1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Blokade Turki Membuat NATO Frustasi

10 Maret 2023

Putaran pembicaraan terakhir di markas NATO belum membuahkan hasil. Turki tetap menolak menerima Swedia dan Finlandia bergabung dengan NATO. Anggota NATO yang lain mulai frustasi dengan Erdogan.

https://p.dw.com/p/4OVeS
Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Ankara, 8 November 2022Foto: Burhan Ozbilici/AP Photo/picture alliance

Para pejabat di markas besar NATO di Brussel dan di ibukota Swedia, Stockholm, mulai frustasi dengan sikap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang tetap memblokir keanggotaan Swedia dan Finlandia di NATO. Kalau Erdogan tidak mengubah sikapnya, "itu akan merusak persatuan NATO, dan kemudian kita memiliki masalah yang nyata," kata Anna Wieslander, direktur divisi Eropa Utara di wadah pemikir Atlantic Council kepada DW dari Stockholm.

Dia menambahkan, kalau situasi seperti ini terus berlangsung, "itu akan merusak keamanan seluruh aliansi dan membuatnya terlihat lebih lemah."

Swedia dan Finlandia secara bersamaan telah menyerahkan surat permohonan resmi mereka untuk bergabung dengan NATO. Pemerintahan Erdogan selama berbulan-bulan tidak mengindahkan seruan Amerika Serikat dan sekutu lainnya agar Turki meratifikasi keanggotaan kedua negara itu. Pertemuan NATO hari Kamis (9/3) di Brussel tetap tidak mengubah sikap Erdogan.

Sekjen NATO Jens Stoltenberg
Sekjen NATO Jens StoltenbergFoto: Jonas Ekstromer/TT News Agency/AP/picture alliance

Menunggu hasil pemilu di Turki

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan kepada DW, dia tetap yakin Swedia dan Finlandia pada akhirnya akan menjadi anggota NATO. Beberapa pengamat mengatakan, sikap Erdogan dimotivasi oleh tekadnya memenangkan pemilihan umum di Turki yang akan berlangsung bulan Mei mendatang. Dengan sikapnya yang keras terhadap Swedia dan Finlandia, Erdogan ingin memobilisasi para pemilihnya dan tampil sebagai pemimpin yang kuat dan tegas.

"Dalam keadaan normal, Finlandia dan Swedia adalah negara-negara yang secara tradisional memiliki hubungan baik dengan Turki,” kata mantan diplomat Turki Alper Coskun, yang sekarang menjadi rekan senior di Carnegie Endowment for International Peace. Masalah yang dialami Turki dengan Swedia, sebenarnya sudah ada sebelum Swedia menyatakan ingin masuk NATO.

Turki mengecam sikap Swedia yang disebutnya mendukung anggota Partai Buruh Kurdi, PKK. Organisasi itu telah melakukan serangan teror dan menyerang target non-militer dan membunuh warga sipil Turki. AS dan Uni Eropa juga sejatinya telah menetapkan PKK sebagai organisasi teroris.

Tapi Swedia menolak tuduhan Turki, dan bersikeras bahwa warga Kurdi yang berada di negaranya mendapat status suaka atas alasan kemanusiaan. Dalam memorandum trilateral yang ditandatangani Juli lalu, Swedia sudah menyatakan berkomitmen "untuk mencegah kegiatan PKK dan semua organisasi teroris lainnya, serta kegiatan individu dalam kelompok atau jaringan yang berafiliasi dan terinspirasi oleh PKK."

Peran Turki dalam NATO

Bagi beberapa diplomat Barat, Ankara memang telah menjadi "mitra yang penuh teka-teki" dan tidak dapat diandalkan, dan Erdogan sering dianggap sebagai penghalang. Pada 2009, Erdogan mencoba memblokir penunjukan pimpinan NATO baru dari Denmark, dengan alasan bahwa negara itu terlalu toleran terhadap kartun Nabi Muhammad dan terlalu mendukung pemberontak Kurdi.

Beberapa tahun kemudian, Erdogan menunda selama berbulan-bulan rencana pertahanan NATO untuk Polandia dan negara-negara Baltik, dan menuntut agar NATO mendeklarasikan organisasi pejuang Kurdi Suriah sebagai teroris.

Kini, keberatan Erdogan terhadap keanggotaan Swedia dan Finlandia memperbarui pertanyaan tentang apakah aliansi itu mungkin lebih baik tanpa Turki. Kritikus mengatakan, rezim Erdogan merusak standar NATO untuk pemerintahan demokratis, sementara di sisi lain Erdogan menjaga hubungan yang nyaman dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

"NATO tidak memiliki paragraf untuk mengeluarkan anggotanya, dan itu memang disengaja,” kata Anna Wieslander. Klausul semacam itu sebenarnya ada ketika perjanjian NATO disiapkan, tetapi ditarik lagi karena beberapa sekutu Eropa tidak menginginkannya," jelasnya. Dia mengatakan bukan langkah yang baik untuk mengeluarkan Turki dari NATO, terutama saat perang sedang berkecamuk di Eropa.

"Dengan kekuatan militer terbesar kedua di NATO, dan posisi geografis yang penting di persimpangan Eropa dan Asia", jelas itu merupakan faktor yang harus diperhitungkan, kata Anna Wieslander. "Tetapi  juga penting bagi AS dan sekutu besar lainnya untuk melakukan segala cara yang mereka bisa untuk menggerakkan presiden Turki," katanya.

Mantan diplomat Turki Alper Coskun mengatakan lebih lanjut, "jika pengambilan keputusan yang rasional berlaku di Ankara dan jika Swedia dapat bergerak sedikit," Turki pada akhirnya akan melepaskan penentangannya. Tapi dia tidak mengharapkan akan adanya keputusan apa pun dari Ankara, sebelum digelarnya pemilihan umum Turki, yang dijadwalkan pada pertengahan Mei mendatang.

(hp/as)