1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

15 Tahun runtuhnya Tembok Berlin ; Serangan ke Falujjah; Kesehatan Arafat

9 November 2004

Tiga topik hangat didiskusikan dalam media pers di hari-hari belakangan ini: Peringatan runtuhnya Tembok Berlin 15 tahun yang lalu, serangan besar-besaran AS ke Falujjah dan kondisi kesehatan Presiden Palestina Arafat.

https://p.dw.com/p/CPQK
Sisa tembok Berlin.
Sisa tembok Berlin.Foto: AP

Di Jerman tanggal 9 November merupakan tanggal yang keramat. Tembok Berlin runtuh 15 tahun yang lalu , tepatnya pada tanggal 9 November 1989 . Peristiwa historis penting bagi Jerman dan Eropa khususnya dan dunia umumnya , sebab runtuhnya Tembok Berlin menandai penyatuan negara Jerman Timur yang komunis dengan dengan Jerman Barat yang kapitalis. Namun tanggal 9 November juga mengingatkan pada suatu peristiwa gelap. Pada 9 November 1938 di bawah kekuasaan NAZI terjadi kerusuhan anti-Yahudi yang dahsyat, warga Yahudi diserang, sinagoga dihancurkan, toko-toko dijarah.

Harian Jerman Leipziger Volkszeitung berkomentar:

Cukup meresahkan bahwa 15 tahun setelah runtuhnya Tembok Berlin , yang melambangkan awal penting menuju ke kebebasan dan demokrasi, sebagian rakyat masih menyesalkan runtuhnya Tembok . Dalam diskusi yang terutama mempersengketakan ekses-ekses yang negatif dan faktor pembiayaan bagi penyatuan itu, makna sejarah dari peristiwa itu disepelekan . Tembok Berlin memisahkan dua sistim militer canggih yang bermusuhan, yang setiap saat dapat meledak dan menghancurkan dunia. Diskusi mengenai hal-hal sepele menutupi pandangan pada dimensi sejarah pada akhir tahun 89-an, yang mencapai puncaknya dengan runtuhnya Tembok Berlin . Setelah dua perang dunia yang dahsyat bangsa Jerman akhirnya mengisyaratkan kemampuannya membuat dunia ini lebih bebas dan lebih demokratis. 15 tahun setelah peristiwa itu , ini cukup alasan untuk bergembira dan merasa bangga.

Harian Die Welt menggambarkan suasana di Jerman 15 tahun setelah runtuhnya Tembok Berlin:

Belum hilang rasa bahagia pada malam hari tanggal 9 November yang legendaris itu, ketika Tembok dan Perang Dingin lenyap. Namun perasaan bahagia itu tidak dapat bertahan terus-menerus . Warga Jerman Timur juga menuntut kesejahteraan seperti di barat. Sementara ini warga Jerman barat dan timur terbangun dan menyadari realitas, bahwa tidak semuanya seindah seperti yang dibayangkan, bahwa angin perubahan juga menghembus ke barat. Jerman barat yang lama belum menjadi negara Jerman yang baru, di mana kita hidup. Dalam suasana transisi ini wajar kalau orang segan berpesta, apa lagi masyarakat yang mengasihani diri sendiri dan merasa tidak puas. Karena untuk semua langkah , yang dapat ditempuh dengan mudah oleh masyarakat lain , diperlukan waktu dan upaya yang lebih lama.

Kita beralih tema: Irak.

Pasukan AS dan tentara Irak bergerak mendekati pusat kota Falujjah. Seluruhnya 15 ribu tentara AS dan sekitar 2 ribu tentara Irak terlibat dalam serangan besar-besaran terhadap kaum pembrontak di kota itu. Partai Islam Sunni mengancam akan meninggalkan koalisi pemerintah, apabila serangan itu tidak dihentikan.

Harian Austria Der Standaard di Wina mengkritik serangan ke Falujjah :

PM Iyad Allawi meremehkan peringatan Sekjen PBB Kofi Annan akan dampak dari serbuan ke Falujjah. Mudah-mudah Allawi menyadari apa yang ia lakukan. Dapat dimengerti bahwa ia tidak mau menyerahkan beberapa kota kepada kaum pembrontak. Namun alasan konkret bagi serangan ke Falujjah yang akan menelan banyak korban tewas, tidak kuat. Belum tentu, Abu Mussab al-Zarqawi bersembunyi di Falujjah, seperti hal tidak ditemukannya senjata pemusnah massal di Irak.

Tiga pejabat tinggi Palestina, Perdana Menteri Ahmed Qorei, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina Mahmoud Abbas, dan Menteri Luar Negeri Nabil Shaath menjenguk Arafat di Paris. Meski pun kunjungan itu ditentang oleh Suha Arafat, istri Yasser Arafat, yang mengatakan suaminya dalam kondisi baik-baik dan akan kembali ke tanah kelahirannya.

Harian Swiss Tages-Anzeiger menyebutnya sebagai sikap yang jauh dari realitas. Kami baca komentarnya:

Bahwa Arafat sakit keras itu pasti, meski pun politik informasi yang tidak jelas yang juga dipatuhi oleh tim dokter di Paris. Pernyataan serius kaum intelektual Palestina bahwa Arafat akan kembali ke tanah kelahirannya di Muqata, sebenarnya tragis. Karena menyangkal realitas adalah bukti keputus-asaan , buka rasa duka. Itu bukanlah hal baru. Sebab di akhir yang tidak terhormat itu, tampak bahwa Arafat tidak pernah menjadi figur Bapak, seperti yang diingini oleh rakyatnya.

Harian Perancis La Charente Libre menulis mengenai soal suksesi Arafat:

Semua orang menyangka, masalah suksesi Arafat akan menimbulkan keguncangan politik. Namun sejak pernyataan isteri Arafat, terkesan seperti menonton film seri Dallas, dengan segala intrik yang lazim membumbui serial televisi yang murah . Suha Arafat menyebar kecurigaan dan tuduhan konspirasi ditengah isyu mengenai transaksi jutaan dollar ke rekening bank di Swiss. Suha Arafat tiga tahun lamanya hidup mewah di Paris yang membuat rakyat di Palestina iri hati. Semua itu mungkin hanya episod yang buruk, apabila tidak mencerminkan kebobrokan pemerintahan otonomi Palestina.