1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aksi Militer Israel di Jalur Gaza, Turki dan Uni Eropa

5 Oktober 2004
https://p.dw.com/p/CPQf
Satuan Tank Israel Dikerahkan Dalam Aksi Militer di Jalur Gaza
Satuan Tank Israel Dikerahkan Dalam Aksi Militer di Jalur GazaFoto: AP

Aksi militer besar-besaran yang dilancarkan tentara Isarel di Jalur Gaza mendapat sorotan dan kecaman dari dunia Internasional. Dalam perdebatan di Dewan Keamanan PBB, Uni Eropa menyebut aksi militer Israel tersebut sebagai keterlaluan. Disebutkan, untuk melindungi warganya dari terorisme, Israel harus melakukannya dalam kerangka hukum Internasional. Sementara itu dalam sebuah rancangan resolusi yang diajukan Aljazair di Dewan Keamanan PBB dituntut agar Israel menarik tentaranya dari Jalur Gaza. Duta Besar Aljazair di PBB Abdullah Baasli menuding Israel melakukan metoda yang mengerikan terhadap penduduk sipil yang tidak berdaya. Juga Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Colin Powell mengharapkan aksi militer yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza tidak semakin meluas. Ia meminta agar Perdana Menteri Israel Ariel Scharon menggunakan cara yang layak untuk mencapai tujuan. Sejak aksi militer Israel di Jalur Gaza, pekan lalu, lebih dari 70 warga Palestina tewas. Aksi militer Israel ini mendapat sorotan dari media Internasional. Dan kami jadikan sebagai tema pertama dalam acara SARI PERS. Sedangkan tema yang kedua nanti, mengenai rencana perundingan penerimaan keanggotaan Turki dalam Uni Eropa. Baiklah kita mulai dengan tema pertama, aksi militer Israel di Jalur Gaza. Harian Inggris THE GURDIAN yang terbit di London menulis komentar berjudul" Scharon menyulut kebencian dan perlawanan". Kami baca:

Besarnya aksi militer yang dilancarkan mengungkapkan rencana yang sebenarnya dari Ariel Scharon. Jumlah korban yang tidak seimbang diantara kedua belah pihak, merupakan bukti ketidak seimbangan kekuatan. Ariel Scharon mendapat tekanan didalam negeri. Dan dengan segala cara ia hendak menyingkirkan kesan Israel didepak dari Jalur Gaza. Kelompok militan Palestina Hamas ikut bermain dan menyulut situasi semakin meruncing, dengan melancarkan serangan roket kewilayah Israel. Aksi militer Israel hanya akan menyulut kebencian dan perlawanan dari warga Palestina. Tapi dunia saat ini sedang memalingkan perhatiannya ke Irak. Hendaknya dunia Internasional lebih banyak mengambil langkah mengatasinya , ketimbang hanya berpangku tangan. Kedua belah pihak yang bertikai di Timur Tengah hanya punya alternativ untuk melakukan perundingan.

Sehubungan dengan kembali memanasnya situasi di Timur Tengah, sejak tentara Israel melancarkan invasi militer di Jalur Gaza, Harian Swiss NEUE ZÜRCHER ZEITUNG menurunkan komentar berjudul" penolakan Scharon melakukan dialog dan risiko yang harus ditanggungnya". Selanjutnya kami baca:

Tidak seorangpun yang sungguh-sungguh dapat mempercayai, bahwa dalam beberapa bulan mendatang, tentara Israel akan dapat mematahkan perlawanan kelompok militan yang berada diantara 1,5 juta warga Palestina di Jalur Gaza. Dan juga tak seorangpun yang akan dapat menghindarkan propaganda kelompok militan Hamas, yang akan menyatakan kemenangan, setelah tentara Israel ditarik dari Jalur Gaza. Juga penembakan roket Kassam kekawasan perbatasan Israel, tidak serta merta akan berhenti, bila Israel menarik diri. Kenyataan ini merupakan perspektiv yang tidak menggembirakan bagi Scharon. Ini merupakan resiko dari penolakan Scharon melakukan perundingan yang serius dengan wakil Palestina mengenai persyaratan rencana penarikan dari Jalur Gaza, dan untuk menata ketertiban dikawasan tersebut.

Kita masuki tema kedua dalam acara SARI PERS dari SJDW. Turki terus berusaha untuk menjadi anggota Uni Eropa. Sementara dikalangan Uni Eropa sendiri, terdapat perbedaan pandangan mengenai penerimaan keanggotaannya. Menurut rencana, dalam pertemuan puncak Uni Eropa bulan Desember mendatang, akan diputuskan untuk melakukan pembicaraan mengenainya. Harian Perancis L'HUMANITE menyerukan agar perundingan Uni Eropa dengan Turki diawasi dengan ketat. Kami baca:

Bila keberatan yang mendasar terhadap penerimaan keanggotan Turki dapat disingkirkan, maka pada waktu bersamaan perundingan dengan negara ini hendaknya diawasi dengan ketat. Perundingan penerimaannya yang dimanfaatkan untuk proses demokrasi di Turki, hendaknya diamati dengan cermat. Antara lain menyangkut kebebasan yang mendasar, hak kaum perempuan, menghormati kebebasan beragama serta hak bagi warga Kurdi.

Sementara itu Harian Inggris FINANCIAL TIMES menyoroti pernyataan Presiden Perancis untuk melalukan referendum bagi keanggotaan Turki dalam Uni Eropa.Harian ini menurunkan komentarnya berjudul " pernyataan Presiden Chirac untuk melakukan referendum menunjukkan kelemahan". Kami kutip:

Di Perancis hendak diselenggarakan referendum mengenai penerimaan keanggotaan Turki dalam Uni Eropa. Rencana itu memerlukan waktu bertahun-tahun,untuk dapat dilaksanakan. Referendum sering dijadikan tolok ukur dalam mengambil keputusan yang demokratis. Tapi itu juga dapat dijadikan alat bagi politisi yang sulit mengambil keputusan, atau bila partainya tidak memberikan dukungan.. Bila politisi berada dalam kondisi lemah, maka ia menyerukan penyelenggaraan referendum. Bahayanya , sistem parlementer menjadi lemah.

.