1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAlbania

Albania Dirikan Negara Mikro Sufi Syiah Tarekat Bektashi

Elona Elezi | Aingeal Flanagan
26 September 2024

PM Albania Edi Rama ingin mendirikan negara mikro berdaulat untuk sufi Syiah tarekat Bektashi di Tirana. Meski disambut baik, langkah ini menuai skeptisisme dari sejumlah pihak.

https://p.dw.com/p/4l5S2
Markas besar Ordo Bektashi di Tirana, Albania
Markas besar Ordo Bektashi di Albania sejak 1929.Foto: Kristi Çavo/DW

Saat mengumumkan rencananya untuk mendirikan negara mikro berdaulat bagi sufi Syiah tarekat Bektashi di ibu kota Albania, Tirana, Perdana Menteri (PM) Edi Rama lebih memilih untuk mengutip biarawati etnis Albania dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian, Bunda Teresa: "Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar, tetapi kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar," katanya.

Dalam Sidang Umum PBB pada Minggu (22/09), Rama mengatakan, negara mikro berdaulat yang akan menyerupai Kota Vatikan, pusat Gereja Katolik di Roma itu, akan menjadi "pusat moderasi, toleransi, dan koeksistensi perdamaian baru."

Didirikan pada abad ke-13 di Kekaisaran Ottoman sebagai aliran dari Tasawuf, Tarekat Bektashi memiliki markas besar, "Bektashi World Center”, di Albania sejak 1929.

Pemerintah Albania berencana untuk mengubah 27 hektar tanah di bagian timur Tirana itu menjadi negara mikro yang disebut Negara Berdaulat Ordo Bektashi, yang akan memiliki perbatasan, paspor, dan administrasinya sendiri.

PM Albania Edi Rama di Sidang Umum PBB di New York
“... pusat moderasi, toleransi, dan koeksistensi perdamaian baru,” kata PM Albania Edi Rama.Foto: Bianca Otero/ZUMAPRESS/picture alliance

Ordo Bektashi menyambut baik 'inisiatif luar biasa' tersebut

PM Rama secara resmi mengumumkan langkah ini di hadapan PBB pada Minggu (22/09).

Bagi pemimpin Bektashi, Edmond Brahimaj, yang dikenal oleh para pengikutnya sebagai Baba Mondi, ini adalah "inisiatif luar biasa" yang akan menandai era baru bagi toleransi agama dan promosi perdamaian dunia.

"Tarekat Bektashi, yang dikenal karena pesan damai, toleransi, dan harmoni agama, akan mendapatkan kedaulatannya seperti Vatikan, memungkinkan kami untuk memerintah secara otonom dari sudut pandang agama dan administratif," ungkap Brahimaj dalam sebuah pernyataan.

Langkah yang 'belum pernah terjadi sebelumnya'

Layaknya hal normal di Albania, banyak pakar dan masyarakat benar-benar tidak mengetahui detail rencana pemerintahnya itu. Bagi sebagian besar warga, keputusan ini justru terdengar tiba-tiba.

Besnik Sinani, peneliti di Pusat Teologi Islam di Universitas Tübingen, sekaligus salah satu pendiri Institut Konak di Tirana, mengatakan bahwa ide ini adalah "kasus rekayasa agama kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya."

"Perbandingan yang lemah dengan Kota Vatikan, pengaturan yang dipaksakan pada negara yang dipimpin Paus pada 1929 oleh Benito Mussolini, tidak dapat dibenarkan secara historis," katanya kepada DW. "Saat ini, pemerintah Albania belum memberikan satu pun argumen meyakinkan untuk membenarkan langkah ini."

Besnik Sinani
Besnik Sinani menyebut rencana ini sebagai 'kasus rekayasa keagamaan kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya'Foto: privat

Parlemen harus menyetujui rencana ini

Albert Rakipi, ketua Institut Studi Internasional Albania, berpendapat  langkah ini bukanlah masalah sepele bagi pemerintah untuk memutuskan sepihak.

"Meskipun ini bukan tentang mendirikan negara dalam arti klasik, dengan populasi tertentu, dengan wilayah tertentu, dengan institusi seperti tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, kantor pajak dan detail lain yang terkait dengan kedaulatan internal, keputusan ini tetap harus berada di tangan parlemen," katanya.

Rakipi menambahkan, sejumlah aspek penting terkait kedaulatan eksternal masih perlu diperjelas. Memang ada ketidakpastian tentang bagaimana kedaulatan negara mikro ini akan diakui.

Pasal 1 (2) Konstitusi Albania menyatakan, "Republik Albania adalah negara kesatuan yang tidak dapat dibagi." Untuk mengubah itu, diperlukan amandemen konstitusi yang harus disetujui oleh mayoritas 94 suara, atau dua pertiga dari seluruh anggota parlemen.

Pemimpin Bektashi Baba Mondi
Pemimpin Bektashi, Baba Mondi, mengatakan langkah ini 'inisiatif luar biasa'Foto: Philippe Lissac/Godong/IMAGO

Dampak pada kerukunan agama?

Albania telah lama dianggap sebagai negara yang penuh dengan kerukunan dan toleransi terhadap agama. Masjid dan gereja sering kali didirikan berdekatan, dan pernikahan antaragama juga diterima dengan baik di masyarakat Albania.

Menurut sensus 2023, sekitar 50% dari 2,4 juta penduduk Albania adalah muslim. Mayoritas adalah muslim Sunni, dan sekitar 10% umat muslim termasuk dalam aliran Bektashi. Sisanya sebagian besar adalah umat Katolik Roma dan Kristen Ortodoks.

Jadi, bagaimana rencana ini akan memengaruhi keseimbangan agama di negara tersebut?

Rakipi tidak yakin langkah ini akan berdampak negatif pada keseimbangan, pemahaman, dan kerukunan antar komunitas agama di Albania, karena komunitas Bektashi secara historis juga telah berperan sebagai jembatan pemersatu antara muslim dan Kristen.

"Saya pikir ini adalah inisiatif yang baik, terutama untuk mempromosikan toleransi, budaya kerja sama dan koeksistensi, dalam konteks pertumbuhan signifikan seperti konflik di Timur Tengah," katanya kepada DW.

ketua Institut Studi Internasional Albania Albert Rakipi
Albert Rakipi, ketua Institut Studi Internasional Albania, mengatakan langkah ini akan baik 'untuk mempromosikan toleransi, budaya kerja sama dan koeksistensi'Foto: privat

Tidak semua mendukung langkah ini

Namun berbeda dengan Rakipi, Komunitas Muslim Albania justru menganggap inisiatif ini sebagai "preseden berbahaya bagi masa depan negara" dan menekankan bahwa pihaknya adalah satu-satunya perwakilan resmi umat muslim di Albania.

"Inisiatif ini, yang kami pelajari melalui media, tidak pernah dibahas dengan komunitas agama apa pun, yang telah mendirikan lembaga khusus, yang dipuji oleh semua negara Barat, untuk kasus seperti ini, yakni Dewan Antaragama Albania."

Besnik Sinani merasa rencana ini akan memengaruhi hubungan antaragama di Albania, karena menurutnya tidak ada situasi di negara tersebut yang bahkan mendekati untuk dapat membenarkan keputusan semacam itu.

"Dengan alasan bahwa negara Bektashi yang diasumsikan akan berdampak positif pada iklim toleransi di kawasan ini, itu tidak berdasar," katanya kepada DW. "Jika direalisasikan, hal ini kemungkinan besar hanya akan mengganggu pengaturan historis hubungan antaragama di Albania, yang telah dibangun berdasarkan visi para pendiri kenegaraan Albania, banyak diantaranya dari komunitas Bektashi."

'Bukan negara Islam'

Sejumlah pakar khawatir langkah ini dapat menyebabkan negara Albania dilabeli sebagai "negara Islam." Namun Albert Rakipi menekankan,  Albania tidak berencana untuk mendirikan negara Islam di ibu kotanya.

"Negara Islam adalah realitas yang berbeda dari sudut pandang teoritis dan praktis," katanya. "Tidak semua negara yang populasinya mayoritas muslim adalah negara Islam. Dalam negara Islam, ideologi organisasi untuk negara adalah agama, yang dalam hal ini adalah Islam, dan dalam banyak kasus, Islam juga berfungsi sebagai ideologi masyarakat."

Tidak diketahui pasti kapan waktu dan motivasi dari rencana Rama tersebut akan terlaksana, dan masih banyak pertanyaan tersisa yang masih belum terjawab.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah Albania telah terlibat dalam berbagai ketegangan politik berskala global yang berbasis agama,” kata Sinani. "Saat ini, Albania menampung organisasi yang sebelumnya dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat (AS), Mujahidin-e-Khalq, yang berkomitmen untuk menggulingkan pemerintah Iran. Albania juga menampung anggota Gerakan Gulen, yang dianggap sebagai organisasi teroris di Turki, atau mantan tahanan Teluk Guantanamo yang tidak bisa dikirim kembali ke negara asalnya oleh pemerintah AS."

Ordo Tarekat Bektashi Dunia bersikeras, meski ada skeptisisme, "negara baru ini tidak memiliki tujuan lain selain kepemimpinan spiritual."

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris.

Elona Elezi DW Albanian correspondent reporting from Tirana