1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Di Sini, Anak Lupa Gadget, Ibu Dapat Tambahan Uang Belanja

Fika Ramadhani
23 Juli 2024

Gelak tawa anak-anak meramaikan suasana di Kampung Lali Gadget. Bukan karena mabar, istilah main bareng game online, mereka sibuk dengan beraneka ragam permainan tradisional.

https://p.dw.com/p/4iUc0
Permainan tradisional egrang
Di Kampung Lali Gadget, anak-anak disuguhkan dengan beragam permainan tradisional, salah satunya egrang. Selain dituntut aktif secara fisik, permainan ini mengasah fokus dan keseimbangan badan.Foto: Gagah Setiawan/DW

Di tengah dunia yang serba digital, Desa Pagerngumbuk, Sidoarjo, Jawa Timur menawarkan suasana berbeda. Beraneka jenis mainan tradisional yang sarat akan kearifan lokal bisa dengan mudah ditemukan di sini. Sebut saja gasing kayu, egrang, congklak, uliran, bakiak, gundu, ketapel, kinciran dan masih banyak lainnya. 

Riuh gelak tawa anak-anak pun meramaikan suasana di sini. Bukan karena mabar, istilah main bareng game online yang kerap ramai dan jadi tren di tengah anak-anak saat ini, tapi mereka disibukkan dengan beraneka ragam permainan tradisional.

Ini adalah Kampung Lali Gadget (KLG). Dalam Bahasa Indonesia, lali berarti lupa. Keberadaan kampung ini memang ditujukan untuk membuat anak-anak sejenak melupakan gawai dan mengajak mereka aktif secara fisik dengan bermain permainan tradisional.

Geliat ekonomi lokal berkat mainan tradisional

Selain membuat anak lupa sejenak akan gadget mereka, ekonomi warga sekitar juga ikut terbantu? Mereka turut membuat dan menjajakan mainan-mainan tradisional. Seperti halnya Siti Juleha, salah satu dari belasan ibu-ibu yang ikut diuntungkan oleh keberadaan Kampung Lali Gadget. 

Ragam mainan tradisional
Mainan tradisional di Kampung Lali Gadget menjadi alternatif bagi anak-anak agar tak melulu sibuk menatap gawai.Foto: Gagah Setiawan/DW

Juleha ikut membuat dan mengemas mainan-mainan tradisional yang nantinya akan dijual kepada pengunjung. "Kalau ada acara di sana, saya jualan. Kalau enggak ada event, biasanya ngerjain pesanan mainan seperti kinciran. Kalau ada pesanan gasing dalam jumlah banyak juga ikut membuat dan nge-pack," ungkap Juleha.

"Jadi saya mengerjakan pesanan bisa sambil jaga anak, anak saya juga ikut. Dia main di KLG, kalau sudah main ke sini dia jadi lebih aktif dan benar-benar lupa sama HP-nya," kata Juleha kepada DW Indonesia.

Juleha tergabung dalam grup UMKM Kampung Lali Gadget sejak awal KLG berdiri, tahun ini jadi tahun keenam. "Sangat membantu ya, saya kan ibu rumah tangga, suami kerja penghasilannya ngepas buat kebutuhan sehari-hari. Jadi lumayan sekali ada penghasilan tambahan."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Selain dibuat oleh ibu-ibu di sekitar KLG, aneka jenis mainan tradisional yang ada di sini didatangkan dari beberapa kota seperti Magelang, Kediri, dan Malang. Beberapa di antaranya dibeli dalam bentuk setengah jadi untuk kemudian dirakit dan dikemas.

Kini tak hanya memproduksi mainan untuk kebutuhan KLG saja, pesanan mulai berdatangan dari luar kota. Dari skala kecil, perlahan pesanan datang dalam jumlah yang lebih besar.  

Dipelopori oleh anak muda

Sejak Agustus 2018, Achmad Irfandi, pemuda asal Desa Pagerngumbuk, menginisiasi program Kampung Lali Gadget (KLG). Tak sendiri, pria 31 tahun ini mengajak muda-mudi di sekitar tempat tinggalnya yang juga prihatin atas kecanduan gadget di kalangan anak-anak. 

Kampung Lali Gadget, Sidoarjo, Jawa Timur
Kampung Lali Gadget, Sidoarjo, Jawa TimurFoto: Gagah Setiawan/DW

"Waktu saya keliling kampung dan melihat di warung kopi selain orang dewasa juga banyak sekali anak-anak, bahkan anak-anak TK dan SD. Mereka ke sana untuk menikmati wifi dan main game online tanpa adanya pantauan dari orang tua," kata Irfandi kepada DW Indonesia.

"Ditambah lagi ketika menyaksikan berita di TV, mendengar banyak anak-anak yang kecanduan gadget sampai masuk rumah sakit jiwa. Itu kan suatu hal yang miris dan membuat saya akhirnya tergerak," imbuhnya.

Seiring berkembangnya Kampung Lali Gadget, Irfandi mulai menggandeng rekan-rekan pemuda di sekitar Sidoarjo untuk ikut serta sebagai perencana, fasilitator edukasi, dan pendamping bagi para pengunjung yang datang. Program ini berfokus pada konservasi budaya untuk mengangkat permainan tradisional, pada praktiknya hal ini dinilai efektif mengurangi ketergantungan anak-anak dari gawai.

Di tempat ini, anak-anak wajib melupakan ponselnya. Beragam kegiatan luar ruangan dan permainan tradisional dikreasikan, tak hanya untuk membantu melepaskan diri dari kecanduan gadget namun juga mengajarkan mereka tentang nilai-nilai kehidupan.

Pentingnya keterlibatan orang tua

Di Kampung Lali Gadget aspek kebersamaan dijunjung tinggi. Tanpa gadget, semua yang ada di sini diajak untuk fokus dan saling mendukung kegiatan satu sama lain. 

Salah satu yang ditonjolkan dalam aktivitas di Kampung Lali Gadget adalah kekompakan dan kebersamaan. Tak hanya anak-anak, Irfandi dan timnya berusaha melakukan penguatan bagi orang tua dengan melakukan edukasi melalui kegiatan parenting. 

Seperti Rahma, salah satu orang tua yang mengajak anaknya ke Kampung Lali Gadget agar terlepas dari ketergantungan ponsel, "saya sangat khawatirnya dengan dia terfokus pada satu benda itu hubungan sosial dengan teman-temannya, dengan lingkungan sekitar. Akhirnya  ketika ketemu dengan teman-teman yang lingkupnya lebih luas, dia jadi pendiam, pemalu, tidak bisa berbaur seperti itu. Ini kalau bagi kami suatu masalah."

Seorang perempuan memegang telepon genggam
Menimalisasi penggunaan ponsel oleh orang tua bisa jadi cara jitu menghindarkan anak dari gadgetFoto: Gagah Setiawan/DW

Kebersamaan antara anak dan orang tua dipupuk di sini, diharapkan hal ini dapat menjadi gaya hidup baru di tengah keluarga serta memperkuat kedekatan dan rasa saling percaya. Menumbuhkan keselarasan antara orang tua dan anak juga diyakini akan mendukung upaya mengurangi kecanduan gadget di rumah.

Beragam manfaat membatasi gadget

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 33,44% anak usia dini sudah bisa memakai ponsel, lebih dari setengahnya berusia 5-6 tahun. Hal ini memberi pengaruh pada tumbuh kembang dan kesehatan mental anak, terlebih usia 0-5 tahun dianggap menjadi golden age atau masa-masa emas di mana pertumbuhan anak berkembang pesat.

Psikolog tumbuh kembang anak, Gerdaning Tyas Jadmiko, menjelaskam, "interaksi itu adalah hal utama ya dalam tumbuh kembang anak, socio emosional, interaksi itu akan berdampak pada perkembangan anak, aspek-aspeknya disitu. Sedangkan interaksi dari bermain gadget itu tidak ada. Hal ini tentu akan memberi efek negative pada bagaimana kemampua bahasa dan komunikasi anak, juga bagaimana dia mengelola emosi.” 

Wayang jadi media cerita untuk anak-anak
Selain permainan tradisional, anak-anak disuguhkan dengan cerita rakyat yang mengandung nilai moral dan kearifan lokal berbalut pertunjungan wayang sederhana Foto: Gagah Setiawan/DW

Salah satu cara yang digunakan KLG untuk menghindarkan anak-anak dari kecanduan ponsel adalah dengan memberi edukasi dan mengenalkan mereka pada budaya dan kearifan lokal Indonesia melalui beragam permainan tradisional.

Di sini, anak-anak bisa menikmati dan berinteraksi langsung dalam peragaan wayang, bermain alat musik tradisional, bermain lumpur, hingga beragam permainan tradisional seperti congklak, bakiak, egrang, dan lainnya.

"Permainan tradisional itu adalah pintu masuk untuk memahami kebudayaan secara utuh. Ada 10 obyek kemajuan kebudayaan yang harus dikenalkan, tapi semua kan berat-berat untuk anak-anak, kita mulai yang ringan yang paling disukai anak-anak yaitu bermain," kata Irfandi.

Irfandi menjelaskan, "permainan tradisional juga menstimulasi tumbuh kembang anak, mulai dari mentalnya, fisik, emosinya."

Selain bermanfaat untuk tumbuh kembang anak, Irfandi dan rekan-rekannya percaya bahwa permainan tradisional juga dapat membentuk karakter dan kepribadian dasar anak seperti pentingnya kerja sama dan saling menghargai. (fr/ae)