1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sepak BolaArgentina

Piala Dunia 2022: Adu Penalti yang Tidak Laki-laki

Hardimen Koto
Hardimen Koto
10 Desember 2022

Belanda yang gigih dalam permainan, dengan gol rancak di ujung laga lewat Wout Weghorst, mesti menyerah lagi lewat adu penalti. Opini analis sepak bola Hardimen Koto.

https://p.dw.com/p/4KlVU
Lionel Messi (paling kiri) saat mengeksekusi tendangan penalti vs Belanda di perempat final Piala Dunia 2022
Lionel Messi (paling kiri) saat mengeksekusi tendangan penalti vs Belanda di perempat final Piala Dunia 2022Foto: Ariel Schalit/AP/picture alliance

Danny Blind sudah kenyang. Kenyang karena kepahitan: kalah oleh sebuah aturan bernama adu penalti. Kini, anaknya, Daley Blind juga merasakan hal yang sama.

Sesak? Iya, sangat sesak. Bapak anak itu tertegun di Lusail, dalam medium perempatfinal Piala Dunia 2022 di Qatar. Mereka, juga semua skuad Oranje, tak percaya.

Sama seperti Euro 1996, ketika Belanda yang favorit, dikandaskan Prancis lewat hal yang sama: adu penalti.

Saat itu, di Stadion Anfield, Danny bersama Kluivert cs bertarung imbang tanpa gol versus Prancis dengan Zidane dan kawan-kawan.

Penyelesaiannya adu penalti, dan Prancis ke semifinal ketika semua eksekutornya sukses.PenaltiBelanda hanya gagal lewat Clarence Seedorf.

Saat itu saya sempat menulis: hentikan adu penalti. Ini aturan yang tidak laki-laki. Tidak gentle, sebab saat yang sama, Spanyol juga disungkurkan Inggris via adu penalti.

Hampir 18 tahun kemudian, situasi sama, dan itu pahit sekali, Danny merasakan masygulnya Belanda kandas di semifinal Piala Dunia 2014.

Dan kalahnya atas Argentina, setelah waktu regular dan babak tambahan tanpa gol. Penalti, yang menyungkurkan Belanda, berakhir 4-2.

Saat itu ada Daley juga. Saat itu, Danny dan Daley, pastinya sesak juga. Susah amat sih mau jadi juara dunia?

Mestikah menggugat aturan adu penalti dimunculkan lagi, misalkan dengan mengapungkan replay match?

Ahaha. Pastinya tidak mungkin. Itu seninya sepak bola. Orang bilang pentas drama.

Eh, tapi kalau dramanya terus-terusan? Coba lihat diLusail barusan; Belanda yang gigih dalam permainan, dengan gol rancak di ujung laga lewat  Wout Weghorst, mesti menyerah lagi lewat adu penalti.

Skuad Belanda saat menyamakan kedudukan 2-2 melawan Argentina lewat torehan dua gol Wout Weghorst (berlari paling depan)
Skuad Belanda saat menyamakan kedudukan 2-2 melawan Argentina lewat torehan dua gol Wout Weghorst (berlari paling depan)Foto: Keita Iijima/The Yomiuri Shimbun via AP Images/picture alliance

Drama? Ah, saya tidak begitu hirau. Adu penalti sungguh tidak gentle. Saya jadi ingat pedihnya Jepang dikalahkan dengan cara yang sama: adu penalti.

Dan, Kroasia pula yang memulangkan favorit Brasil, masih dengan adu penalti.

Dalam konteks drama, Kroasia beruntung. Luka Modric berteman dengan Dewi Fortuna: ke semifinal via dua kali adu penalti.

Adakah itu fair? Adakah itu laki-laki, seperti filosofi sederhana: sepak bola itu olahraga laki-laki.

Brasil bersama Belanda, dua kekuatan beda patron, tidak lagi ada di Qatar. Juga Jepang dan tim besar lainnya bernama Spanyol yang disikat Maroko, juga lewat titik putih.

Sebentar lagi, dua pertandingan sisa perempat final: Inggris vs Prancis dan Portugal  vs Maroko, terbuka kemungkinanya menyodorkan drama: reguler imbang, extra time imbang dan keputusannya: tos-tosan. Adu penalti!

Saya yakin mata Anda masih sembab menangisi kepergiannya Belanda, Brasil, Spanyol dan Jepang. Tapi saya masih menyarankan: siapkan tisu lebih tebal lagi.

Sebab, Qatar 2022 masih berlanjut dengan drama berikut.

Percayalah.

Hardimen Koto pengamat, analis dan komentator sepak bola

*tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.

Hardimen Koto
Hardimen Koto Jurnalis dengan passion hebat untuk dunia olahraga.