1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Berhenti Membenci Anjing

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
7 September 2019

Kamu tergolong suka dengan anjing atau takut anjing? Atau malah membenci anjing? Apakah membicarakan perihal anjing di Indonesia berarti membicarakan sekian fenomena prasangka-prasangka buruk? Opini Rahadian Runjan.

https://p.dw.com/p/3P5fO
Symbolbild Hund
Foto: Colourbox

Membicarakan perihal anjing di Indonesia berarti membicarakan sekian fenomena prasangka-prasangka buruk terhadap makhluk yang mungkin paling memahami manusia tersebut. Bahkan untuk menyebut namanya saja sebagian orang enggan karena kata ‘anjing' dianggap berkonotasi buruk dan kasar didengar, doggy atau guguk kerap digunakan sebagai gantinya.

Jika prasangka tersebut hanya berakhir pada soal substitusi kata-kata, rasanya masih bisa dimaklumi. Nyatanya, dalam keseharian anjing-anjing kian dimusuhi diikuti dengan aksi-aksi kekerasan terhadapnya. Belum lama ini di Tangerang, seekor anjing peliharaan bernama Beedo ditembak mati dengan senapan angin hanya karena ia menggonggongi seorang asing di depan rumah yang dijaganya. Di Bogor, insiden anjing masuk masjid yang seharusnya dapat selesai jika sekadar ditengahi oleh pak RT setempat lantas dibesar-besarkan sebagai kasus penistaan agama oleh sekelompok ormas.

Mengapa anjing tidak mendapat stigma yang baik di Indonesia, berlawanan dengan kerabat-kerabat hewaninya semisal kucing, burung atau ikan? Penjelasan paling mudahnya adalah karena mayoritas penduduk Indonesiaadalah pemeluk agama Islam yang dalam ajarannya memuat ketentuan untuk menghindari interaksi dengan anjing demi menjaga kesucian. Namun entah sejak kapan, seruan tersebut perlahan ditafsirkan sebagai sebuah norma sosial-masyarakat baku di Indonesia yang sejatinya pemeluk agamanya bukan hanya kelompok Islam saja.

Bahkan aturan terkait perilaku seorang muslim terhadap anjing tidak satu warna. Tiap mazhab Islam memberikan tafsir berbeda-beda. Mazhab Syafii yang populer di Indonesia menyatakan bahwa keseluruhan tubuh anjing najis sepenuhnya. Mazhab Hambali menyatakan serupa dengan mazhab Syafii. Sedangkan dua mazhab lain, yakni Hanafi dan Maliki, memberikan tafsir yang lebih longgar namun tetap menyerukan seorang muslim untuk membersihkan bagian tubuh setelah terkena liur seekor anjing sampai bersih.

Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Anjing, Agama, dan Negara

Anjing sebenarnya memainkan peranan cukup penting dalam masyarakat Arab pra-Islam. Orang-orang Arab Badui yang kesehariannya menggembala domba dan kambing tersebut kerap memelihara anjing untuk menjaga ternak-ternak mereka dari predator maupun pencuri. Ras anjing Saluki (salah satu ras anjing tertua yang dikembangbiakkan manusia) begitu digemari di dunia Arab karena kecepatan lari dan insting tajamnya dalam membantu manusia berburu. Kisah Ashabul Kahfi yang tercantum dalam Alquran bahkan menyebutkan sosok anjing penjaga bernama Qitmir yang kelak dijamin masuk surga.

Nabi Muhammad sendiri sebenarnya meminta umatnya untuk menyayangi semua yang bernyawa, meski saat ini komunitas Islam lebih memberikan privilese besar terhadap kucing karena sang nabi disebut-sebut pernah memelihara seekor kucing bernama Muezza. Namun, bukan berarti anjing harus menjadi makhluk yang dibenci dan dianggap sebagai pembatal kesalihan seorang muslim.

Dalam konteks keindonesiaan, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sudah menjadi aturan legal bagi setiap warga negara Indonesia untuk memperhatikan hak dan kesejahteraan hewan, khususnya mengimbau untuk tidak menyakiti hewan dengan semena-mena. Selain itu, setidaknya kita bisa mencontoh para pembesar sejarah Indonesia yang tidak sungkan memelihara anjing, semisal Sukarno yang pernah memelihara anjing selama pengasingannya di Bengkulu atau bahkan sekaliber ulama besar Muhammadiyah, KH Mas Mansoer, yang tercatat pernah memelihara seekor anjing Keeshond di rumahnya.

Lantas, sejak kapan tradisi baik antara anjing dan umat Islam mulai mengendur? Alan Mikhail, sejarawan dari Universitas Yale, menyebut bahwa perubahan gaya hidup orang-orang Islam dari yang tadinya kaum nomadik gurun menjadi kaum urban perkotaan adalah salah satu faktornya.

Awalnya, di kota-kota pusat peradaban Islam di Timur Tengah sepanjang abad pertengahan, anjing-anjing ikut berperan tidak hanya sebagai penjaga rumah namun juga pemakan sampah-sampah dapur, sehingga anjing juga banyak berperan dalam higienitas komunitas urban muslim saat itu. Namun ketika kota-kota kian padat dan sampah bertumpuk, maka wabah penyakit pun muncul dan orang-orang mulai mengorelasikannya dengan buruknya sistem pengolahan sampah. Sampah-sampah itupun dipindahkan ke luar kota, dan akibatnya anjing-anjing pun tergusur dan selanjutnya dianggap ikut membawa penyakit akibat suka mengonsumsi sampah.

Fenomena tersebut kerap terlihat di kota-kota besar di Indonesia. Anjing-anjing tidak bertuan termasuk jarang ditemui. Kalaupun ada, biasanya ia segera ditangkap oleh petugas penampungan lalu diperiksa kesehatannya, dan syukur-syukur, untuk kemudian diadopsi. Sebagian mengalami nasib yang lebih tragis; masuk ke rumah-rumah jagal untuk kemudian diolah menjadi santapan.

Masalah tindakan buruk seseorang terhadap anjing sebenarnya adalah masalah stigma dan persepsi buruk yang terlalu mengakar. Padahal, berlaku baik terhadap segala yang bernyawa, khususnya yang lebih lemah, merupakan bukti sebuah kemanusiaan. Jika memang tuntutan iman menyerukan larangan, maka akal harus digunakan untuk menakar batasan-batasan seperti apa saja yang termasuk ke dalam larangan tersebut. Jangan hanya karena anjing harus dihindari karena ketidaksuciannya, lantas ia dipukuli, ditimpuki, bahkan dihilangkan nyawanya secara semena-mena.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki ras anjing yang khas. Per 20 Februari 2019 lalu, anjing Kintamani asal Bali mendapat pengakuan dari organisasi pengembangan dan perlindungan anjing terkemuka, Federation Cynoligique Internationale (FCI) sebagai anjing ras asli Indonesia dan berhak untuk mengikuti kontes atau pameran anjing internasional. Dengan dikenalnya Kintamani tentu akan kian meningkatkan pamor Indonesia di luar negeri. Harapannya, anjing-anjing lain khas Indonesia seperti anjing Ajak, anjing Tengger, juga anjing bernyanyi Papua Nugini mendapat perhatian agar setidaknya spesiesnya tetap lestari.

Sebuah kutipan anonim terkenal, yang kerap kali disebut-sebut terucap dari mulut Mahatma Gandhi, menyebutkan bahwa kebesaran sebuah negara dan kemajuan moralnya dapat dinilai dari bagaimana mereka memperlakukan hewan-hewan di sekitarnya. Berlaku baik terhadap hewan dapat menjadi katalis dalam membangun masyarakat yang adil dan berbelas kasih. Sebaliknya, kelalaian terhadapnya dapat dilihat sebagai gejala dari sebuah masyarakat yang telah kehilangan kompas moralnya.

Menakar Moralitas dan Kemanusiaan

Menyikapi anjing adalah ujian bagi masyarakat Indonesia untuk melihat sejauh mana moralitas relasi antar makhluk dan harmoni ekosistem lingkungan hidup bersama tersebut diteguhkan. Kita harus menerapkan toleransi terhadap eksistensi maupun kelakuan mereka yang terkadang dianggap mencederai nilai-nilai, baik itu agama, sosial, dan lain-lain, dalam keseharian kita. Mudahnya, karena anjing tidak mampu berpikir serumit manusia, sehingga kita harus mawas diri dan mengerti bahwa emosi yang tersulut hanya karena anjing eksis dan bertingkah laku alami, seperti menggonggong dan menjilat, adalah sebuah kebodohan.

Karena itu, jika suatu saat di jalan kita melihat anjing namun enggan berinteraksi dengannya, maka berlalu saja tanpa harus menggerutu sendiri. Atau saat kita tidak bisa menahan diri untuk sekadar mengusap-ngusap kepalanya, setelahnya tinggal dibersihkan saja sesuai pedoman kepercayaan yang dianut-anut masing.

Jelasnya, sudah saatnya orang-orang Indonesia berhenti untuk membenci anjing secara membabi buta. Fakta bahwa anjing merupakan salah satu hewan liar yang didomestikasi paling awal, dan bukan untuk kebutuhan makanan namun sebagai rekan berburu dan pasangan berbagi emosi (companionship), membuktikan bahwa ada sebuah tradisi biologis bagi seorang manusia untuk selalu memperlakukan sahabat sejati berkaki empat tersebut dengan baik.

Penulis @RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.