1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Berlin Sahkan UU Antidiskriminasi Negara Bagian

5 Juni 2020

Undang-undang baru ini secara eksplisit melarang otoritas publik, termasuk polisi, untuk melakukan diskriminasi berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, dan faktor lain.

https://p.dw.com/p/3dIho
Frauen Fußball Nationalmannschaft Fans
Foto: picture-alliance/Sven Simon/A. Fleig

Berlin menjadi negara bagian pertama di Jerman yang mengeluarkan undang-undang antidiskriminasi pada hari Kamis (04/06). Undang-undang ini dikeluarkan di tengah protes antirasisme yang dimulai di Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Berlin.

Undang-undang yang disetujui oleh mayoritas anggota parlemen ini secara eksplisit melarang otoritas publik, termasuk polisi dan sekolah umum, untuk melakukan diskriminasi berdasarkan latar belakang, warna kulit, jenis kelamin, agama, cacat fisik atau mental, ideologi, usia dan identitas seksual.

Anggota parlemen mengatakan bahwa undang-undang baru ini lebih maju daripada undang-undang federal yang saat ini berlaku yaitu UU Kesetaraan Hak (AGG) yang disahkan pada tahun 2006. Koalisi pemerintahan Berlin yang terdiri dari partai SPD yang berhaluan kiri-tengah, partai kiri Die Linke dan Partai Hijau, berpendapat bahwa undang-undang baru ini dapat menutup celah hukum yang tidak tercakup oleh undang-undang yang ada.

Undang-undang federal tahun 2006 memang telah secara eksplisit melarang diskriminasi di lingkungan pekerjaan dan dalam hubungan antarindividu, tetapi tidak meliputi area yang diatur oleh hukum publik, demikian pernyataan Badan Antidiskriminasi Federal (ADS) dalam panduan hukum yang diterbitkan tahun lalu.

Meski demikian ADS menegaskan praktik diskriminasi tetap dilarang karena Konstitusi Jerman mewajibkan agar warga negara "dilindungi dari diskriminasi baik oleh dan dari Negara.”

Atasi masalah profil rasial

Sebelum akhirnya disahkan, undang-undang ini sempat mendapat tekanan terutama dari Menteri Dalam Negeri Horst Seehofer dan serikat polisi Jerman yang berpendapat bahwa undang-undang baru tersebut memberikan tekanan yang tidak perlu kepada pihak berwenang.

"Kita harus membela polisi dan tidak menempatkan mereka di bawah kecurigaan umum,” Seehofer mengatakan kepada surat kabar Jerman, Tagesspiegel, pekan lalu.

Namun Menteri Kehakiman negara bagian Berlin yang juga politisi dari Partai Hijau, Dirk Behrendt, membela undang-undang antidiskriminasi ini. Ia mengatakan bahwa UU ini tidak akan menghambat tugas keseharian polisi, malah akan membantu mengatasi masalah rasisme sistemik.

Behrendt mengatakan bahwa sebagian besar petugas kepolisian dan pegawai negeri lainnya tidak ingin mendiskriminasi dan tidak bertindak diskriminatif. Jadi "bagi mereka, UU baru ini tidak mengubah apa pun,” ujar Behrendt.

Pada bulan Maret, Dewan Eropa mendesak Jerman untuk meningkatkan upaya antidiskriminasi, termasuk menyerukan polisi Jerman untuk berpartisipasi dalam studi tentang profil rasial.

Neonazi berlatih di kamp milik Rusia

Selain masalah rasisme sistemik, Jerman juga masih menghadapi bermunculannya kelompok paramiliter berhaluan ekstrem kanan yang mengusung paham kebencian terhadap orang asing. Majalah Jerman, Focus, pada hari Jumat (05/06) menerbitkan laporan tentang adanya pelatihan bagi paramiliter ekstremis sayap kanan Jerman di sebuah kamp khusus dekat kota Saint Petersburg di Rusia.

Laporan tersebut mengutip sumber-sumber intelijen Jerman. Di dalamnya anggota sayap pemuda dari partai ektrem kanan yaitu Partai Demokrat Nasional Jerman (NPD) dan partai sayap kanan minor The Third Way dikabarkan sudah menyelesaikan pelatihan menggunakan senjata dan bahan peledak. Mereka juga dilatih untuk melakukan pertempuran jarak dekat, tulis majalah itu.

Selain warga Jerman, warga negara Swedia dan Finlandia juga berada di antara peserta pelatihan. Para peserta pelatihan ini kemudian bergabung dengan milisia Rusia yang aktif di Ukraina timur.

Dioperasikan oleh organisasi teroris

Kamp yang dikenal dengan nama "Partizan" ini dioperasikan oleh ekstremis sayap kanan Rusia yaitu Rusia Imperial Movement (RIM). Intelijen Jerman meyakini bahwa RIM memiliki dua kubu yang dekat dengan Saint Petersburg dan berupaya memulihkan kekuasaan Kekaisaran Rusia.

Amerika Serikat baru-baru ini menambahkan RIM ke dalam daftar kelompok teroris global dan mengatakan bahwa kelompok itu "memberikan pelatihan gaya paramiliter kepada supremasi kulit putih dan Neonazi di Eropa.”

Rusia menanggapi dengan mengatakan bahwa menambahkan grup ke daftar teroris global tidak akan membantu memerangi terorisme.

Intelijen Jerman mengetahui bahwa para ekstremis dari Jerman menghadiri kamp-kamp tersebut. Namun untuk alasan hukum, mereka tidak dapat melarang perjalanan ke Rusia, Focus melaporkan. Para pejabat juga berasumsi bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin mengetahui keberadaan kamp pelatihan ini. 

ae/rzn