1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Ancaman Kesehatan Hantui Perokok Elektrik Muda di Indonesia

9 Januari 2024

Menurut Kemenkes, prevalensi perokok elektrik usia 10-18 tahun naik hampir 10 kali lipat. Risiko kesehatan seperti paru-paru bocor atau radang paru-paru (pneumonia) mengintai.

https://p.dw.com/p/4b2IM
Ilustrasi perokok elektrik
Ilustrasi perokok elektrikFoto: Koen van Weel/ANP/IMAGO

Dimas Wicaksono, 34, dengan sigap meraih rokok elektrik dan menghisap dalam-dalam cairan nikotin dengan rasa es teh. Menggunakan alat rokok elektrik sudah menjadi kebiasaan yang melekat. Ia sudah mengonsumsi nikotin cair dengan perasa sejak 2018.

"Sehari bisa habis 5 sampai 7 mililiter liquid rokok elektrik. Termasuk tinggi. Sensasinya sama kayak rokok (konvensional) karena ada nikotin jadi melek," kata Dimas kepada DW Indonesia.

Awalnya Dimas mengonsumsi rokok tembakau konvensional. Namun sejak 2015 hingga 2018 dia berusaha meninggalkan jenis rokok itu dan pelan-pelan beralih ke rokok elektrik. Lelaki yang sehari-hari bekerja di sekitar Thamrin, Jakarta Pusat, merasa rokok konvensional membawa lebih banyak dampak buruk daripada vape.

"Gigi menjadi kuning. Jari tangan jadi kuning karena tembakau. Bibir hitam. Tenggorokan terasa gatal dan nafas sesak kalau olah raga berat," tutur Dimas. Ia membandingkan dengan vape yang menurutnya bisa mengurangi ketergantungan tembakau dan kenikmatan yang beda dari tiap rasa.

Ancaman kesehatan mengintai

Padahal, keterangan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Desember 2023 menyatakan bahwa rokok elektrik sebagai produk konsumen tidak terbukti efektif untuk menghentikan penggunaan tembakau di tengah masyarakat. WHO juga menambahkan bahwa bukti-bukti merisaukan telah muncul mengenai dampak buruk vape.

Oleh karena itu, WHO juga mendesak perlunya usaha pengendalian rokok elektrik di tengah masyarakat untuk melindungi anak-anak serta perokok.

Dimas mengaku sudah melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh satu setengah tahun yang lalu. Termasuk organ dalamnya, paru-paru, juga dirontgen. "Paru-paru aman, bersih, tidak ada flek. Padahal konsumsi vape parah," kata Dimas kepada DW Indonesia.

Menanggapi klaim tersebut, dokter spesialis paru-paru Erlang Samoedro mengatakan dampak buruk dari konsumsi rokok elektrik akan muncul 20 sampai 30 tahun ke depan. Ia menjelaskan bahwa kendati kadar nikotin rokok elektrik lebih rendah daripada daripada rokok konvesional, namun keduanya punya dampak buruk yang sama.

"Polutan terdeposit terus di dalam tubuh, makin lama makin nambah. Kanker paru akibat rokok (konvensional) timbul dalam 10 sampai 15 tahun. Kalo pake vape mungkin akan lebih lama karena racun sedikit, ujungnya sama tapi timbulnya lebih lama," dokter Erlang menjelaskan kepada DW Indonesia.

Ia juga mewanti-wanti pengguna vape terhadap gejala yang mengintai dalam jangka pendek bila terus memasukkan nikotin cair dan kandungan kimia lainnya ke dalam tubuh. "Batuk, peradangan paru, asma bisa kambuh," ujar dokter Erlang. 

Kerajinan Tangan Cangklong: Antara Tradisi dan Kesadaran Dampak Buruk Merokok

Selain itu, pada sebuah webinar yang diselenggarakan hari Selasa (09/01) dokter spesialis paru sekaligus Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto, menegaskan bahwa rokok konvensional dan rokok elektrik sama-sama mengandung bahan yang bisa menyebabkan kecanduan dan berbahaya untuk kesehatan.

Agus mengatakan bahwa kedua produk tersebut memiliki kandungan zat nikotin, karsinogen, dan bahan toksik lainnya. Zat karsinogen adalah zat yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker.

"Atas dasar inilah tiga komponen yang sama-sama ada dalam rokok konvensional maupun rokok elektronik. Maka secara garis besar dua-duanya berbahaya," tegas Agus. Ia melanjutkan bahwa komponen asap dari rokok konvensional dan komponen uap dari vape mengandung partikel halus yang bisa merangsang iritasi dan peradangan. Sebagai contoh, kandungan bahan kimia glycol dan gliserol dapat menyebabkan iritasi saluran nafas dan paru-paru.

"Ini yang sering tidak muncul kalau di dalam diskusi-diskusi dari kelompok pro-rokok elektronik. Karena mereka akan menyampaikan lebih aman, karena ga ada tar-nya," Agus menyayangkan. Tar adalah zat kimia partikel padat yang hanya dihasilkan ketika rokok konvensional sudah dibakar. Tar dapat menumpuk dan menempel pada gigi sehingga berwarna kekuningan atau kecoklatan.

Prevalensi perokok elektrik Indonesia meningkat

Rokok elektrik diizinkan beredar di pasar terbuka dipasarkan secara agresif kepada generasi muda. Saat ini setidaknya sudah 34 negara melarang penjualan rokok elektronik. Namun, masih ada 88 negara yang tidak memiliki regulasi usia minimum untuk membeli vape, dan 74 negara tidak memiliki peraturan untuk produk tersebut.

Seperti dikutip dari Katadata, laporan perusahaan data pasar dan konsumen, Statista, mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara pengguna rokok elektrik terbanyak di dunia. Peringkat kedua ada Swiss, lalu Amerika Serikat, dan Inggris. Sebanyak dari 1 dari 4 orang Indonesia yang disurvei oleh Statista Consumer Insights, mengatakan pernah menggunakan vape setidaknya sesekali.

Dalam paparannya, dokter Agus Dwi Susanto mengutip laporan Global Adult Tobacco Survey 2021 Fact Sheet - Indonesia yang mengungkapkan bahwa prevalensi perokok elektrik dewasa yang berusia lebih dari 15 tahun di Indonesia meningkat 10 kali lipat dari tahun 2011 sampai 2021. Prevalensi adalah jumlah kasus suatu penyakit dalam sebuah populasi pada waktu tertentu. Sementara itu laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 oleh Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi perokok elektronik pada remaja rentang usia 10 sampai 18 tahun meningkat hampir 10 kali lipat dari tahun 2016 sampai 2018.

Dampak negatif penggunaan rokok elektrik sudah mulai muncul di Indonesia. Agus mengatakan ia pernah beberapa kali menangani pasien-pasien muda di rentang usia 18 tahun sampai 23 tahun yang mengalami paru-paru bocor atau radang paru-paru (pneumonia) akibat konsumsi vape.

"Sesak nafas, batuk-batuk 3 minggu. Dia pakai vape 3 bulan. Nah kemudian saya rontgen ternyata ada infeksi paru pneumonia. Saya obati pakai antibiotik. Saya suruh stop vape-nya. Habis itu ya stabil," jelas Agus.

"Maka sayang sekali dong kita punya anak, punya ponakan, punya temen muda pakai vape. Sudah tahu ada karsinogennya dihisap tiap hari. Maka yang terjadi bisa seperti ini," Agus mengingatkan.

Regulasi ketat untuk kendalikan rokok elektrik

Pemerintah Indonesia berupaya menurunkan prevalensi perokok anak usia 10 sampai 18 tahun dengan beberapa aturan tentang peredaran rokok elektrik dan konvensional. Pemerintah menarget penurunan prevalensi sebesar 8,7%, seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Menurut keterangan pers Kementerian Keuangan pada November 2022, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik sebesar 15% dan akan terus naik 15% selama lima tahun ke depan. 

Tidak hanya itu, kementerian yang dipimpin Sri Mulyani tersebut memberlakukan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan dan Penyetoran Pajak Rokok. Kebijakan tersebut berlaku sejak 1 Januari 2024 setelah sebelumnya pemerintah Indonesia memberikan masa transisi pemberlakuan regulasi sejak 2018. 

Produk rokok elektrik akan dipungut pajak sebesar 10% dari cukai rokok yang dibebankan ke pembeli.

Bagi pelaku usaha di sektor tersebut, regulasi tersebut memaksa mereka untuk menaikkan harga jualnya kepada pembeli. Sekretaris Jendral Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita mengatakan penurunan penjualan bisa terjadi. Namun menurutnya, penurunan belum terlihat pada bulan ini.

"Harga (liquid-nya) minimal 120 ribu. Kemungkinan terburuk (menaikkan) sampai 130 ribu, terutama ukuran 60 mililiter," kata Garindra kepada DW Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa pengguna vape dari kalangan menengah ke bawah sangat sensitive terhadap perubahan harga.

Saat ini APVI memiliki anggota sekitar 1,300 pelaku usaha vape tersebar di seluruh Indonesia, kata Garindra. Berapa pengguna rokok elektrik di Indonesia? Menurut APVI ada sekitar 6,9 juta pengguna, yang rutin menggunakan rokok elektrik mencapai 3 juta lebih.

Menurut Statista, pendapatan pasar rokok elektrik di Indonesia diproyeksikan mencapai USD 0,4 milliar (sekitar Rp6,2 triliun) pada 2024.

Sementara itu, dokter spesialis paru-paru Agus Dwi Susanto menuturkan bahwa perlu ada pembahasan kebijakan multisektor di pemerintah supaya kebijakan terkait dengan rokok elektronik ini sejalan dengan kebijakan pengendalian tembakau yang ada di Indonesia. Ia tidak menutup mata adanya pihak-pihak yang mendukung supaya produk vape tetap ada di tengah masyarakat.

"Karena kan tentu itu berkait dengan juga lapangan kerja, ekonomi, dan lain sebagainya," ujar Agus.

Kalangan profesi dokter paru-paru sudah mengirimkan surat tertulis kepada pemerintah dan presiden melakukan pengendalian terhadap rokok elektrik.

"Kalau bisa dilakukan pelarangan, ya dilarang. Kalau tidak bisa, ya dilakukan pengendalian seperti halnya pada rokok konvensional yang menganut pada prinsip-prinsip MPOWER (paket kebijakan unutk membantu negara mengurangi permintaan tembakau) dari WHO," jawab Agus merespon pertanyaan DW Indonesia. (ae)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).