AS Ikut Bertempur dengan Menahan Diri
20 Maret 2011AS lama ragu untuk memberikan persetujuannya bagi pemberlakuan zona larangan terbang di Libya, dan untuk penempatan militer terhadap pasukan Gaddafi. Latar belakangnya, Presiden AS Barack Obama hendak mencegah negaranya terlibat dalam perang ketiga dengan sebuah negara muslim. Pertama-tama, persetujuan rakyat AS untuk itu sulit diperoleh.
Sebagian besar orang AS menentang pengiriman tentara ke Irak, dan semakin banyak dari mereka juga menentang penempatan militer di Afghanistan. Menurut jajak pendapat dari institut Pew Center, enam dari sepuluh warga Amerika berpendapat, negaranya tidak diwajibkan berperan di Libya. Alasan kedua, dalam dua tahun pertama masa jabatannya, Obama berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan dunia Islam.
Mengubah Pandangan
Tetapi pemberontak Libya semakin terdesak, dan tentara Gaddafi mulai menindak warga sipil secara brutal. Di mata Amerika, pemusnahan mulai mengancam. Ingatan mengerikan akan pembantaian di Rwanda tahun 1994 dan tindakan yang terlambat di daerah Balkan adalah faktor-faktor yang menyebabkan pemerintahan Obama mengubah pandangan. Pengertian ini tercermin dalam pernyataan Obama Sabtu lalu (19/03).
Keputusan itu tidak diambilnya secara sembarangan. Ia menambahkan, "Tetapi kita tidak dapat diam saja, jika seorang diktator menyatakan kepada rakyatnya, bahwa ia tidak bersedia mengampuni. Atau jika pasukan memperkuat serangan ke kota seperti Benghazi dan Misrata, di mana pria dan wanita tidak bersalah menghadapi kematian secara brutal di tangan pemerintah mereka sendiri."
Tidak Memimpin
Dalam perjalanan ke Eropa dan Afrika, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton melihat dukungan bagi aksi militer. Liga Arab juga menyokong tuntutan zona larangan terbang di Libya. Hillary Clinton mengatakan, "Pernyataan Liga Arab menyangkut Libya sangat menentukan. Itu mengubah situasi diplomatis.“
Di samping itu juga ada bahaya, bahwa jika Gaddafi berhasil melanjutkan kekuasaannya, gerakan demokrasi di Afrika Utara, yang sudah sukses di Tunisia dan Mesir, sekonyong-konyong berakhir. Jadi AS menyetujui penempatan militer, tetapi terbatas. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyatakan dengan rendah diri di Paris Sabtu lalu (19/03), bahwa AS bukan pempimpin aksi militer ini. Prancislah yang memulai serangan udara. Perancis jugalah yang mengajukan rancangan resolusi PBB.
Tidak Kirim Angkatan Darat
Tetapi faktanya berbeda. Saat ini militer AS memimpin koalisi serangan internasional. Tanpa "know how" dari AS, aksi militer itu tidak dapat dilaksanakan. Tetapi Obama menekankan, bahwa AS tidak melangkah sendirian, melainkan di bawah mandat PBB, sebagai bagian sebuah koalisi.
AS telah membantu dengan kemampuan khususnya di awal misi. Mitra-mitranya akan mengadakan pengawasan atas zona larangan terbang yang sudah berdiri. Obama juga menegaskan, AS tidak akan mengirimkan angkatan daratnya.
Karena bagi AS, pemboman Tripoli menguak ingatan pahit. Tahun 1986, Presiden Ronald Reagan memerintahkan serangan atas markas besar Gaddafi di Tripoli sebagai balasan bagi serangan teror terhdap diskotek La Belle di Berlin. Tetapi serangan itu tanpa mandat PBB. Sebaliknya, PBB mengutuk pemboman bersebut. Setelah itu, di jalan-jalan Tripoli berkumandang sebuah seruan yang menghantui AS selama beberapa dasawarsa, bunyinya "matilah Amerika!".
Christina Bergmann / Marjory Linardy
Editor: Christa Saloh