1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bashar al-Assad Bukan Gaddafi

25 April 2011

Kerusuhan di Suriah, Libya dan krisis di Uni Eropa mendapat sorotan sejumlah tajuk harian internasional.

https://p.dw.com/p/RK7x
Presiden Suriah Bashar al-AssadFoto: dapd

Harian Perancis "Le Figaro" mengomentari konflik di Suriah saat ini dengan menulis:

"Presiden Bashar al Assad melakukan tekanan. Di Suriah dan di negara Arab tertentu, aksi protes masal dari rakyat merupakan ungkapan keinginan besar untuk mendapatkan kebebasan dan demokrasi. Namun konteks politik di Suriah agak berbeda. Bashar al Assad dididik menurut prinsip sekuler dari partai nasionalis Baath. Ia menjalankan kekuasaan tunggal juga berkat dukungan minoritas Kristen, Kurdi dan Druze. Keseimbangan yang dijaga dengan cerdik yang diwarisi dari ayahnya telah cukup lama menjamin stabilitas di Suriah. Bila Assad lengser, mayoritas Sunni gelagatnya akan melakukan pembalasan dendam."

Kerusuhan di Suriah ditanggapi harian Perancis Selatan "La République des Pyrénées" sebagai berikut:

"Seorang diktator dan sebuah keluarga yang memegang tampuk kekuasaan di negeri itu. Korupsi di mana-mana, dan tidak ada kebebasan. Polisi di setiap sudut jalan dan dinas rahasia yang diam-diam membunuh. Demonstran dibantai. Dan di negara demokrasi Barat tidak ada yang bergerak mendukung rakyat Suriah. Kita berbicara tentang Suriah, bukan Libya. Karena itu, reaksi semacam ini tidaklah mengherankan. Pasalnya Bashar al Assad bukan Gaddafi. Setiap pihak ingin menjaga hubungan dengan Suriah yang dianggap penting untuk keamanan di wilayah itu."

Harian Inggris "Guardian" mengomentari demonstrasi Suriah yang tak kunjung padam itu sebagai berikut:

"Pertanyaan besar bagi Suriah, di mana kerusuhan nasional tidak lagi menentang rezim melainkan presidennya, adalah apakah Presiden Bashar al-Assad akan dipaksa mundur seperti rekan sejabatnya di Mesir atau Tunisia. Tetapi bagi negara-negara Barat yang menjadi pertanyaan besar berkaitan dengan kepentingannya sendiri, yakni apakah mundurnya Assad layak diusahakan? Seringnya jawaban yang hanya berada dalam benak adalah: tidak."

Harian Italia "La Republica" mengisi tajuknya dengan tema konflik Libya. Harian ini menulis:

"Pemimpin revolusi Libya, Muammar Gaddafi yang hanya beberapa hari setelah dimulainya konflik bulan Februari lalu dianggap dapat dikalahkan, masih saja berkuasa. Hal itu menjengkelkan. Ia berlindung di bunkernya di Tripoli. Tetapi, meskipun perlawanan kolonel padang pasir ini mungkin menimbulkan kekesalan di negara Barat, faktor waktu memainkan peranan positif bagi gerakan revolusi Libya. Benghazi semakin dikenal di dunia, sementara Gaddafi semakin terisolasi. Ia hanya dapat mengandalkan serdadu-serdadunya dan kelompok etnis tertentu di negerinya. Jika pendukungnya menganggap Gaddafi sudah kalah, mereka mungkin saja suatu hari akan meninggalkannya."

Terakhir harian Spanyol "ABC" dari Madrid yang menyoroti krisis Uni Eropa:

"Lebih dari setengah abad Uni Eropa menjamin warga Eropa kedamaian dan kemakmuran. Kini kesatuan Eropa semakin dipertanyakan. Permasalahan menumpuk di Brussel, dan UE tak memiliki satu jawaban pun untuk itu. Dulu Eropa menjadi kuat setelah keluar dari berbagai krisis. Dulu di Brussel dan di ibukota-ibukota lainnya terdapat pemimpin-pemimpin besar dalam dunia politik. Pemimpin semacam ini sekarang tampaknya tidak ada lagi."

Christa Saloh/dpa

Ed.: Marjory Linardy