Prakarsa Sawit Uni Eropa "Dijinakkan" Cina
27 September 2023Kebijakan Brussels dianggap sebagai langkah proteksionisme oleh kedua produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia dan Malaysia. Kini kedua negara giat mencari pasar lain untuk menampung ekspor minyak sawitnya.
Upaya tersebut membuahkan kesepakatan bisnis senilai USD 3,9 miliar antara Malaysia dan Cina yang ditandatangani bulan ini dalam KTT Expo Cina-ASEAN.
Termasuk di antaranya adalah perjanjian antara perusahaan pelat merah, Sime Darby Oils International dari Malaysia dan GuangXi Beibu Gulf International Port Group. Kedua perusahaan berniat membangun pusat distribusi minyak sawit di kota Qinzhou, Cina, menurut laporan media Jepang, Nikkei Asia.
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengatakan pihaknya ingin menggandakan nilai ekspor minyak sawit ke Cina menjadi 500 ribu ton per tahun dalam beberapa tahun ke depan.
"Ini adalah kali pertama Cina meminta penambahan besar. Biasanya, permintaan bergantung pada harga dan pertimbangan lain, tapi kali ini perjanjiannya menjamin kuota impor menuju Cina,” kata PM Malaysia itu selama Expo.
Proteksionisme Uni Eropa
"Jika niat UE merangsang perbaikan tata kelola sawit dengan membuat larangan bahan bakar nabati, upaya tersebut bisa mudah dijinakkan oleh Cina, kata Bridget Welsh dari lembaga penelitian Asia Research Institute di University of Nottingham, Inggris.
Alhasil, negara-negara Asia Tenggara tidak hanya semakin bergantung kepada Cina, tapi juga menutup akses pasar UE serta menciptakan kondisi yang justru memudahkan ekspor menuju Cina.
"Selain itu, reputasi Eropa akan ternoda oleh kebijakan yang didorong oleh keinginan melindungi produksi minyak nabatinya sendiri, di atas kerugian produsen Asia Tenggara,” tutur Welsh lagi, merujuk pada tuduhan betapa regulasi UE menguntungkan petani rapa dan bunga matahari di Eropa.
"Karena banyak perkebunan sawit di Indonesia yang dimiliki pengusaha Malaysia, pergeseran di Malaysia menuju pasar Cina juga akan berdampak di Indonesia", kata Kevin O'Rourke, analis di lembaga konsultan, Reformasi Information Services.
Produksi minyak sawit di Malaysia turun 2,3 persen pada paruh pertama 2023, menurut laporan pemerintah. Keluhan serupa disuarakan perusahaan negara, FGV Holdings, yang mengaku kehilangan separuh pemasukannya pada periode yang sama.
Frederick Kliem, peneliti dan dosen di Rajaratnam School of International Studies di Singapura, meyakini, Uni Eropa tidak akan dipengaruhi oleh prospek adanya pengalihan komoditas sawit ke Cina.
Negosiasi alot lintas benua
Sejauh ini, UE sudah mengirimkan berbagai delegasi ke Malaysia dan Indonesia untuk meredakan kisruh seputar larangan bahan bakar sawit. Brussels berdalih, kebijakan itu adalah upaya meningkatkan standar lingkungan di seluruh dunia, sebagai bagian dari kebijakan luar negeri UE.
UE bersikeras tidak menjatuhkan larangan umum dan mencatatkan nilai impor sawit sebesar empat juta ton antara Juli 2022 hingga Juni 2023. Jumlah tersebut lebih rendah seperlima dari angka impor tahun lalu.
"Uni Eropa masih merupakan konsumen besar minyak sawit di dunia,” kata Bernd Lange, Direktur Komite Perdagangan Internasional di Parlemen Eropa. "Menimbang pasar UE yang besar dan kelas menengahnya yang aktif, saya memperkirakan pasar ini akan tetap menarik bagi eksportir.”
"Baik UE dan Malaysia saling berbagi visi yang sama. Dialog kami dengan perwakilan Malaysia dan Indonesia sudah sangat mendalam.”
"Kini, tugas kami adalah mensinergikan strategi dan secara bersama menanggulangi tantangan dan membuka peluang bagi kolaborasi. Kita harus menjalaninya bersama-sama dengan negara produsen,” tutur Lange.
rzn/as