1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bencana Kemanusiaan Akibat Konflik di Kaukasus

11 Agustus 2008

Badan Bantuan Kemanusiaan Eropa, ECHO menjanjikan satu juta Euro untuk korban konflik Ossetia Selatan. Gencatan senjata yang diserukan, jugalah pesan Menlu Perancis Bernard Kouchner di Georgia Minggu malam.

https://p.dw.com/p/Eu2j
Pengungsi dari Ossetia Selatan berjalan menuju perbatasan RusiaFoto: AP

Usai kunjungannya ke Tskhinvali, Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin menegaskan, bahwa integritas wilayah Georgia telah dilanggar oleh negara itu sendiri. Putin juga memperingatkan Georgia untuk tidak berusaha menjadi anggota NATO. Sementara pihak yang bertikai saling tuding, bencana kemanusiaan sulit dihindari dan Rusia mulai mengungsikan korban pertempuran.

Minggu pagi, jurubicara kementrian Dalam Negeri Georgia menyatakan telah mulai menarik pasukan dari Tskhinvali, ibukota Ossetia Selatan. Walaupun tentara Rusia telah menguasai Tskhinvali, malam Minggu pertempuran masih berlangsung. Dari Abhkasia dilaporkan, Georgia masih menyerang wilayah itu. Di pihak lain, pesawat tempur Rusia pun masih membombardir ibukota Georgia, Tbilisi.

Di Tskhvinvali, ribuan orang terperangkap dalam kota yang menghadapi pertempuran yang tak hentinya. Pengungsi yang berhasil menyebrangi perbatasan Rusia menceritakan situasi dan pengalaman mereka.

“Kami bersembunyi di ruang bawah tanah selama tiga hari, tanpa air, tanpa listrik. Dan bom terus berjatuhan di sekitar kita.”

“Ini hal yang mengerikan, Terutama untuk anak-anak. Apa sih yang telah mereka lakukan? Apa salah mereka? Putri saya kerap bangun dan tidak berani tutup mata. Saya tak dapat menenangkannya lagi.”

Dalam laporannya kepada Presiden Rusia Dimitry Medveved, Perdana Menteri Vladimir Putin juga tampak kesulitan menemukan kata-kata untuk menggambarkan apa yang telah dilihatnya di kamp-kamp pengungsi. Menurut dia yang terjadi melebihi apa yang dimengertinya sebagai peperangan. Putin menyebut ofensiv militer Georgia, sebagai pemusnahan etnis rakyat Ossetia Selatan.

Sementara, Georgia juga menuding Rusia melakukan hal yang sama. 15 desa dan kota Georgia hancur dibombardir Angkatan Udara Rusia. "Tanpa menghiraukan masyarakat sipil", demikian ungkap jurubicara Dewan Keamanan Georgia. Sedangkan Presiden Georgia, Mikhail Saakashvili balas menuding Rusia berusaha menghancurkan Georgia, “Mereka berusaha menghanvurkan sebuah negara kecil yang demokratis, yang ingin berada dalam kedamaian dan kebebasan.”

Sementara Menteri Luar Negeri Rusia, Grigori Karassin hari Minggu siang menyangkal bahwa pasukan Rusia telah menyerang obyek-obyek sipil. Ia mengatakan, “Pasukan perdamaian kami berusaha mendesak pihak Georgia meletakan senjata. Untuk mensukseskan operasi militer ini, maka infrastruktur yang mendukung lawan juga harus dinetralisasi. Saya bukan ahli militer, tapi siasat perang seperti itu terdengar logis bagi saya. Dalam perang, hal ini dilakukan oleh negara manapun. “

Karassin juga menegaskan kembali persyaratan yang harus dipenuhi Georgia untuk memungkinkan gencatan senjata. Selain keluar dari Ossetia Selatan, Presiden Georgia harus membuat pernyataan tertulis yang menyatakan tidak akan menggunakan kekerasan terhadap negara yang memberontak itu.

Karassin juga mengritik negara Barat tidak konsekwen dan menggunakan standar ganda dalam penilaiannya terhadap Rusia, Negara Barat bungkam ketika Ossetia Selatan diserang Georgia. Lalu seperti dikomando, semua mengritik Rusia. Padahal bukan Rusia yang menyerang Ossetia Selatan, Russia hanya merespon serangan Georgia dan melindungi pasukan dan warganya yang menetap di kawasan itu."

Dalam pertempuran yang masih berlangsung, jumlah korban kian meningkat. Angka terakhir yang dipaparkan menunjukkan lebih dari 2000 korban tewas di Ossetia Selatan. Selain itu di Gori, Tbilisi dan Poti juga ribuan warga Georgia tewas dalam serangan udara yang dilancarkan militer Rusia. (ek)