1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Konvensi Jenewa tentang Pengungsi Masih Relevan?

Martina Schwikowski
25 Agustus 2021

Dokumen PBB yang mengatur hak-hak pengungsi telah berusia 70 tahun. Para ahli mengatakan kemauan politik untuk memenuhi hak pengungsi berdasarkan perjanjian ini masih kurang.

https://p.dw.com/p/3zQZn
Perahu penuh pengungsi di perairan internasional
Perahu penuh pengungsi di perairan internasionalFoto: Johannes Moths/Hotspot-Foto/imago images

Membela hak asasi manusia adalah jalan hidup dan kegiatan harian Hamado Dipama. Ia melakukannya setiap hari sejak melarikan diri dari kekerasan bermotif politik di negara asalnya, Burkina Faso.

Dua puluh tahun lalu saat masih berstatus sebagai mahasiswa muda, Dipama bergabung dengan protes menentang kediktatoran Blaise Compaore yang memerintah Bukina Faso dengan tangan besi selama 27 tahun. Blaise Compaore akhirnya dilengserkan dari kekuasaan saat terjadi pemberontakan tahun 2014.

Dipama kini tinggal di München, ibu kota negara bagian Bayern di Jerman wilayah selatan.  "Ketika saya melarikan diri, saya tidak mengetahui (adanya) Konvensi Pengungsi Jenewa," kata Dipama kepada DW dalam sebuah wawancara.

"Itu bukan sesuatu yang dibicarakan di belahan bumi bagian selatan. Orang-orang di sana hanya punya sedikit informasi tentang itu."

'Mengapa saya tidak dapat perlindungan?'

Namun, ketika tiba di Eropa, Dipama dihadapkan pada kenyataan bahwa konvensi itu hanya memberikan perlindungan bagi sebagian orang, tetapi tidak bagi sebagian lainnya. 

"Kenapa orang-orang tertentu dapat perlindungan tapi saya tidak, padahal saya bisa menunjukkan semuanya tentang situasi saya di Burkina Faso?" kata Dipama. Selama sembilan tahun pertama ia tinggal di Jerman, Dipama memegang izin tinggal dengan status "izin tinggal yang ditoleransi".

Akibatnya, dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan tetap, tidak bisa bergerak bebas di dalam Jerman, atau juga mengakses sebagian besar program kesejahteraan di Jerman.

Hamado Dipama berdemonstrasi menentang rasisme di München, Jerman
Hamado Dipama saat berdemonstrasi menentang rasisme di München, Jerman, pada 29 Juni 2017Foto: Sachelle Babbar/ZUMA/picture alliance

Pengungsi juga punya hak

Konvensi Pengungsi Jenewa secara resmi dikenal sebagai "Konvensi dan protokol yang berkaitan dengan status pengungsi". Ini adalah landasan yang sangat diperlukan bagi perlindungan pengungsi internasional. Dokumen ini menjabarkan definisi siapa saja yang bisa disebut pengungsi, serta hak dan kewajiban yang mereka miliki.

Seseorang berhak atas status pengungsi jika mereka telah meninggalkan negaranya karena "Ketakutan yang beralasan akan dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik tertentu," menurut kata-kata asli dalam dokumen tersebut.

PBB mengadopsi konvensi ini di Jenewa pada tahun 1951. Saat itu Perang Dunia II baru beberapa tahun usai dan dunia tengah menghadapi peningkatan ketegangan politik antara Timur dan Barat.

Awalnya konvensi ini terbatas, utamanya untuk melindungi pengungsi Eropa setelah Perang Dunia II. Karena situasi yang berubah di seluruh dunia, protokol 1967 kemudian muncul dan memperluas ruang lingkup konvensi. Sekitar 149 negara telah menandatangani salah satu atau kedua konvensi tersebut.

Alasan migrasi telah banyak berubah

Konvensi Jenewa tentang pengungsi dinilai masih memainkan peran penting hingga hari ini. Konvensi itu adalah satu-satunya dokumen yang mewajibkan negara-negara di dunia untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi, kata Susan Fratzke, analis di Institut Kebijakan Migrasi di Brussel, Belgia.

Namun, saat ini orang-orang terpaksa mengungsi dan meninggalkan rumah mereka karena alasan yang berbeda dari situasi saat Perang Dingin. Saat ini alasan banyak yang berbeda, utamanya adalah karena gagalnya pemerintahan, perebutan kekuasaan antarkelompok, runtuhnya ekonomi suatu negara, serta ketidakmampuan mencari nafkah di negara asal.

Pada 30 tahun yang lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) bahkan telah mengisyaratkan kesadaran bahwa orang-orang akan punya motivasi baru untuk mengungsi, seperti situasi ekonomi yang sulit di wilayah asal.

"Ini bukan lagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan dan berharap kehidupan yang lebih baik," Douglas Stafford yang saat itu menjabat sebagai wakil komisaris tinggi UNHCR mengatakan dalam wawancara dengan DW di tahun 1991. "Kita harus sangat berhati-hati di masa depan tentang bagaimana kita mengatasi masalah migran ekonomi," tegasnya.

Saat ini, hampir setiap negara Afrika telah menandatangani Konvensi Pengungsi dan selama beberapa dekade, beberapa negara Afrika telah menjadi tuan rumah bagi sejumlah besar pengungsi di dunia.

Namun, para ahli melihat bahwa banyak negara Afrika yang menampung para pengungsi ini sendiri menderita kekurangan sumber daya dan mereka sendiri merupakan negara yang rapuh dengan ekonomi yang sulit.

Tidak ada kemauan politik

Namun, Konvensi Jenewa tentang Pengungsi pun dinilai telah gagal mencapai potensinya. Satu masalahnya adalah kurangnya kewajiban yang mengikat untuk berbagi tanggung jawab, demikian menurut pakar migrasi Abiy Ashenafi, yang mengepalai Unit Migrasi di Pusat Hak Asasi Manusia di Universitas Pretoria, Afrika Selatan.

Konvensi ini juga gagal menyediakan mekanisme pengaduan bagi pengungsi kepada negara tuan rumah, tulisnya dalam email untuk DW. 

Masalah lain menurut Susan Fratzke di Belgia, adalah fakta bahwa konvensi ini bukanlah badan eksekutif. Setiap penandatangan harus mengabadikan komitmennya terhadap konvensi melalui undang-undang suaka yang sesuai di negara asal.

Masalahnya, kata Fratzke, adalah banyak negara "tidak mau atau tidak mampu" melakukannya.

"Akibatnya, para pengungsi sulit mendapatkan perlindungan, padahal berdasarkan konvensi mereka berhak atas (perlindungan) itu."

Seruan untuk hormati dan perbarui konvensi

Kembali ke München, Hamado Dipama dari Burkina Faso mengkritik cara negara tuan rumah menangani pengungsi yang ia nilai sering kali menyimpang dari konvensi Jenewa.

Ia juga mempertanyakan kebijakan deportasi, misalnya ketika pengungsi yang terintegrasi dengan baik justru dikirim kembali ke negara asal yang penuh gejolak.

Dipama menjadi juru bicara Dewan Pengungsi Bayern sejak 2007. Secara pribadi ia juga mengalami ketakutan dideportasi karena statusnya sebagai pengungsi yang "ditoleransi". Pada tahun 2014, ia akhirnya menerima izin tinggal dengan status settlement permit yang memberinya lebih banyak hak selama hidup di Jerman.

Sebulan yang lalu, Dipama mengajukan permohonan kewarganegaraan Jerman. Menurutnya ini bukanlah langkah mudah karena itu berarti melepaskan paspor negara asalnya.

Saat ditanya tentang seperti apa seharusnya konvensi pengungsi di masa mendatang, Dipama mengatakan "Kami tidak minta banyak."

"Setiap negara harus melakukan apa yang mereka tanda tangani dalam konvensi, dan mengubah dokumen itu sehingga pengungsi dari negara-negara bermasalah saat ini bisa menerima lebih banyak perlindungan."

ae/ha