1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Pandemi COVID-19 Melambat di Musim Panas?

11 Juni 2020

Belahan Bumi utara bersiap memasuki musim panas dan suhu makin hangat. Apakah dengan itu pandemi COVID-19 akan melambat atau bahkan hilang? Simak penjelasan ilmiahnya!

https://p.dw.com/p/3dcY7
BG Europas schönste Strände | Deutschland Warnemünde
Eropa siap masuki musim panas dan turis diharap kembali memenuhi obyek wisata dan seragan virus corona juga diharap melambatFoto: picture-alliance/dpa/J. Büttner

Biasanya datangnya musim panas di belahan utara Bumi, menandai berakhirnya masa penyakit flu di kawasan itu. Pertanyaan logis yang dilontarkan adalah, apakah musim panas akan menghentikan penyebaran virus Corona?

Jawaban para ilmuwan adalah, iklim tidak akan menghentikan pandemi COVID-19 yang saat ini sedang melanda dunia. Faktanya bisa dilihat di Brazil atau Mesir, di mana suhu dan intensitas pancaran matahari mirip saat musim panas di hemisfer utara. Dan di sana justru tampak peningkatan kasus Covid-19.

Walau begitu, ada data teranyar yang menunjukkan, bagaimana cahaya matahari, kelembaban udara dan hembusan angin di suatu kawasan mempengaruhi virus Corona. Paling tidak ada secercah harapan, musim panas akan memperlambat penyebaran SARS-Cov-2.
 

Apakah serangan virus corona musiman?

Para ilmuwan masih mengamati sifat virus corona jenis baru ini, dan belum bisa mengambil kesimpulan, karena virus pemicu COVID-19 itu belum lama muncul.

Infeksi sistem pernafasan seperti influenza, sejauh ini mengikuti pola musiman di kawasan bermusim empat. Kondisi lingkungan seperti suhu dingin, kelembaban rendah dalam ruangan dan orang lebih banyak berada di rumah, bisa mempercepat penyebaran epidemi.

Laporan data efek cuaca terhadap virus corona SARS-Cov-2 juga berbeda-beda. Penelitian terbaru di 221 kota di Cina menunjukkan, suhu, kelembaban dan sinar matahari tidak mempengaruhi kecepatan penyebaran virus.

Namun dua riset lainnya melaporkan adanya efek cuaca. Monitoring di 47 negara menunjukkan, suhu tinggi memperlambat transmisi virus. Fenomena ini misalnya diamati di Australia, Filipina dan Brasil.

“Hemisfer utara Bumi kemungkinan mengamati turunnya kasus COVID-19 di saat musim panas dan akan naik kembali di musim dingin“, demikian kesimpulan penulis dari penelitian lainnya yang mencakup 117 negara. Riset menemukan, setiap peningkatan jarak satu derajat lintang dari khatulistiwa, punya asosiasi dengan kenaikan kasus 2,6%.

“Kami tidak bisa mengandalkan pada harapan, bahwa musim atau temperatur akan menjadi jawaban bagi penyebaran virus corona," demikian diperingatkan Mike Ryan, Kepala program gawat darurat Organisasi Kesehatan Dunia-WHO.

Mengapa musim picu perbedaan penyebaran penyakit?

“Alasan mengapa cuaca dingin diperkirakan memicu penyebaran penyakit sistem pernafasan seperti batuk, flu dan pilek adalah, udara dingin menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan atas. Ini membuat kita lebih ringkih pada infeksi virus“, kata Simon Clarke, pakar mikrobiologi seluler di University of Reading, Inggris.

Dalam uji laboratorium, jika suhu dan kelembaban dinaikan, partikel virus corona pada permukaan lebih cepat kehilangan kemampuan untuk menginfeksi manusia. Virus juga dengan cepat tidak aktif jika terpapar sinar matahari, demikian hasil penelitan ilmuwan AS.

Para pakar juga menyarankan, di saat musim panas tetap sering mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Penyebaran partikel virus dari penderita saat batuk, juga menyebar cebih cepat jika ada angin.

Faktor lain pemicu lemahnya virus di musim panas

Faktor kunci lainnya adalah Vitamin D. Tubuh manusia memproduksi vitamin D jika kulit terpapar cahaya matahari. Para ilmuwan meneliti apakah kadar vitamin D yang meregulasi kekebalan tubuh dalam darah, mempengaruhi kerentanan pada infeksi virus corona. Atau seberapa parah jika mereka terinfeksi?

Faktor lainnya adalah, tingkat serbuk sari bunga di udara saat musim panas. Sebuah penelitian di Belanda mengenai kaitannya dengan penyakt virus seperti flu dan COVID-19 menunjukkan, jika kadar serbuk sari bunga mencapai 610 grains per kubik meter, kasus penyakit mirip flu melambat.

Kadar serbuk sari bunga di udara setinggi ini, biasanya tercapai saat bulan Oktober, di penghujung musim panas. Riset menunjukkan, serbuk sari bunga di udara berfungsi sebagai filter yang menangkap partikel virus. Juga keberadaan serbuk sari bunga di udara memicu aktivitas kekebalan tubuh, bukan hanya pada penderita alergi saja.
as/ml   (Reuters)