Ahok dan Trend Persekusi Politik yang Mengatasnamakan Agama
11 Desember 2017Semua berawal dari sebuah transkrip yang salah, singkatnya pidato seorang Basuki ‘Ahok' Tjahaja Purnama menjadi viral dan memicu protes dari kelompok Islam, tanpa mereka melakukan ricek terhadap transkrip tersebut. Padahal jelas, sang pentraksrip Buni Yani lalai melengkapi transkrip tersebut dengan kata ‘pakai'.
Tentu saja pemakaian kata ‘pakai' membuat pidato Ahok bermakna beda. Ahok saat itu mengatakan, "Bapak Ibu nggak bisa pilih saya, karena dibohongin (pakai) surat Al Maidah 51 macem-macem itu.” Penghilangan kata pakai bermakna sangat dahsyat, yakni Alquran lewat Surat Al Maidah 51 telah membohongi umat selama ini. Namun jika ditambahkan kata ‘pakai' artinya ada pihak tertentu yang menggunakan ayat ini sebagai alat politik agar tidak memilihnya sebagai gubernur DKI Jakarta berikutnya, bukan kitabnya.
Bukan bermaksud membuka luka lama pendukung Ahok yang kecewa dengan manuver kelompok tertentu mendeskreditkan kandidat mereka dengan isu SARA dan akhirnya mengantarkan idola mereka mendekam di penjara. Tapi kasus Ahok ini menjadi pelajaran penting bukan saja bagi Indonesia, tapi dunia. Saya menyebutnya sebagai persekusi politik.
Persekusi politik dulu pernah menimpa kelompok kiri ketika Soeharto hendak meneguhkan kekuasaanya di Indonesia. Sejarah yang selalu disembunyikan oleh negara kita sendiri hingga hari ini.
Saya sendiri tidak setuju Ahok disebut penista agama seperti yang diputuskan majelis hakim. Bagi saya Ahok adalah penista para penista agama yang menggunakan ayat Al Quran sebagai alat untuk mempengaruhi pemilih dengan dasar yang tidak logis: Meminta seseorang memilih orang yang seagama. Apa iya, kita mau menyerahkan tugas itu pada yang bukan ahlinya hanya karena dia seagama dengan kita?
Padahal jika mencari kelemahan Ahok untuk kampanye (tak perlu kampanye hitam), kelompok oposisi sangat mudah menemukannya. Misal soal penataan kota yang dinilai tidak partisipatif. Toh kelompok oposisi juga sudah membina warga anti penggusuran (Dari penyelidikan saya, kelompok FPI merangkul warga korban penggusuran). Tapi kampanye partai oposisi menjadi sangat dangkal, berkelibat di urusan SARA.
Karena itu, tak heran jika sosok Ahok kemudian menarik perhatian media asing, salah satunya adalah Majalah Foreign Policy yang baru saja menobatkan ia sebagai pemikir global 2017.
Dalam tulisan Benjamin Soloway itu, Ahok digambarkan sebagai sosok yang punya program pasti untuk menata kota, meski tak semua rencana tata kotanya diamini warga yang tinggal di bantaran kali.
Tapi Ahok pribadi juga digambarkan sebagai seorang Tionghoa dan Kristen yang menempuh karir berbeda dari lingkungannya (Orang Tionghoa jarang aktif di politik tapi dunia bisnis) dan memilih berterus terang tentang latar belakangnya ini. Keterusterangannya itu mungkin yang membuat Foreign Policy tertarik untuk mengulasnya dan menobatkannya sebagai salah satu pemikir global. Dan ia juga menentang kelompok fundamentalis yang mencoba menjatuhkannya dengan menggunakan keminoritasannya itu.
Apakah penghargaan ini bias?
Dari kacamata sebagian orang Indonesia, isu dipenjaranya Ahok mungkin sekedar isu ‘penista agama'. Kita memang tidak bisa lepas dari agama, di KTP pun harus mencantumkan agama. Apalagi Indonesia disebut semakin relijius.
Tentu saja dugaan ini bukan isapan jempol. Setahun yang lalu saya pernah menulis tentang “Apakah Islam di Indonesia sedang dipimpin kelompok garis keras?”. Di tulisan yang juga opini itu saya menceritakan bagaimana secara perlahan gerakan Islam konservatif tumbuh subur di Indonesia. Pelan-pelan peran dua organisasi Islam tradisional seperti NU dan Muhammadiyah digantikan oleh kelompok Tarbiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir Indonesia. Sebagian anggota Muhammadiyah sendiri akhirnya bergabung dengan kelompok Tarbiyah. (Bagi yang tidak tahu Tarbiyah, kelompok ini banyak diasosiasikan dengan PKS)
Karena akulturasi budaya ‘pemikiran baru' dari kelompok Islam yang masih berusia muda dibanding kelompok pendahulunya ini berlangsung sangat perlahan dengan proses yang cermat, hampir tak ada yang menyadari bahwa memang konservatisme agama di Indonesia meningkat dibanding zaman ketika Soeharto masih berkuasa. Tentu saja ini adalah bagian yang pahit dari kebebasan pasca reformasi.
Sementara itu bagi orang di luar Indonesia, kabar dijeratnya Ahok dengan pasal penistaan agama dianggap sebagai kemunduran dalam kebebasan ekspresi dan beragama di Indonesia sekaligus pertanda bahwa diskriminasi terhadap minoritas non muslim masih kuat dan semakin menguat.
Jadi tentu saja penilaian dan penghargaan yang diberikan Ahok tidak bias, karena dalam konteks global, dunia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berekspresi yang bersifat umum terutama yang terkait dengan agama. Karena itu dunia mengecam pemenjaraan jurnalis di Turki, blogger Vietnam yang dipenjara 10 tahun, dan memprotes pelarangan buku Muhammad Faisal Musa yang kerap dituduh Syiah di Malaysia.
Di Indonesia sendiri, ada kasus Syiah, Gafatar, dan Ahmadiyah yang selama ini dianggap ‘kafir' oleh kelompok mayoritas muslim.
Indonesia benar di persimpangan jalan
Arti lain dari divosnisnya Ahok adalah, klusul penistaan agama ini telah memasuki ranah politik dan semakin mengkhawatirkan. Sebelumnya ada yang pernah divonis dengan pasal yang sama, tapi mereka bukan politisi. Seperti Lia Aminudin atau Lia Eden yang mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril; Arswendo Atmowiloto, penulis yang dijeboloskan penjara karena survei tabloid Monitor; HB Jassin yang menerbitkan cerpen yang dinggap menghina Nabi Muhammad; Eks pemimpin Gafatar Abdussalam alias Ahmad Mushaddeg yang dihukum pidana penjara lima tahun setelah dinyatakan terbukti bersalah menista agama.
Artinya apa untuk dunia politik kita? Indonesia mengikuti trend dunia politik kawasan yang ternyata juga secara tidak sengaja atau sengaja mengalami peningkatan level konservatisme agama. Sebut saja Malaysia dan Brunei Darussalam yang mengontrol politik negaranya menggunakan agama. Di Malaysia misalnya, Pemimpin oposisi Anwar Ibrahim pernah membela wakil presiden PAS Mohamad Sabu yang telah dituduh sebagai pengikut Syiah.
Belum lagi sejak Akta Mesin Cetak dan Penerbitan 1984 resmi diumumkan, penulis di Malaysia harus berhati-hati memproduksi karya dalam bentuk foto sampai musik, sebab seluruh hasil penerbitan yang "memudaratkan ketenteraman awam, kemoralan, keselamatan atau yang menggemparkan fikiran orang ramai” diharamkan, dilarang dan dapat dikenakan denda oleh pemerintah negeri Jiran. Salah satu penulis yang akhirnya terkena penalti Akta itu adalah Faisal Musa aka Faisal Tehrani. Ia pun sering dituduh sebagai syiah.
Di Brunei Darusallam, kerajaan diduga menggunakan Syariat Islam untuk mengukuhkan kekuasaan mutlaknya lewat Sharia Penal Code 2013. Segala bentuk aktivitas yang bertentangan dengan Islam dilarang. Contoh peraturannya, warga non muslim dilarang menyebut tuhan mereka sebagai ‘Allah'. Hukuman dari penistaan agama di Brunei bisa berujung pada kematian. Sementara itu, media Australia pernah meliput tentang wanita-wanita simpanan si Sultan yang ternyata melanggar kebiasaan dalam syariat Islam. Sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini dikampanyekan oleh kerajaan.
Level pertama dari trend ini memang meningkatnya konservatisme, lalu penggunaan agama sebagai alat politik, dan akhirnya menjadi sangat jelas seperti Brunei. Ketika agama adalah satu-satunya alat kuasa mutlah.
Model politik ini tentu saja bukan yang pertama bagi Indonesia, pada saat perang dingin, negara barat yang sedang memerangi komunisme pernah memakai kelompok agama untuk menumpas kelompok kiri. Jutaan dari mereka dibantai, dipenjara, dan dituduh ateis. Padahal tak semua kiri atau komunis itu ateis. Kini ateisme itu telah diganti dengan kata ‘kafir'.
Indonesia sebagai negara yang sejak awal sudah berkomitmen untuk berbhineka tunggal ika, dan semoga ini bukan slogan saja, seharusnya mengambil pelajaran serius dari kasus Ahok dan mengakui bahwa memang arah politik kita kini lebih banyak disetir kelompok Islam konservatif. Tidak masalah sebenarnya jika kelompok Islam berpolitik, tapi ketika berpolitik menggunakan nama Islam, tentu saja itu masalah.
Maka dari itu, saya yakin, peristiwa pemenjaraan Ahok dan adalah sebuah awal dari kebangkitan politik Islam yang mirip dengan Malaysia dan Brunei. Kemudian penobatannya sebagai tokoh pemikir global adalah bentuk kekhawatiran dunia akan berkembangnya politik yang intoleran dan diskriminatif terhadap minoritas.
Indonesia memang benar di persimpangan jalan, tapi persimpangan jalan itu kali ini menjadi maha penting karena menjadi titik tolak masa depan pergerakan politik di tanah air.
Pertanyaannya adalah, lalu apakah sikap kita? Seperti pesan Barack Obama kepada rakyat Amerika saat Donald Trump terpilih menjadi presiden, sepertinya cocok buat kita semua dalam situasi seperti saat ini. "Saya meminta anda untuk percaya - tidak dalam kemampuan saya untuk menciptakan perubahan, tapi di tangan anda.” Perubahan itu ada di tangan anda.
Penulis:
Febriana Firdaus adalah jurnalis lepas yang fokus pada investigasi. Ia menulis untuk publikasi dalam dan luar negeri. Ia juga relawan di IPT 65 dan Ingat 65.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.