1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AS dan Inggris Gunakan Uranium Saat Perang Irak

16 Juli 2009

Perang Teluk pertama di tahun 1991 dan juga tahun 2003, senjata Amerika Serikat dan Inggris memuntahkan amunisi dengan uranium di tanah Irak. . Saat ini jumlah pasien kanker di kota Basra di Irak meningkat.

https://p.dw.com/p/Ir4s
Foto: AP

Bahan berbahaya itu masuk ke tubuh lewat makanan, melalui kulit atau dihirup melalui indera pernafasan. Setelahnya, uranium itu terus ditimbun tubuh dan dapat mengakibatkan dampak yang mengerikan.

Uranium oksida, racun radiasi, yang sudah lama dideteksi oleh dokter Jawad Al-Ali. Direktur Pusat Penelitian Kanker di Basra, Irak, ini sejak berakhirnya Perang Teluk 1991, tercengang melihat peningkatan pasien kanker di kotanya.

"Sampai waktu itu kami terbiasa dengan satu hingga dua pasien baru yang datang tiap bulannya. Tapi tiba-tiba semua dokter di rumah sakit ini menemukan kasus baru. Saya tanya pada rekan saya, mengapa tiba-tiba kita punya banyak pasien kanker? Suatu hari di tahun 1996, datang delegasi pemerintah Irak, didampingi wakil dari dinas rahasia. Mereka mengatakan, selama perang kita ditembaki dengan amunisi yang dilapisi uranium. Tapi mereka merahasiakannya. Pada hari itu pertanyaan saya terjawab, mengenai banyaknya pasien kanker di sini,“ kata Al Ali.

Kalangan medis Irak menyimpulkan, meningkatnya jumlah pasien kanker di Basra merupakan peninggalan Perang Irak pertama dan kedua. Untuk itu, Al Ali baru-baru ini bertemu dengan kalangan medis Irak, Jerman, dan Jepang di Istanbul, untuk mendiskusikan hasil penelitian epidemiologi pertama mereka. Dalam jumpa pers kalangan medis itu menyatakan, amunisi dengan uranium yang ditembakkan Inggris dan Amerika Serikat itu mencemari sebagian besar kota Basra dan mengakibatkan banyaknya kecacatan pada janin dan penderita kanker.

Uranium pada amunisi itu merupakan uranium yang diperlemah radiasinya. Uranium dipakai karena lebih keras daripada timah hitam. Granat yang dilapisi bahan tersebut dapat dengan mudah menembus dinding sebuah panser.

Pada Perang Irak 1991 dan 2003, tentara sekutu gencar menembaki musuh Irak. Peluru dan sisa-sisa amunisinya setelah perang berserakan. Itu menimbulkan banyak perdebatan. Sementara Amerika Serikat meragukan bahaya radiasi amunisi itu, kritikus menemukan lebih banyak bukti mengenainya. Di antaranya, di sekitar lokasi penemuan sampah perang, termasuk di Basra, selalu ditemukan kasus leukimia dan kanker payudara. Di satu keluarga di Basra, semuanya menderita penyakit kanker. Enam tahun lalu, sebuah granat uranium meledak di rumah mereka.

Menurut Angelika Claußen dari organisasi Dokter untuk Perlindungan Perang Atom perwakilan Jerman, bukti terakhir masih harus ditunjukkan

"Kami masih belum tahu, seberapa banyak kadar uranium yang dapat mengakibatkan kanker pada manusia? Karena, setiap manusia punya daya perlawanan masing-masing terhadap bahan pemicu kanker. Dan itu kadarnya berbeda pada tiap orang, " katanya.

Terlepas dari hasil studi jangka panjang yang didukung pemerintah Norwegia itu, ilmuwan mendesak pelarangan penggunaan amunisi berlapis uranium. Resolusi PBB mengenainya sudah didukung 141 negara, termasuk Jerman. Hanya Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Israel yang masih menentangnya.

Dr. Al-Ali dari Basra ingin agar produsen senjata ini setidaknya membantu dalam mengatasi dampaknya.

"Di Basra tidak ada rumah sakit spesialisasi penyakit kanker. Selain itu, kami tidak punya cukup obat-obatan untuk pasien kanker yang jumlahnya meningkat. Lalu kami memerlukan bantuan dalam menyingkirkan sampah senjata berradiasi itu. Sejauh ini kami hanya dapat membersihkan pusat kota. Tapi kami juga harus mengambil tanah yang terkontaminasi dan menguburnya di luar kota," kata Dr. Al Ali.

Bulan lalu, Belgia sebagai negara pertama menyatakan melarang penggunaan dan jual beli amunisi berlapis uranium.


Gunnar Köhne/Luky Setyarini

Editor: Hendra Pasuhuk