1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Pemilu akan Berimbas pada Komitmen Iklim Eropa?

31 Mei 2024

Uni Eropa merayakan UU Konservasi Alam sebagai sebuah pencapaian besar. Namun pakar meragukan komitmen iklim Eropa, akibat pemilu legislatif yang diprediksi akan melambungkan kelompok populis kanan.

https://p.dw.com/p/4gSLB
Emisi gas rumah kaca di Jerman
Emisi gas rumah kaca di JermanFoto: Ina Fassbender/AFP

Konvoi traktor menyumbat jalan-jalan di ibu kota Eropa, para petani membakar ban dan menumpahkan kotoran ternak ke jalan: Protes massal menentang kebijakan hijau di sektor pertanian menjadi tamparan bagi ambisi iklim Uni Eropa.

Menjelang pemilihan legislatif pada bulan Juni mendatang, Parlemen Eropa di Strassbourg melunakkan Undang-Undang Restorasi Alam di bawah tekanan para petani, serta di tengah meningkatnya suara populis dan ekstrem kanan. UU Restorasi Alam bertujuan untuk merehabilitasi 20 persen kawasan alam Eropa hingga tahun 2030 dan memperkuat target keanekaragaman hayati untuk lahan pertanian.

UU tersebut merupakan bagian dari Kesepakatan Hijau UE, yang berisi paket kebijakan untuk mendorong dekarbonisasi ekonomi dan energi selambatnya hingga tahun 2050. Legislasinya masih bisa digagalkan di tahap akhir, dengan sejumlah negara sudah lebih dulu menyatakan penolakan.

Situasinya jauh berbeda dengan pemilu Eropa tahun 2019, ketika ratusan ribu anak muda turun ke jalan untuk menuntut aksi iklim. Tidak lama setelahnya, Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen meluncurkan Kesepakatan Hijau yang ambisius dan mengibaratkannya sebagai "momen pendaratan bulan bagi Eropa".

Sejak itu, UE telah menerbitkan serangkaian legislasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, termasuk larangan penjualan mobil yang digerakkan bahan bakar fosil mulai tahun 2035 dan reformasi pasar karbon.

Panel Surya yang Lebih Efisien Upaya Jerman untuk Kembali Berjaya

Kebijakan-kebijakan tersebut kemungkinan besar tidak akan dicabut. Namun suasana baru ini menimbulkan pertanyaan tentang masa depan agenda lingkungan hidup UE setelah pemilu. Para analis memperingatkan, banyak pihak yang menggunakan kebijakan iklim sebagai kambing hitam politik, dan menyalahkan kebijakan tersebut sebagai penyebab kenaikan harga energi dan kenaikan biaya hidup.

"Kami tahu bahwa argumen-argumen tersebut biasanya digunakan untuk melakukan polarisasi secara maksimal sebelum pemilu Eropa dan oleh karena itu untuk menarik sejumlah pemilih,” kata Neil Makaroff, analis politik dari lembaga pemikir Strategic Perspectives yang berbasis di Brussels.

Kebijakan iklim Eropa di bawah tekanan

Jajak pendapat pemilu terbaru meramalkan dominasi kedua koalisi terbesar di Parlemen Eropa, yakni Partai Rakyat Eropa, EPP, dan kelompok Sosialis dan Demokrat, S&D. Meski demikian, elektabilitas partai-partai populis kanan yang cenderung anti-iklim justru semakin menguat.

"Meski bukan kelompok terbesar di parlemen, penambahan kekuatan kelompok populis kanan akan secara signifikan mengubah kalkulasi politik di  Strassbourg," kata Susi Dennison, peneliti kebijakan senior di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, ECFR.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Selama lima tahun terakhir, Undang-undang Lingkungan Hidup disahkan melalui parlemen berkat mayoritas "koalisi besar” yang terdiri dari EPP dan S&D, dengan dukungan dari kaum liberal, hijau, dan sayap kiri, kata Dennison.

Namun partai-partai sayap kanan seperti AfD Jerman atau Rassemblement National di Prancis ingin membatalkan Kesepakatan Hijau UE, dengan dalih terlalu mahal dan akan merusak industri di dalam negeri, serta meningkatkan ongkos produksi bagi para petani.

"Tidak lagi mudah untuk mendapatkan mayoritas dalam hal ini, dan secara umum akan ada lebih banyak kebutuhan untuk bergantung pada kelompok sayap kanan,” kata Dennison.

Para analis mengaku ragu atas kemampuan UE menyepakati isu-isu paling kontroversial mengenai perlindungan keanekaragaman hayati, atau reformasi untuk pertanian berkelanjutan. Pemungutan suara mengenai Undang-Undang Restorasi Alam tahun lalu mengisyaratkan bahwa keretakan politik sudah terlihat.

Di bawah tekanan dari para petani dan kelompok konservatif, EPP melancarkan aksi blokade selama delapan jam untuk menunda pengesahan undang-undang. Sebagian partai koalisi akhirnya meniru sikap partai-partai populis dengan menentang naskah yang sudah dilunakkan.

Dengan diadakannya pemilu domestik di beberapa negara anggota UE tahun ini, pergeseran ke kanan juga dapat menunda implementasi target iklim UE di tingkat nasional, khususnya yang berdampak pada individu dan pelaku usaha kecil.

"Kita memerlukan banyak kemajuan di beberapa bidang,” kata Dennison kepada DW, merujuk pada elektrifikasi transportasi, konstruksi dan renovasi bangunan, serta efisiensi energi.

Ongkos hambatan kebijakan iklim

Pada saat yang sama, UE tidak bisa menunda implementasi solusi perlindungan iklim, karena selama ini berjalan terlalu lambat, kata Badan Lingkungan Hidup Eropa, EEA. UE diklaim tidak siap menghadapi konsekuensi pemanasan global seperti kekeringan, kekurangan air, badai, banjir, hilangnya keanekaragaman hayati dan kenaikan permukaan air laut.

Silicon Saxony: Kompleks Industri Teknologi Jerman

Dan petani adalah garda terdepan. Di musim panas yang ekstrem pada tahun 2022, kekeringan melanda sekitar 22 persen lahan pertanian Eropa, yang mengakibatkan gagal panen. Panen yang lebih sedikit dapat menyebabkan harga pangan lebih tinggi atau yang disebut sebagai fenomena "inflasi gelombang panas".

Cuaca ekstrem dan perubahan iklim telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 0,5 triliun Euro selama 40 tahun terakhir di Eropa. Dan kerusakan diyakini akan terus memburuk di masa depan.

Analis Neil Makaroff mengatakan, komitmen iklim akan mampu menarik investasi berskala besar di bidang energi terbarukan, baterai, dan manufaktur berkelanjutan. EEA memperkirakan, kebutuhan dana investasi mencapai lebih dari 500 miliar Euro per tahun antara tahun 2021 dan 2030. Dia juga menambahkan bahwa transisi ramah lingkungan akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Sebuah riset memperkirakan, ekonomi hijau akan menambah 2,5 juta lapangan kerja di Uni Eropa pada tahun 2030.

"UE tidak akan dipandang sebagai aktor yang kredibel di tingkat internasional,” kata Makaroff kepada DW. Karena negara lain sudah melihat transformasi menuju dekarbonisasi industri sebagai aset ekonomi strategis. "Mereka tidak menunggu UE," imbuhnya.

rzn/as