1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aparat Keamanan Gunakan Aplikasi COVID-19 untuk Pengawasan

21 Desember 2022

Jutaan orang di seluruh dunia memercayai pejabat pemerintah yang mengatakan mereka membutuhkan data rahasia untuk alat teknologi baru guna membantu menghentikan penyebaran virus corona di awal pandemi.

https://p.dw.com/p/4LFZj
Foto ilustrasi aplikasi pelacakan COVID-19
Foto ilustrasi aplikasi pelacakan COVID-19Foto: Prita Kusuma/DW

Majd Ramlawi sedang menyajikan kopi di Kota Tua Yerusalem ketika pesan teks "dingin" muncul di teleponnya. "Anda terlihat ikut serta dalam aksi kekerasan di Masjid Al-Aqsa,” bunyinya dalam bahasa Arab. "Kami akan meminta pertanggungjawaban Anda."

Banyak orang punya kasus seperti Majd Ramlawi. Mereka mengatakan hanya tinggal atau bekerja di lokasi itu, tapi tidak ada hubungannya dengan kerusuhan. Lalu dari mana polisi bisa mengatakan mereka ikut dalam aksi kekerasan?

Yang tidak diketahui Mahd Ramlawi adalah bahwa dinas intelijen dalam negeri Israel, Shin Bet, menggunakan teknologi pengawasan massal yang juga dipakai untuk pelacakan kontak virus corona guna mengawasi mobilitas penduduk.

Pada awal pandemi, jutaan orang di seluruh dunia memercayai pejabat pemerintahan, yang mengatakan mereka membutuhkan data-data pribadi untuk menghentikan penyebaran virus corona. Ternyata data-data yang dikumpulkan itu sekarang sering dipakai polisi untuk pengusutan.

Aplikasi COVID-19 "Leave Home Safe" di Hong Kong
Aplikasi COVID-19 dibutuhkan untuk mendapat akses ke berbagai tempatFoto: BERTHA WANG/AFP

"Pengawasan 360 derajat”

Teknologi yang dirancang untuk memerangi COVID-19 dialihkan begitu saja oleh penegak hukum dan dinas intelijen di berbagai negara, termasuk di negara-negara demokrasi. Di India, pengenalan wajah dengan teknologi kecerdasan buatan meledak setelah partai nasionalis Hindu dari Perdana Menteri Narendra Modi, Bharatiya Janata Party, berkuasa pada tahun 2014. Teknologi itu sekarang menjadi alat bagi polisi untuk memantau pertemuan massal. India berambisi membangun jaringan pengenalan wajah terbesar di dunia.

Di kota Hyderabad, polisi mulai memotret orang-orang yang melanggar aturan penggunaan masker atau sekadar mengenakan masker secara tidak benar. Komisaris Polisi C.V. Anand mengatakan, kota itu telah menghabiskan ratusan juta dolar dalam beberapa tahun terakhir untuk kendaraan patroli, kamera CCTV, aplikasi pengenalan wajah, dan beberapa ratus kamera pengenal wajah.

"Ketika (perusahaan) memutuskan untuk berinvestasi di sebuah kota, pertama-tama mereka melihat situasi hukum dan ketertiban," kata Anand, membela penggunaan alat-alat tersebut sebagai hal yang mutlak diperlukan.

Masood, seorang aktivis sosial yang telah memimpin kampanye transparansi pemerintahan di Hyderabad, melihat lebih banyak yang dipertaruhkan. Masood dan ayah mertuanya pernah dihentikan secara acak oleh polisi di pasar selama lonjakan COVID-19 tahun lalu. Masood mengatakan petugas menyuruhnya melepas maskernya agar mereka bisa memotret dia dengan tablet.

"Saya memberi tahu mereka bahwa saya tidak akan melepas masker. Mereka bertanya mengapa tidak." Dia akhirnya dipotret dengan masker, tapi Masood tetap merasa cemas: Di mana dan bagaimana foto dia akan digunakan? Apakah fotonya akan ditambahkan ke basis data pengenalan wajah di kepolisian?

Sekarang dia mengajukan gugatan di Pengadilan Tinggi Telangana untuk mencari tahu, mengapa fotonya diambil dan untuk membatasi penggunaan pengenalan wajah secara luas.

Situasi 'new normal' pengawasan melekat

Data-data pribadi untuk pengawasan COVID-19 juga digunakan oleh polisi di Australia dan Amerika Serikat. Selama dua tahun kontrol perbatasan yang ketat, mantan Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengambil langkah luar biasa dengan mengangkat dirinya sendiri sebagai menteri dari lima departemen, termasuk Departemen Kesehatan.

Saat itu diperkenalkan aplikasi tingkat nasional dan tingkat negara bagian untuk memberi tahu orang-orang ketika mereka berada di sekitar seseorang yang dites positif virus corona. Namun, aplikasi itu juga digunakan untuk keperluan lain. Badan intelijen Australia "secara tidak sengaja" tertangkap mengumpulkan data dari aplikasi COVIDSafe nasional.

Ketika bos geng motor Nick Martin ditembak dan terbunuh di ajang balap motor di Perth, polisi mengakses data check-in kode QR aplikasi kesehatan dari 2.439 penggemar balap motor yang menghadiri balapan Desember 2020 itu. Data-data tersebut termasuk nama, nomor telepon, dan waktu kedatangan. Pembunuhan itu akhirnya memang bisa terungkap, tetapi bukan dengan pelacakan datra-data pribadi, melainkan dengan menggunakan taktik kepolisian tradisional, termasuk pencocokan jejak kaki, pelacakan ponsel, dan akhirnya pengakuan.

Di AS, pemerintah federal mengambil kesempatan untuk membangun perangkat pengawasannya dengan mengandalkan aturan karantina COVID-19 dari negara bagian dan otoritas lokal. Dokumen yang diperoleh kelompok hak-hak imigran "Just Futures Law" menunjukkan bahwa pejabat federal mempertimbangkan berbagai cara untuk berbagi data, yang jauh melampaui COVID-19.

Protokol COVID-19 tampaknya tidak memiliki perlindungan informasi atau pembatasan penggunaan data-data pribadi, kata Paromita Shah, Direktur Eksekutif Just Futures Law. "Apa yang dilakukan pandemi adalah meledakkan industri pengumpulan data biometrik dan biografi secara massal," katanya.

"Setiap intervensi yang meningkatkan kekuatan negara untuk memantau individu memiliki buntut yang panjang,” kata John Scott-Railton, peneliti senior di lembaga pengawas internet "Citizen Lab" yang berbasis di Toronto.

"Apa yang dilakukan COVID-19 adalah mempercepat penggunaan alat-alat ini dan menormalkan penggunaan data-data itu oleh negara," ujarnya. Tampaknya, otoritas menggunakan narasi "normal baru” tidak hanya untuk pandemi corona, melainkan juga untuk penggunaan data-data pribadi oleh aparat keamanan, tambahnya.

(hp/ha)