1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Kebijakan Militer Obama Akan Merubah Politik NATO?

18 Februari 2009

Keputusan penambahan pasukan Amerika Serikat di Afghanistan, berarti pula AS menuntut sekutunya di NATO untuk meningkatkan keterlibatannya di Afghanistan.

https://p.dw.com/p/GwuP
Sekjen NATO Jaap de Hoop SchefferFoto: picture-alliance/dpa

Isyarat perubahan arah Amerika Serikat dalam kebijakan militer dan keamanan internasionalnya dimunculkan jelas dalam konferensi keamanan internasional beberapa waktu lalu. Berpidato dalam konferensi yang berlangsung di München, Jerman, kala itu Wakil Presiden AS Joe Biden menyebutkan: "Amerika akan berbuat lebih banyak. Itu kabar baiknya. Nah kabar buruknya, Amerika akan menuntut juga para sekutunya agar berbuat lebih banyak pula."

Salah satu perwujudannya tampak dari keputusan yang baru saja diambil Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Selasa malam (17/02), yakni mengirimkan 17 ribu serdadu tambahan AS ke Afghanistan. Ini merupakan pula pembuktian janji Obama, untuk menarik pasukan dari Irak, dan mengalihkannya ke Afghanistan yang lebih dipandangnya sebagai prioritas.

Ini berarti pula, Amerika Serikat menuntut para sekututnya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO untuk juga meningkatkan keterlibatannya di Afghanistan. Padahal sejumlah besar negara-negara anggota NATO sudah menyatakan sebaliknya. Menurut Sekretaris Jenderal NATO Jaap de Hoop Scheffer, ini masalah besar. Bukan untuk konteks operasi militer itu, melainkan dampak politiknya

"Terus terang saja saya merasa prihatin. Karena ketika Amerika sudah menggariskan niatnya untuk meningkatkan keterlibatan di Afghanistan, negara-negara lain justru sudah menyatakan tidak akan meningkatkan keterlibatan mereka. Ini tidak baik untuk keseimbangan politik misi di Afghanistan. Ini tidak baik pula bagi keseimbangan politik di tubuh Pakta Pertahanan Atlantik Utara." Ungkap Scheffer.

Karena itu, kata Jaap de Hoop Scheffer, penting sekali bahwa anggota-anggota NATO lain juga meningkatkan peran militer masing-masing dalam operasi di Afghanistan.

Masalahnya, sejumlah negara anggota NATO sudah menggariskan kebijakan yang membatasi penugasan militer di luar negeri. Jerman, misalnya, penugasan pasukannya di Afghanistan hanya dibatasi untuk ditempatkan di wilayah utara yang relatif kurang bergolak. Ini sempat menimbulkan sengketa tersendiri di tubuh NATO. Jerman memilih untuk menjajaki peningkatan keterlibatannya dalam berbagai proyek pembangunan non-militer. Sebagaimana diungkap Menteri Pertahanan Franz Josef Jung:

"Tanpa keamanan, tak akan ada pembangunan. Namun tanpa pembangunan juga tak akan tercipta keamanan. Jalan militer semata tidak akan membuat misi ini berhasil.“

Sebetulnya tak ada yang tidak sepakat dengan pernyataan menteri pertahanan Jerman ini. Yang menjadi persoalan lebih pada proporsi antara operasi militer dan pembangunan. Kenyataannya, situasi keamanan di Afghanistan beberapa tahun terakhir memburuk. Taliban makin menguat, kekerasan meningkat tajam. Inilah yang menjadi dasar pemikiran Presiden Barack Obama sejak awal sekali, untuk menggeser prioritas dari Irak ke Afghanistan. Para menteri pertahanan NATO harus menemukan rumusan keseimbangan ini.

Di sisi lain, pemerintahan Amerika Serikat di bawah Obama tampak mengubah pembawaan politik militernya, menjadi cenderung lebih tenang. Seperti tampak dari ucapan Menteri Pertahanan Robert Gates mengenai operasi di Afghanistan.

"Yang saya cemaskan adalah jika orang Afghanistan memandang kita sebagai bagian dari masalah, dan bukannya bagian dari pemecahan. Kalau itu yang terjadi, kita akan kalah."

Hal lain tampaknya berubah dari AS di bawah Obama dalam konteks NATO, adalah masalah Iran dan rencana menggelar sistem rudal penangkis di Eropa Timur, yang selama ini menjadi titik kritis hubungan Rusia dengan NATO. Pemerintah Obama tidak akan mengubah seketika sikap secara drastis. Namun menunjukan kesiapan untuk berembuk. (gg)