1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Batik Betawi, Menjaga Budaya dan Menjaga Bumi

Rahka Susanto
22 Juni 2022

Dengan menggunakan bahan pewarnaan alami, produsen batik Betawi berjuang melestarikan budaya dan lingkungan mereka. Rumitnya proses membatik dengan pewarna alami menjadi tantangan dari mahalnya harga batik di pasaran.

https://p.dw.com/p/4CyVi
Batik Betawi
Batik Betawi memiliki ciri khas warna terang dengan motif yang mengambarkan budaya serta ikon-ikon masyarakat di sekitar teluk Jakarta.Foto: Rahka Susanto/DW

Tak berbeda dari wilayah lain di Indonesia, Jakarta juga memiliki identitas kekayaan wastranya melalui batik Betawi. Sempat populer di kalangan masyarakat pada abad 19, eksistensi batik Betawi mulai hilang bahkan di Jakarta sendiri. Di tengah perkembangan zaman dan dorongan pada produksi batik yang ramah lingkungan, batik Betawi kini mulai mengembangkan eksistensinya kembali dengan proses produksi yang lebih ramah lingkungan.

Sempat hilang, dan kini lestari

Berdasarkan catatan sejarah, batik Betawi mulai dikenal sejak era kolonial. Namun, eksistensi batik Betawi sendiri sempat padam. Jakarta sempat mengalami krisis perajin batik, namun dalam 6 tahun terakhir, produksi batik Betawi terus digeliatkan oleh sejumlah kalangan untuk menjadikannya kembali populer di tanah asalnya.

"Perajin di Jakarta sempat mati, tidak ada yang membuat, sehingga perkembangan batik Betawi sempat mati, karena perajinnya tidak ada,” ungkap Lily Mariasari, seorang pengusaha batik Betawi.

Namun seiring berjalannya waktu, kesadaran untuk menghidupkan batik Betawi di Jakarta kembali muncul. "ini batik dari kota kita, yang mengembangkan kita, yang menggunakan kita, kenapa tidak dikembangkan perajinnya juga dari kita di Jakarta,” papar Lily kepada DW Indonesia.

Dengan memanfaatkan komunitas Ibu yang bermukim di rusun-rusun yang ada di Jakarta, batik Betawi secara perlahan mulai diproduksi di tanah kelahirannya sendiri. Sebelumnya, sebagian besar perajin batik Betawi berada di luar Jakarta, hal ini juga yang membuat batik Betawi mendapat julukan satir ‘merantau ke kampungnya sendiri.'

Indonesien | Batik Betawi
Dalam beberapa tahun terakhir, perajin batik Betawi mulai mengeliat di JakartaFoto: Rahka Susanto/DW

Batik Betawi memang memiliki ciri khas tersendiri dibanding batik dari daerah lain. Salah satu keunikan yang ada terdapat pada warnanya yang mencolok. "Batik-batik yang ada di Jakarta itu warna-warni, Jakarta itu ada beberapa wilayah, setiap wilayah memiliki warnanya masing-masing, itu yang membedakan,” jelas Lily.

Begitu juga dengan motifnya. Motif batik Betawi erat kaitannya dengan kesenian budaya masyarakat Betawi yang dipengaruhi oleh budaya Arab, India, Belanda, dan Cina. Motif seperti Nusa kelapa, Ciliwung, Rasmala, hingga Ondel-ondel menjadi ciri khas dari batik-batik Betawi. Salah satu batik Betawi yang paling populer juga dikenal sebagai ‘batik encim', yang menjadi akulturasi budaya antara warga Betawi dan Cina peranakan.

Memilih produksi ramah lingkungan

Produksi batik sebagai bagian dari industri fesyen dan tekstil memiliki persoalannya tersendiri, salah satunya isu kerusakan alam. Data dari MacArthur Foundation pada 2017 menyebut Industri tekstil menghasilkan emisi gas rumah kaca sampai 1,2 miliar ton per tahun.

Pewarnaan Batik Betawi
Bahan-bahan alami yang digunakan untuk proses pewarnaan kain batik.Foto: Rahka Susanto/DW

Di sisi lain isu limbah hasil produksi batik juga menjadi ancaman tersendiri. Hal ini juga yang menjadi perhatian dari produsen batik Betawi di Jakarta. Salah satu upayanya adalah dengan memilih opsi pewarnaan batik yang ramah lingkungan dengan menggunakan pewarna alami.

"Di batik itu sendiri kan ada namanya pewarnaan. Dari warna-warna itu kita gunakan warna-warna alami. Dari mana itu? Ada pohon-pohon atau kulit pohon yang sudah tidak terpakai kita bisa olah menjadi warna dasar misalnya cokelat. Misalnya ada buah-buah yang jatuh dari pohon dapat kita kembangkan menjadi warna-warna. Yang dapat kita padukan di kain,” jelas Lily.

Menggunakan perwarna alami dalam pembuatan kain batik bukanlah hal yang mudah. Namun pilihan ini dipilih untuk mengurangi limbah dari produksi batik. Lily mengungkapkan, "Pewarna sintetis kan dihasilkan dari material yang kurang ramah pada lingkungan. Jadi batik itu mulai mencanting, melorot, sampai mewarnai itu ada ampasnya ya, dalam hal ini limbah. Limbahnya kalo kita pakai limbah sintetis, dia serapannya ke lingkungan sekitar jadi pencemaran.”

Memilih menggunakan perwarna alami dalam pengerjaan batik Betawi berimplikasi pada lama dan rumitnya proses pengerjaan. "Pekerjaannya agak lama dan memakan waktu. Untuk menghasilkan bahan satu liter pewarna aja kita butuh berkarung-karung daun. Satu kali kita ngewarnain ke bahan itu belum selesai. Untuk membuat pewarnaanya saja memakan waktu satu sampai dua bulan, lama sekali,” papar Lilis Rosmawati, perajin batik sekaligus Ketua Batik Betawi Tambora.

Kepada DW Indonesia, Lilis menjelaskan rumitnya proses pewarnaan alami membuat harga batik menjadi lebih mahal. "Di masa pandemi saat ini, untuk peminat ke bahan alam itu berkurang. Ada orang-orang tertentu yang mengerti batik yang mau membeli. Karena untuk saat sekarang, jangankan beli yang mahal ya, yang murah pun agak sulit. Jadi di marketnya pun kita agak susah,” ungkapnya.

Tren yang akan berkembang

Pemilihan bahan-bahan dan proses dalam produksi produk fesyen menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat global pada isu kerusakan lingkungan. Data dari US Cotton Trust menunjukan 54% pemimpin perusahaan jenama garmen dan tekstil melihat peningkatan kebutuhan konsumen pada produk yang lebih ramah lingkungan.

Sejumlah analisis menilai murahnya harga yang ditawarkan produk-produk fesyen konvensional adalah harga kompensasi dari kerusakan alam yang akan terjadi. Sehingga harga pada produk-produk fesyen yang lebih ramah lingkungan adalah sebuah keniscayaan dan dinilai sebagai harga yang pantas.

Sebagai negara berkembang, tren produk fesyen yang mengusung isu lingkungan dipercaya akan terus tumbuh. Pengamat Sosial dan Budaya dari Universitas Indonesia, Devie Rachmawati menilai peluang itu. "Karakter sosial masyarakat kita yang menjadi sangat kuat penerimaannya terhadap digital, itu membuat masyarakat kita sangat mudah terpapar oleh tren-tren baru, termasuk penggunaan penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan,” ungkap Devie kepada DW Indonesia.

Ia menambahkan, kemudahan bagi masyarakat dalam menerima tren-tren baru ini harus didorong dan diwujudkan dengan perubahan perilaku konsumsi, "Itu bisa dipastikan ketika suplainya ada.” Devie menambahkan "Ketika masyarakatnya sudah ingin, tapi ternyata suplainya tidak ada, artinya suplainya sedikit, sehingga harganya menjadi mahal, ini yang menjadi tantangannya.”

(rs/hp)