Anti-Woke: Sambut Trump, Perusahaan AS Jauhi Keberagaman
14 Januari 2025Di Amerika Serikat, istilah DEI menjelma menjadi medan pertarungan ideologi. Kaum progresif melihatnya sebagai sebuah kontribusi bagi keadilan sosial. Oleh kelompok konservatif, akronim itu dipandang sebagai ejekan terhadap gerakan Woke, yang menentang rasisme dan diskriminasi.
DEI adalah singkatan dari Diversity, Equity and Inclusion, alias keberagaman, keadilan dan inklusi. Tujuannya adalah untuk mempromosikan kultur korporasi yang tidak mendiskriminasi, terutama berdasarkan identitas atau warna kulit. Sasaran ini dicapai melalui restrukturisasi demi melibatkan kaum minoritas dalam proses pembuatan keputusan.
Dunia korporasi AS berbondong-bondong mengadopsi keragaman sejak maraknya gerakan Black Lives Matter di AS pada tahun 2020.
Kini, beberapa perusahaan besar mulai menunda impelementasi program DEI, termasuk jaringan makanan cepat saji McDonald's, raksasa supermarket Walmart, produsen pesawat Boeing, dan produsen mobil Ford.
"Tapi bukan artinya bahwa keberagaman dan kesetaraan gender tidak lagi penting bagi dunia korporasi," kata konsultan DEI Lily Zheng. Sebaliknya, penundaan menunjukkan bahwa perusahaan mengkaji ulang strateginya demi menghindari kontroversi.
Dalam sejumlah kampanye daring dan kasus pengadilan, kaum konservatif berusaha menegaskan gagasan bahwa program DEI sendiri bersifat diskriminatif, terutama terhadap pria kulit putih.
"Setiap pelaku usaha harus menyadari, bahwa DEI akan menjadi jauh lebih kontroversial pada tahun 2025, dan akan menjadi risiko yang berkembang yang perlu mereka hadapi," kata Zheng kepada DW.
Kemajuan dalam gelombang
Gerakan demi keberagaman sedianya dipandang sebagai upaya merontokkan diskriminasi sistemik yang selama ini dialami warga kulit hitam dan kaum perempuan. Tapi progresnya bukan tanpa hambatan.
"Sejak keputusan afirmatif Mahkamah Agung pada bulan Juni 2023, gugatan terhadap implementasi DEI telah meningkat secara signifikan," kata David Glasgow, direktur eksekutif Meltzer Center for Diversity, Inclusion, and Belonging di Universitas New York.
Putusan MA menyatakan, praktik yang meluas di Amerika Serikat untuk mempertimbangkan etnis ketika menerima calon mahasiswa di perguruan tinggi dan universitas, misalnya melalui kuota untuk warga kulit hitam, bertentangan dengan konstitusi. Vonis tersebut juga memiliki konsekuensi di luar sistem pendidikan.
Akibatnya, pegiat konservatif seperti Robby Starbuck semakin gencar menggunakan media sosial untuk menyerang perusahaan karena menerapkan program keberagaman. Popularitas DEI sedemikian rontok, Starbuck pada bulan November 2024 membanggakan diri telah memainkan peran kunci di balik keputusan raksasa ritel Walmart untuk mengakhiri program DEI.
Stephen Miller, mantan penasihat politik Donald Trump dan dijadwalkan menduduki posisi di pemerintahan berikutnya, juga giat melayangkan gugatan hukum, termasuk terhadap Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, dan pengecer daring Amazon. Miller mengklaim bahwa inisiatif DEI mendiskriminasi pria kulit putih.
Arus balik di era Trump
Sejumlah gugatan sudah dimenangkan pengadilan. Pada bulan September, perusahaan modal ventura Fearless Fund mengumumkan bahwa mereka akan secara permanen mengakhiri program untuk mendukung wirausahawan wanita kulit hitam.
Keputusan itu didahului oleh sengketa hukum dengan kelompok konservatif "Aliansi Amerika untuk Hak yang Sama" milik aktivis Edward Blum. Program tersebut dipandang melanggar Undang-Undang Hak Sipil tahun 1866 karena melakukan diskriminasi berdasarkan ras.
"Gugatan hukum terhadap DEI akan memiliki peluang keberhasilan yang lebih besar ketika Donald Trump sudah memangku jabatan sebagai presiden AS pada bulan Januari," menurut Glasgow dari Universitas New York. "Dia akan menunjuk lebih banyak hakim yang akan menafsirkan undang-undang antidiskriminasi secara konservatif. Jadi saya perkirakan beberapa kasus pengadilan yang kita awasi akan memutuskan menentang program DEI."
DW bertanya kepada Walmart mengapa pemberi kerja swasta terbesar di AS telah menghentikan program pelatihannya tentang perlakuan yang sama terhadap semua kelompok etnis. Walmart membiarkan permintaan tersebut tidak terjawab.
Perusahaan besar lain yang telah mengurangi upaya DEI-nya menolak berkomentar karena takut akan reaksi keras.
Lily Zheng mengaku bisa membayangkan bahwa manajemen perusahaan sedang merasa gelisah. Dalam iklim bisnis yang semakin berisiko, mereka harus membuat "keputusan yang berdampak besar pada keuntungan, reputasi merek, tingkat retensi dan moral karyawan."
Rebranding sebagai jalan keluar?
Saat ini, sebagian besar perusahaan AS masih memiliki kebijakan DEI, menurut sebuah studi oleh The Conference Board, sebuah lembaga penelitian. Sekitar 80 persen perusahaan yang disurvei berencana untuk mempertahankan atau meningkatkan pendanaan mereka untuk program DEI selama tiga tahun ke depan.
"Tetapi bahkan perusahaan yang mengurangi program DEI, masih bisa tetap setia pada nilai-nilai keberagaman, " menurut Lily Zheng.
"Mungkin mereka menyebutnya sebagai rasa memiliki, mungkin mereka menyebutnya sebagai rasa keadilan. Apa pun itu, sebagian besar komitmen yang sudah ada tidak akan diubah," kata Zheng.
Faktanya, hanya beberapa minggu setelah kemenangan pemilu Donald Trump, Walmart memperbarui situs webnya dan mengganti nama bagian dari "Kepemilikan, Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi" menjadi "Kepemilikan" saja.
"Walmart dan perusahaan lain tidak ingin menggunakan perubahan strategis untuk menyatakan bahwa tempat kerja yang beragam, tidak lagi berarti apa pun bagi mereka," ujar David Glasgow dari Universitas New York. Sebaliknya, pesannya adalah: "Kami tidak akan lagi menawarkan jenis program DEI tertentu."
"Namun, tanpa tujuan keberagaman yang jelas, investasi yang dilakukan di area ini akan berkurang," Lily Zheng memperingatkan. Jika para pemimpin ragu untuk mengambil sikap dan menyatakan komitmen mereka terhadap nilai-nilai ini, kata Zheng, "kita bisa kehilangan kendali atas bagaimana isu ini dibicarakan."
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman