik.

Term rasial peninggalan masa lalu

Pribumi sesungguhnya merupakan term rasial peninggalan masa lalu (masa kolonial) yang ditinggalkan oleh Indonesia seiring dengan runtuhnya rezim orde baru. Sebelum reformasi, kata pribumi umumnya digunakan untuk membedakan warga "asli” dengan warga etnis keturunan Cina yang biasa disebut dengan warga non-pri. Lalu gerakan reformasi memberikan kesadaran baru bagi Indonesia dalam menggariskan batas identitas warga bangsanya. Trauma kerusuhan rasial Mei 1998 melahirkan zeitgeist baru; dorongan untuk membangun rumah bersama bernama Indonesia, rumah yang aman bagi seluruh penghuninya.

Maka secara formal Indonesia tak lagi menggolongkan warga yang satu sebagai pribumi dan yang lainnya sebagai non- pribumi. Penggunaan istilah itu menjadi terdengar kasar dan rasis. Pergeseran rasa bahasa atas diksi itu, merupakan konsekuensi yang sehat dari perubahan cara pandang terhadap batas identitas pemilik sah negara ini. Tak boleh lagi warga yang satu merasa lebih berhak memiliki Indonesia dibanding warga yang lain. Nama, wajah, warna kulit, bentuk mata, bentuk hidung, dan asal usul nenek moyang,  tak menjadikan seseorang lebih atau kurang Indonesia dari yang lain.

Tak ada yang benar-benar asli Indonesia

Tak ada yang sungguh-sungguh pribumi. Semua suku dan etnis yang ada di Indonesia merupakan pendatang dari tanah-tanah yang jauh, terlepas dari siapa yang lebih awal dan siapa yang lebih akhir datang. Runtuhnya rezim otoriter orde baru dan munculnya sistem demokrasi memberikan tawaran baru bahwa hak dan kewajiban semua warga negara adalah sama, tak peduli asal-usulnya.

Dengan kata lain, sejak saat itu dan saat seterusnya, istilah pribumi dan non-pribumi berikut konsekuensi hukumnya dinyatakan tak berlaku lagi. Sebagai gantinya, demokrasi membuka pintu yang sama lebar bagi semua warga negara Indonesia. Maka, etnis Tionghoa yang selama ini hanya fokus dalam ranah perolehan ekonomi tapi terpencil dari partisipasi politik, mulai tergerak untuk berperan serta dalam kontestansi kekuasaan melalui jalur formal.

Namun demokrasi membawa paradoksnya sendiri. Sejak awal, pintu yang sama telah dimanfaatkan untuk masuknya ormas-ormas fasistik yang mengibarkan bendera agama dan ras. Selanjutnya, pertalian fasisme dan kepentingan politik menimbulkan berbagai riak intoleransi serta gelombang rasisme di banyak tempat di Indonesia. 

Kartu primordial dimainkan untuk meraih kemenangan

Politik identitas menjadi gegap gempita sebagai cara paling ampuh meraih dukungan. Kartu primordial dimainkan untuk meraih kemenangan, membiarkan toleransi dan keutuhan bangsa terkapar sebagai korban. Dan semangat zaman berubah secepat membalik telapak tangan. Belum genap seperempat abad reformasi menggaungkan penghapusan dikotomi pribumi dan non-pribumi, sekarang tiba-tiba identifikasi rasistik itu muncul lagi dengan keriuhan yang memekakkan. Yang satu melecehkan etnis Tionghoa, yang lainnya mengolok-olok etnis keturunan Arab, yang lainnya lagi menghina etnis yang lain lagi, dan seterusnya. Betapa banyak yang hatinya terluka.

Mungkin apa yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari pertarungan dua gelombang kesadaran di tingkat global: fasisme melawan liberalisme. Kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dengan memanfaatkan isu identitas, maraknya serangan teror ISIS di kota-kota dunia, menguatnya partai-partai dan kelompok ultra kanan semacam Pegida di Eropa, di satu sisi, dengan kemenangan Angela Merkel di Jerman, Mark Rutte di Belanda, dan Emmanuel Macron di Perancis melawan partai-partai yang mengusung kebijakan anti imigran dan anti Islam, gelombang penerimaan pengungsi Suriah di Jerman dan beberapa negara Eropa,  gerakan sosial semacam Doctors Without Borders, semboyan dan  cita-cita Citizen of The World, dll, di sisi lain, merupakan peta pergulatan yang bisa memberi kita sedikit gambaran tentang apa yang terjadi. 

Di atas semua itu, berbagai penemuan baru di bidang DNA, secara mengejutkan telah memberitahu kita bahwa pada dasarnya kita semua bersepupu. Seluruh manusia berasal dari "etnis” yang sama. Hanya saja kemudian kita menjadi penuh warna lantaran moyang kita "melakukan” Out of Africa.

Dengan demikian, sungguh ketinggalan zaman jika ada orang yang masih menggunakan istilah pribumi (apalagi dalam konteks jargon politik), untuk menggambarkan penduduk asli suatu wilayah. Tidak ada yang benar-benar asli, tidak ada yang sungguh-sungguh pribumi. Jikapun ada, tentu itu bukan pribumi biasa.

 

Penulis: Ben Sohib (ap/vlz)

Sastrawan. Sedang mengikuti program Residensi Penulis Kemendikbud di Amsterdam, Belanda.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis