1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bentrok Cina dan Filipina di LCS Dikhawatirkan Picu Konflik

Yuchen Li
26 Juni 2024

Ketegangan Cina dan Filipina meningkat usai bentrokan pelaut kedua negara tersebut di jalur perairan krusial di Laut Cina Selatan.

https://p.dw.com/p/4hVq3
Bentrok pasukan Cina dan Filipina
Video yang dipublikasikan oleh militer Filipina menunjukkan anggota Penjaga Pantai Cina menabrak dan menaiki kapal angkatan laut Filipina dan menyita senjata mereka pada 17 Juni 2024 di Laut Cina SelatanFoto: ARMED FORCES OF THE PHILIPPINES/EPA

Ketegangan antara Cina dan Filipina meningkat usai bentrokan hebat pada minggu lalu yang melibatkan pelaut kedua negara tersebut di Laut Cina Selatan (LCS). Video yang dipublikasikan oleh militer Filipina menunjukkan anggota Pasukan Penjaga Pantai Cina menabrak dan menaiki kapal Angkatan Laut Filipina, serta menyita senjata mereka.

Para pejabat Filipina mengklaim bahwa para awak kapal Beijing tersebut dipersenjatai pedang, tombak dan pisau. Mereka mengatakan beberapa warga Filipina terluka dalam insiden itu, termasuk seorang pelaut yang kehilangan ibu jarinya.

Saat Manila menggambarkan pasukan Cina berperilaku seperti ”bajak laut”, Beijing justru membenarkan tindakannya dengan mengklaim bahwa pihaknya hanya mengambil  ”tindakan yang diperlukan” seperti pencegatan dan pemeriksaan kapal untuk menjaga kedaulatan negara dengan cara yang ”profesional dan terkendali”.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Bentrokan ini merupakan yang terbaru dari serangkaian konfrontasi antara kapal Cina dan Filipina dalam beberapa bulan terakhir di sekitar perairan Thomas Shoal yang disengketakan, tempat di mana sebuah garnisun kecil Filipina ditempatkan di atas kapal perang tua BRP Sierra Madre yang sengaja didamparkan.

Saat diserang oleh Pasukan Penjaga Pantai Cina, kapal-kapal Filipina tersebut sedang dalam misi pengisian bahar bakar.

Bentrokan terbaru yang ”memprihatinkan”

Sejumlah analis menganggap insiden terbaru ini sangat ”memprihatinkan” karena setiap kecelakaan yang melibatkan cedera parah, berpeluang lebih besar untuk meningkat menjadi situasi di mana kedua belah pihak sulit untuk mengalah.

Kepada DW, Direktur Pelaksana Program Indo-Pacific di German Marshall Fund di Amerika Serikat Bonnie Glaser mengatakan ”tidak sulit untuk membayangkan skenario saat seseorang terbunuh secara sengaja”, mengingat ketegangan yang ada di wilayah tersebut.

”Risiko kecelakaan yang meningkat menjadi konflik sangat tinggi,” ujarnya.

Cina dan Filipina telah terlibat dalam sengketa selama bertahun-tahun di Laut Cina Selatan.

Beijing mengklaim hampir seluruh jalur perairan, menyebutnya sebagai sembilan garis putus-putus, yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara penuntut lainnya seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.

Kapal Cina dan Filipina Tabrakan di Laut Cina Selatan

Pihak Filipina menggunakan nama Laut Filipina Barat untuk bagian Laut Cina Selatan yang diklaimnya.

Pada tahun 2016 silam, pengadilan internasional di Den Haag memutuskan untuk memenangkan Filipina dan membatalkan klaim Cina di perairan strategis tersebut.

Hanya saja, Beijing menolak untuk menerima keputusan tersebut.

'Strategi berisiko' Cina untuk memprovokasi sekutu AS

Cina juga telah menjadi lebih tegas dalam klaim teritorial maritimnya, yang menyebabkan beberapa bentrokan sehingga kapal-kapal Filipina rusak dan pelaut Filipina terluka oleh meriam air selama setahun terakhir.

Merespons hal itu, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah mengupayakan hubungan yang lebih dekat dengan Amerika Serikat (AS). Manila menandatangani perjanjian pertahanan bersama (Mutual Defense Treaty/MDT) dengan AS pada tahun 1951. Pakta ini mengikat kedua belah pihak untuk saling membantu membela satu sama lain jika diserang oleh pihak ketiga.

"Cina semakin tertarik untuk mendorong aliansi Filipina-AS sampai ke batasnya," kata seorang analis geopolitik yang berbasis di Manila sekaligus dosen di De La Salle University Don McLain Gill kepada DW.

Akibat bentrokan baru-baru ini, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berbicara dengan mitranya di Filipina dan sekali lagi menggarisbawahi "komitmen keras" Washington kepada sekutunya di bawah perjanjian tersebut.

Namun, Gill menilai perlu lebih banyak tindakan Amerika Serikat di wilayah tersebut.

"Jika dibiarkan, kemungkinan besar Beijing akan mendorong Filipina lebih jauh," katanya, seraya menambahkan bahwa tujuan Cina adalah untuk menunjukkan bahwa aliansi yang dibentuk oleh Manila dan Washington "tidak dapat bertindak" selain dari pernyataan politik.

Glaser mengatakan bahwa Beijing dengan sengaja mencoba untuk "menggertak" Manila dan "memaksanya (untuk) kembali ke pembicaraan dengan Cina."

Namun strategi ini "berisiko," kata Gill, karena pemimpin Filipina baru-baru ini menurunkan standar untuk menggunakan perjanjian pertahanan dengan AS.

Awal bulan ini dalam sebuah forum pertahanan di Singapura, Marcos ditanyai soal reaksi Filipina terhadap situasi hipotetis saat Cina membunuh seorang warga Filipina, dan dampaknya terhadap perjanjian AS-Filipina.

Jika disengaja membuat seorang warga negara Filipina terbunuh, kata Marcos, hal itu akan ”sangat dekat dengan tindakan perang” dan ”Filipina akan merespons dengan tepat.”

Kemungkinan de-eskalasi?

Dua hari sebelum bentrokan terakhir, Filipina telah mengajukan permohonan kepada badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk meminta pengakuan terhadap batas-batas terluar dasar laut kontinennya di beberapa bagian jalur perairan yang disengketakan.

Beijing mengecam klaim Manila sebagai pelanggaran serius terhadap kedaulatan Cina, dan secara resmi mendesak organisasi antar pemerintah tersebut untuk tidak meninjau permohonan tersebut.

Seorang profesor ilmu politik di National University of Singapore, Chong Ja Ian, mengatakan bahwa upaya terbaru Manila ke PBB adalah bagian dari alasan mengapa Beijing percaya bahwa mereka harus bersikap "lebih tegas".

Kepada DW ia mengatakan bahwa pada tahap ini kemungkinan de-eskalasi lebih banyak berada di tangan Beijing. Karena, menurutnya, Cina adalah pihak yang paling mampu bersengketa dan yang paling bersedia untuk menggunakan kekuatan.

Terlepas dari tindakan agresif, Chong menunjukkan, Cina tidak menenggelamkan kapal-kapal Filipina atau menahan kapal-kapal itu dan awaknya, hal ini menunjukkan bahwa pihak Cina masih menyadari perlunya "mencegah eskalasi agar tidak lepas kendali."

Dari sudut pandang Manila, Gill percaya bahwa negara itu perlu "belajar" dari insiden tersebut dan mengejar "strategi penangkalan fisik yang lebih efektif," misalnya melengkapi awak kapal Filipina dengan senjata.

"Ini adalah salah satu cara yang akan meningkatkan biaya untuk Beijing," ungkap Gill, menambahkan bahwa hal itu dapat mengakibatkan personel maritim Cina mengurangi tindakan mereka setelah menyadari bahwa tidak banyak yang bisa diperoleh dari mereka.

(mh/hp)