1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bisakah Pemerintah Koalisi di Jerman Bertahan?

11 Juni 2024

Perolehan suara gabungan partai koalisi yang berkuasa di Jerman anjlok, sementara blok oposisi CDU/CSU menang di pemilu Eropa. Sekarang muncul seruan mengadakan pemilu baru, seperti yang sedang dipersiapkan oleh Prancis.

https://p.dw.com/p/4gtSn
Pimpinan partai koalisi pemerintahan di Berlin
Pimpinan partai koalisi pemerintahan di BerlinFoto: Annegret Hilse/REUTERS

Dalam pemilu Eropa, koalisi pimpinan Kanselir Olaf Scholz (SPD) mengalami kekalahan telak. SPD menyebutnya sebagai "kekalahan pahit" setelah partai tersebut memperoleh hasil terburuk dalam pemilu nasional, dengan 13,9% suara. Perolehan suara mitra koalisinya, Partai Hijau, juga anjlok menjadi 11,9%, sementara FDP berada di atas ambang batas lima persen, dengan 5,2% suara.

Survei telah lama menunjukkan, sekitar tiga perempat warga Jerman tidak puas dengan kinerja pemerintah federal dan peringkat jajak pendapat partai-partai koalisi telah lama merosot.

Namun hasil pemilu Eropa ternyata lebih buruk dari perkiraan. Apalagi karena partai ultra kanan AfD berhasil mengungguli SPD dengan perolehan suara 15,9%.

Pemenang pemilu Eropa adalah adalah Partai Kristen Demokrat CDU dan Uni Sosial Kristen CSU, yang bersama-sama meraih sekitar 30% suara. Strategi mereka dalam Pemilu Eropa adalah menjadikan pemilu ini sebagai ujian untuk pemerintahan koalisi mendatang, dan strategi itu berhasil.

Pimpinan CDU Friedrich Merz
Pimpinan CDU Friedrich MerzFoto: Bernd Elmenthaler/IMAGO

Pemilu baru seperti di Prancis?

Pemimpin CDU Friedrich Merz dan pemimpin CSU Markus Söder segera menyerukan digelarnya pemilu baru di Jerman. Setelah pertemuan eksekutif CSU di München, Markus Söder mengatakan, pemilu Eropa adalah "pemungutan suara menentang koalisi saat ini. dan mosi tidak percaya yang jelas" terhadap Kanselir Jerman. Markus Söder mengatakan, Olaf Scholz praktis telah kehilangan legitimasi dan kepercayaan pemilih. "Olaf Scholz adalah raja tanpa negara,” katanya.

Namun pemerintahan koalisi di Berlin tidak mempertimbangkan akan menggelar pemilu baru – bahkan "tidak sedetik pun", kata juru bicara pemerintah Steffen Hebestreit hari Senin (10/6). Pemilu parlemen berikutnya di Jerman dijadwalkan pada akhir 2025.

Hal ini mungkin juga disebabkan oleh fakta bahwa kanselir Jerman – tidak seperti presiden Prancis – bisa saja kehilangan jabatannya, seandainya digelar pemilu baru. Karena kanselir di Jerman dipilih oleh parlemen, sedangkan Presiden Prancis dipilih dalam pemilihan langsung. Jadi, sekalipun partainya mengalami kekalahan di pemilu parlemen, Emmanuel Macron akan tetap menjabat sebagai presiden hingga 2027.

EU vote in Germany sees far-right AfD in second place

Tantangan berat bagi pemerintahan koalisi

Pembubaran parlemen Jerman Bundestag dan pemilu baru hanya mungkin dilakukan, jika kanselir tidak lagi memiliki mayoritas di parlemen. Dalam hal ini, Olaf Scholz dapat mengajukan permohonan kepada Presiden Jerman untuk membubarkan Bundestag dan mengadakan pemilihan umum baru.

Namun SPD, Partai Hijau dan FDP kelihatannya tidak tertarik membubarkan koalisi. Selain kehilangan kekuasaan untuk memerintah, banyak anggota parlemen juga mungkin takut tidak terpilih lagi menjadi anggota Bundestag, jika dilakukan pemilu baru sekarang.

Tapi hubungan antara SPD, Partai Hijau dan FDP memang sudah lama bermasalah, terutama karena perbedaan pandangan antara Partai Hijau dan FDP. Perselisihan politik menjadi kejadian sehari-hari. SPD dan Partai Hijau berhaluan kiri, dan punya perbedaan kepentingan dengan FDP yang berhaluan liberal kanan.

Inilah salah satu alasan buruknya kinerja SPD di Pemilu Eropa, kata Sekjen SPD Kevin Kühnert setelah pertemuan komite eksekutif SPD di Berlin hari Senin. Dia menambahkan, performa SPD juga disebabkab oleh perilaku dan persepsi pemilih tentang koalisi yang berkuasa.

Namun kanselir Olaf Scholz bukanlah tipe orang yang mudah menyerah begitu saja. Sebaliknya: perlawanan dan kekalahan hingga kini belum mampu menghentikannya. Dalam karir politiknya selama lebih dari tiga dekade, hal itu telah dibuktikan lebih dari satu kali. Ketika Olaf Scholz berada dalam posisi sulit, bahkan saat "terjatuh", dia langsung bangkit dan melanjutkan pemerintahannya tanpa terpengaruh situasi aktual.

(hp/as)