1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Otomotif dan MobilitasAfrika

Afrika: Mobilitas Elektrik Menunggu Transformasi di Eropa

12 April 2024

Afrika mengawali era mobilitas elektrik lewat moda bersahaja, kendaraan roda dua. Diyakini, elektrifikasi transportasi di Afrika pada akhirnya akan ikut digerakkan transformasi di Eropa dan Amerika Serikat.

https://p.dw.com/p/4eh0h
Lalu lintas di Kumasi, Ghana
Lalu lintas di Kumasi, Ghana, September 2016Foto: Thomas Imo/photothek/picture alliance

Satu per satu kendaraan silih berganti mengisi ulang tangki di dua belas pompa bensin di tepi jalan tol N3 yang menghubungkan kota Durban di Afrika Selatan dengan wilayah metropolitan Johannesburg. Agak jauh di halaman belakang stasiun pengisian, di bawah sebuah tenda hijau, berdiri terminal pengisian listrik yang kosong melompong.

Dahaga yang besar akan bahan bakar fosil, tanpa infrastruktur listrik yang memadai, adalah ciri khas mobilitas di Afrika. Pengecualian ada pada Afrika Selatan yang relatif makmur dan memiliki jaringan stasiun pengisian mobil listrik nasional, meski masih sering dilanda pemadaman bergilir.

Dari Dakar hingga Dar es Salaam, dari Kairo hingga Cape Town, mobilitas di Afrika masih bergantung pada teknologi pembakaran internal. Namun demikian, elektrifikasi sistem transportasi perlahan mulai terjadi di kota-kota besar.

Tren motor elektrik

Tidak ada angka pasti soal berapa banyak mobil yang beredar di jalan-jalan di Afrika. Jumlahnya diperkirakan antara 26 hingga 38 juta unit. "Ada permintaan yang sangat besar akan mobil," kata Godwin Ayetor, dosen di Kwame Nkrumah Universitas Sains dan Teknologi Teknologi, KNUST, di Kumasi, Ghana. "Tetapi ketika membandingkan mobil dengan sepeda motor, permintaan pasar beralih dari kendaraan roda empat ke roda dua," kata dia kepada DW:

Menurutnya, motor atau moda roda tiga, "lebih mudah dibeli oleh keluarga kecil. Dan mereka bisa melewati kemacetan lalu lintas. Biaya perawatan dan bahan bakar juga lebih rendah,” imbuhnya.

Jerman Ingin Saingi Cina di Bidang Kendaraan Bermotor

Biaya yang murah dan terjangkau mempercepat tren elektrifikasi kendaraan roda dua di Afrika, terutama di kalangan pelaku usaha. Thomas Omao, pemilik jasa pengiriman makanan, misalnya, memilih armada elektrik ketimbang bensin.

 "Seorang teman saya memakai motor berpenggerak bensin. Dia menghabiskan 1000 shilling (atau sekitar Rp120.000) setiap hari untuk mengisi tangki. Listrik menghabiskan biaya 400 shilling. Jadi saya menghemat 600 shilling per hari." Omao menggunakan tabungannya untuk membeli sepeda motor kedua pada Januari lalu dan kini mempekerjakan seorang pegawai.

Omao menggunakan aplikasi milik perusahaan start-up Kenya, ARC Ride. Konsepnya sederhana, dia membeli motor tapi menyewa baterainya. Tanpa harus membeli komponen yang tergolong mahal itu, motor elektrik menjadi lebih terjangkau bagi konsumen berdaya beli lemah.

Di ibu kota Kenya, Nairobi, terdapat hampir 80 fasilitas penukaran baterai motor. Prosesnya diklaim hanya membutuhkan waktu satu menit. "Yang paling dikhawatirkan konsumen adalah daya jangkau,” kata Felix Saro-Wiwa, direktur pengembangan strategis di ARC Ride.

"Itulah sebabnya kami mendirikan begitu banyak lemari pengisian daya. Di seluruh kota, jarak Anda tidak pernah lebih dari tiga atau empat kilometer dari lemari berikutnya.” Tujuannya akhirnya adalah dua kilometer, yang menyamai tingkat kepadatan stasiun bahan bakar saat ini.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Tahun ini ARC Ride ingin berekspansi ke dua kota lagi di Kenya. Mereka termasuk sekelompok perusahaan baru di Afrika yang menawarkan baterai sewa untuk sepeda motor.

Bagi Godwin Ayetor, konsep ini merupakan sebuah terobosan: "Dunia usaha mulai merintis dengan menjual kendaraan roda dua listrik tanpa baterai. Cara ini mengurangi biaya pembelian bagi konsumen, karena mereka menyewa baterai secara permanen. Sejauh ini, konsepnya bekerja dengan sangat baik."

Dominasi kendaraan bekas

Meski demikian, armada motor elektrik masih tergolong langka di jalan-jalan Afrika. Hal serupa berlaku untuk kendaraan roda empat yang merupakan moda transportasi utama.

Sejatinya, Afrika setiap tahun memproduksi ratusan ribu mobil yang sebagian besar ditujukan untuk ekspor. Produsen otomotif terbesar Afrika Selatan, misalnya, menjual dua pertiga hasil produksinya ke luar negeri.

Namun bagi rata-rata konsumen di Afrika, kendaraan baru belum terjangkau. Menurut organisasi lingkungan hidup PBB UNEP, enam dari sepuluh kendaraan yang baru terdaftar di Afrika adalah mobil bekas yang diimpor. Angkanya terpaut antara Kenya yang mencatatkan 97 persen pangsa kendaraan bekas, dengan Afrika Selatan yang melarang impor mobil bekas.

Tingginya jumlah mobil bekas bertolak belakang dengan batasan usia impor di banyak negara Afrika. Kenya, contohnya, hanya mengizinkan mobil berumur maksimal delapan tahun. Sementara Uganda menetapkan batas 15 tahun. Di Ruanda, pemerintah bahkan tidak memiliki batas usia mobil impor.

Baterai Ramah Lingkungan Berbahan Dasar Tumbuhan

Menurut studi UNEP, ragam regulasi menyimpulkan rata-rata usia mobil yang lebih tua di Afrika. Masalahnya menjadi pelik, karena mesin lawas cendrung boros bahan bakar dan dengan begitu padat emisi, seperti kendaraan di Kenya yang mencatatkan tingkat konsumsi bahan bakar seperempat lebih tinggi.

Larangan impor bukan solusi

Di Ghana, pemerintah memperketat persyaratan impor pada tahun 2020: Selain batas usia maksimal sepuluh tahun, kendaraan bekas kecelakaan juga tidak diizinkan lagi untuk diimpor. Pembatasan itu dipadu dengan pembebasan bea masuk bagi mobil baru atau suku cadang kendaraan produksi dalam negeri. "Pemerintah yakin kebijakan ini akan menurunkan harga mobil baru sehingga masyarakat bisa membeli kendaraan baru dibandingkan mobil bekas,” kata Ayetor.

Peneliti Universitas Oxford, Inggris, Festival Boateng mendukung terobosan di Ghana: "Jika Anda melarang impor mobil bekas, ketika konsumen tidak punya uang lebih untuk membeli mobil baru, permintaan akan bergeser ke pasar gelap, karena mereka tetap membutuhkan kendaraan," kata dia dalam wawancara dengan DW.

Cepat atau lambat, pilihan mobil bekas di Afrika juga akan beralih ke mobil elektrik, karena diimpor dari Eropa yang sudah melarang produksi mobil berbahan bakar fosil mulai tahun 2035.

 "Kami tidak berasumsi bahwa Eropa atau Amerika akan bisa segera mencapai target elektrifikasi semua sistem transportasi,” kata Godwin Ayetor, yang juga mengetuai Komite Teknis Standar Kendaraan di Ghana. "Tapi menurut saya kami harus mempersiapkan diri. Dan isu mobil bekas akan tetap dominan di masa depan.”

rzn/hp