1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Afghanistan: Pindah Agama Diancam Hukuman Mati

23 Maret 2006

Ancaman hukuman mati yang menghantui Abdul Rahman menjadi sorotan utama sejumlah media di Eropa.

https://p.dw.com/p/CPKr
Abdul Rahman
Abdul RahmanFoto: AP

Abdul Rahman, penduduk Afghanistan yang pernah hidup di Jerman selama 9 tahun ini, diancam dengan hukuman mati oleh pengadilan di Kabul, lantaran ia beralih menjadi penganut agama Kristen.

HarianItalia Corriere Della Sera yang terbit di Roma berkomentar, kasus Abdul Rahman bukan perkara yang nyaman bagi negara-negara Barat.

"Jika prioritas utama kita adalah menyelamatkan hidup seorang Abdul Rahman, maka kita harus memuji Prakarsa diplomatik dari Menteri Luar Negeri Finlandia, Menlu Jerman Steinmeier dan kementerian luar negeri Amerika Serikat. Ancaman yang dilontarkan mantan Presiden Italia, Cossiga, bahwa ia akan segera menarik tentara Italia sesegera mungkin dari Afghanistan, juga memiliki arti yang penting. Namun jika sebaliknya, tujuan kita adalah untuk menyelamatkan nyawa jutaan orang seperti Abdul Rahman, yang tidak hanya ada di negara-negara Islam tapi juga di Barat, maka langkah yang diambil pemerintah negara-negara Barat dapat digolongkan sebagai pengkhianatan. Karena usaha tersebut pada akhirnya hanya akan digunakan untuk memeti-eskan perkara Abdul Rahman."

Sementara harian Jerman, Süddeutsche Zeitung yang terbit di München, menurunkan komentar:

"Sebuah campur tangan dari Presiden Karsai bukannya tidak bermasalah. Di Afghanistan kini menyebar ketakutan terhadap 'westernisasi', dan Karsai adalah orang yang dicurigai berdiri di belakang negara Barat. Jika Presiden Karsai bereaksi terhadap protes yang diajukan oleh negara-negara donor, maka hal itu hanya akan memberi angin segar bagi musuh-musuhnya untuk semakin menyudutkan Karsai. Dan pada akhirnya, kasus Abdul Rahman hanya akan menjadi bola mainan dalam konflik yang terjadi di antara mereka yang mendukung westernisasi Afghanistan, dengan kelompok yang menentangnya."

Tema yang masih menjadi sorotan media Eropa adalah mengenai hubungan antara Cina dan Rusia. Harian Inggris, Financial Times yang terbit di London, menyebut hubungan Moskow dan Bejing, sebagai sesuatu yang tidak lazim.

"Sejak hangatnya hubungan blok sino-soviet pada dekade 50-an, tidak pernah terdapat kesamaan sikap antara Beijing dan Moskow atau kerekatan hubungan seperti yang ditunjukkan pemimpin kedua negara akhir-akhir ini. Keduanya ingin menjaga pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Cina membutuhkan sumber daya alam, dan Rusia memilikinya. Keduanya ingin mengimbangi dominasi Amerika dan menentang rencana penyebarluasan demokrasi ke seluruh penjuru dunia yang dilontarkan oleh Presiden George W. Bush. Tetapi meskipun terdapat sinyal yang kuat untuk saling menghormati seperti yang ditunjukkan Vladimir Putin dan sahabatnya Hu Jintao, hubungan pemerintahan dan rakyat kedua negara, Rusia dan Cina, tetaplah dingin."

Tema lainnya yang juga disoroti oleh media Eropa adalah gelombang protes di Prancis, yang menentang reformasi undang-undang perburuhan. Sehubungan dengan hal tersebut, harian Perancis Le Figaro yang terbit di Paris menulis,

"Apa yang mencolok dari gelombang protes menentang kebijakan reformasi yang digulirkan Perdana Menteri de Villepin, adalah suara-suara yang terdengar dari kelompok ekstrem konservatif. Lapangan kerja Prrancis diisi oleh dua pertiga pekerja yang dapat menikmati hak-hak istimewa dan memiliki jaminan. Sedangkan sisanya terdiri atas kaum muda yang berada dalam kondisi yang tidak terjamin. Apa yang dapat diambil dari fakta tersebut? Daripada meributkan status quo, lebih baik mengupayakan agar semua pekerja mendapatkan hak yang sama. Seperti gerakan mahasiswa pada bulan Mei tahun 1968. Mereka tidak berdemonstrasi untuk mengubah dunia, tapi agar pemerintah mencegah terjadinya perubahan di dunia."