1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BencanaIndonesia

Antara Bencana, Penyaluran Bantuan, dan Empati

Kusumasari Ayuningtyas
30 November 2022

Pakar menyebut kondisi di lokasi bencana Cianjur sangat kompleks, dan meminta masyarakat tidak langsung menyimpulkan kurangnya empati warga, hanya berdasar video singkat pencegatan bahan bantuan.

https://p.dw.com/p/4KEmX
Gempa Cianjur, Jawa Barat, 21 November 2022
Akses jalan di beberapa daerah terputus setelah gempa di Cianjur (21/11) yang makin menyulitkan penyaluran bahan bantuan.Foto: Aditya Irawan/NurPhoto/IMAGO

Peristiwa gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11) menewaskan sedikitya 300 orang. Sekitar 70 ribu warga terpaksa meninggalkan rumah dan mengungsi di sekitar 200 titik pengungsian, demikian laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dikutip dari laman web mereka.

Usai bencana gempa, beragam bantuan dari instansi resmi maupun yang bersifat suka rela terus mengalir. Namun penyaluran bantuan memicu sejumlah polemik baru, akibat terjadinya pencegatan bantuan oleh sejumlah warga lokal seperti yang sempat diberitakan viral di media sosial.

Kecaman berdatangan sebagai reaksi tindakan pencegatan bantuan tersebut. Beberapa di antara anggota oraganisasi massa maupun warga yang terlihat aksi pencegatan juga telah dipanggil pihak kepolisian untuk dimintai keterangan.

Bukan pertanda kurangnya empati

Namun, sejumlah pakar meminta masyarakat untuk tidak langsung menyimpulkan nihilnya empati, hanya berdasarkan rekaman video singkat aksi pencegatan bantuan yang beredar di internet tersebut.

Devie Rahmawati, sosiolog dari Universitas Indonesia yang juga menjadi koordinator Relawan SiapBergerak dan turun langsung ke lokasi bencana di Cianjur mengimbau, agar masyarakat tidak langsung menyimpulkan tindakan yang dilakukan oleh para warga yang menghadang bantuan sebagai tindakan tidak punya empati. Menurut pengamatannya, kondisi di lokasi bencana sangatlah kompleks.

"Banyak sekali wilayah terdampak. Gempa tidak hanya terjadi sekali kemudian berhenti, tetapi terjadi gempa susulan terus-menerus. Juga tampaknya ada indikasi, bantuan belum merata. Bukan karena tidak adanya bantuan, tetapi karena sulitnya akses," ujar Devie saat dihubungi DW Indonesia.

Penumpukan kendaraan di jalan menuju lokasi bencana, membuat distribusi bantuan tersendat. BNPB pun mengantisipasinya dengan menerjunkan tim yang menggunakan sepeda motor untuk menjangkau wilayah-wilayah terpencil, mengingat area yang berbukit dan banyak terjadi longsor karena hujan yang terus-menerus.

"Saya ingin kita semua berhati-hati dalam menyimpulkan, kondisinya tidak sesederhana itu. Videonya pun menurut saya tidak begitu menjelaskan kejadian sebenarnya. Karena memang semuanya dalam kondisi urgent, semua butuh bantuan cepat," terang Devie. 

"Memang ada posko-posko, tetapi perlu diketahui, ketika terjadi bencana warga lokal cenderung tidak mau jauh-jauh dari rumahnya, kalau pun pergi hanya yang dekat-dekat termasuk dalam mengakses bantuan," ujarnya.

Beri pendampingan dan kepastian

Psikolog anak dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan mengatakan, kondisi yang serba tidak pasti dan kurangnya komunikasi dapat berkontribusi terhadap kesalahpahaman, utamanya di wilayah bencana. Ditambah pula dengan adanya kepanikan dan kekhawatiran akan kemungkinan kekurangan bantuan.

"Dalam situasi genting atau situasi yang tidak menentu seperti ini, aspek empati menjadi aspek kesekian yang muncul dalam diri korban. Karena yang terpenting bagi mereka, adalah memenuhi kebutuhan keluarganya. Meskipun tidak bisa dibenarkan, karena akan mengganggu jalur bantuan dan ketertiban," kata Sani kepada DW Indonesia.

Tindakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan otoritas setempat untuk mengantisipasi hal seperti ini adalah dengan memberikan dampingan kepada korban bahwa mereka akan mendapatkan bantuan, sehingga mereka merasa tenang dan tidak panik, serta tidak khawatir bahwa bantuan tidak cukup, ujar Sani Budiantini.

Sementara itu, Sukma Prawitasari, psikolog pendamping di rumah konseling Aku Temanmu di Serang, Banten mengatakan, tindakan sejumlah warga tersebut lebih cenderung sebagai tindakan reaktif, yakni salah satu reaksi psikologis korban bencana alam. Ciri khasnya antara lain yaitu spontan, emosional, minim melibatkan sisi berpikir logis ataupun sebab-akibat.

Lebih lanjut Sukma melihat munculnya reaksi tersebut bisa saja dipicu adanya perasaan iri dan kesal, mengingat luasnya area bencana dengan pembagian bantuan yang kala itu belum merata. Namun ia juga tidak mau serta-merta mengatakan bahwa tindakan ini mencerminkan rendahnya empati seseorang.

Tanamkan empati sedini mungkin

Meski demikian, Sukma Prawitasari menyebutkan, bukan hal yang tidak mungkin, orang-orang tetap bisa mendahulukan empatinya, meskipun dia juga menjadi korban bencana. Empati merupakan sebuah kebiasaan yang dibentuk dan tergantung pada kepribadian dan kondisi mental seseorang yang terbentuk jauh sebelum kejadian bencana.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, empati adalah "keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain." 

Psikolog Sukma Prawitasari mengatakan bahwa di usia dini, empati bisa diperkenalkan oleh orang tua ataupun pengasuh dengan memberi contoh agar anak menjadi terbiasa dan menirunya, serta memberikan pujian sebagai penguat anak ketika tindakannya dinilai baik. Kemudian pada usia sekolah, empati dibentuk melalui contoh dan penerapan peraturan. Ketika ada pelanggaran, anak diingatkan, didampingi untuk memperbaiki.

Setelah dewasa, dalam kehidupan sosial empati menjadi bagian dari norma. Ditulis dan ditempel sehingga orang yang melihat norma tertulis tersebut dapat merespon dengan tindakan yang tepat. Misalnya, ada bangku prioritas untuk manula dan ibu hamil di kendaraan umum. Penumpang yang tidak hamil atau bukan lansia akan menghindari duduk di area tersebut. Jika ada yang melanggar akan ditegur.

Sukma yang juga pernah tergabung dalam tim recovery korban bencana, mencontohkan tindakan penuh empati yang ditunjukkan oleh para pemimpin lokal maupun pemimpin agama di lokasi bencana yang pada umumnya telah terbiasa menerapkan empati dalam keseharian.

Saat rumah mereka juga roboh, anggota keluarga tidak lagi utuh usai bencana, para pemimpin di tingkat lokal ini tetap menjalankan kewajibannya mendistribusikan bantuan kepada warga dan memberikan informasi tentang kondisi warganya.

"Empati adalah bagian dari sifat baik dan terpuji yang umum dikenal dan dibutuhkan manusia. Maka untuk menanamkan empati menjadi sebuah karakter harus dimulai sedini mungkin," ujar Sukma. (ae/as)