1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KontraS: Hapuskan Hukuman Mati

Puri Kencana Putri, KontraS6 April 2016

Dalam laporan Amnesty Internasional soal hukuman mati, Indonesia berada di posisi sembilan dengan mengeksekusi 14 narapidana. Berikut ulasan Puri Kencana Putri dari KontraS.

https://p.dw.com/p/1IQ28
Foto: picture-alliance/dpa/M. Villagran

Salah satu masalah utama dari diterapkannya praktik hukuman mati di Indonesia adalah sistem hukum pidana nasional yang belum mengedepankan prinsip-prinsip hukum yang sesuai dengan standar hukum HAM universal. Mekanisme pidana Indonesia masih jauh dari kesempurnaan.

Jamaknya praktik hukuman mati di Indonesia kerap didahului dengan tindak kesewenang-wenangan dari para aparat penegak hukum yang membenarkan tindak penyiksaan, perilaku tidak manusiawi dan keji guna mendapatkan keterangan dari subyek hukum yang rentan dimanipulasi.

Peradilan tak adil

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS tempat saya bekerja telah banyak menemukan sejumlah kejanggalan hukum dari sistem penyelidikan, penyidikan dan vonis peradilan yang ironisnya tidak adil; sehingga seseorang menjadi mudah untuk divonis mati.

Dalam tren eksekusi hukuman mati sepanjang tahun 2015 silam, KontraS telah menemukan bukti bahwa sistem hukum rentan digunakan untuk membenarkan praktik yang bertentangan dengan standar HAM universal.

Kasus vonis mati Yusman Telaumbanua adalah contoh buruk dari gagalnya sistem peradilan untuk memberikan kepastian hukum. Telaumbanua divonis mati oleh majelis hakim pengadilan negeri Gunungsitoli Sumatera Utara pada Mei 2013. Saat itu si pembela terdakwa justru meminta majelis hakim memvonis mati kliennya atas dugaan kasus keterlibatan pembunuhan berencana atas 3 orang lainnya di Nias.

KontraS menduga kuat adanya unsur rekayasa kasus setelah mengetahui bahwa ada bukti ketika Telaumbanua divonis mati ia masih berusia di bawah umur. Telaumbanua juga diduga kuat mengalami penyiksaan agar mengakui tuduhan kejahatan di bawah tekanan. Iapun tidak mendapatkan pembelaan hukum yang baik dan memahami konsekuensi dari penggunaan hukuman mati.

Kasus ini menjadi menarik untuk disimak ketika KontraS menemukan langkah medis guna memastikan usia Telaumbanua melalui jalur forensik. Langkah yang tidak populer memang, namun efektif untuk digunakan dalam memberikan edukasi bahwa hukum harus diterapkan secara transparan dan imparsial.

Hukuman mati tanpa nalar

Dari sekian kasus eksekusi hukuman mati, Yusman Telaumbanua telah menarik perhatian publik dalam dan luar negeri. Termasuk Amnesty International yang secara konsisten memberikan perhatian dan dukungan atas penghapusan praktik hukuman mati di Indonesia.

Laporan terbaru AI berjudul Amnesty International Global Report: Death Sentences and Executions 2015 salah satunya turut mengangkat kasus Yusman Telaumbanua. Adalah penting bagi Pemerintah Indonesia untuk memerhatikan isi dari rekomendasi dari laporan ini. Hukuman mati bukan hanya sekadar perkara bahwa Indonesia akan jauh lebih berdaulat jika mampu mengeksekusi mati para pengedar narkotika dengan meneguhkan nasionalisme dan prinsip non intervensi tanpa nalar.

Menghapus hukuman mati menjadi sebuah kewajiban yang harus diambil oleh sebuah pemerintahan demokratik yang paham bahwa sistem hukum bisa saja bermasalah jika tidak diikuti dengan prosedur pengawasan yang ketat. Kasus Yusman Telaumbanua, termasuk di dalamnya Mary Jane Fiesta Veloso –terpidana mati warga negara Filipina, Rodrigo Gularte –salah satu terpidana yang telah dieksekusi mati pada April 2015 telah menunjukkan bahwa hukum bisa begitu keji kepada mereka yang masih berusia di bawah umur, korban perdagangan manusia dan para penderita gangguan mental.

Saya juga berharap laporan ini bisa secara strategis mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah progresif dalam menata sistem hukum yang sejalan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, keadilan.

Penulis: Puri Kencana Putri
Penulis: Puri Kencana PutriFoto: Puri Kencana Putri

Akses atas bantuan hukum dan informasi menjadi hal mutlak yang harus didorong. Merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana dengan menghapus vonis hukuman mati, sembari mulai mengevaluasi praktik buruk dan kesewenang-wenangan dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara adalah hal utama.

Kadang langkah ini memang tidaklah populer di mata publik yang masih menanti efek jera, namun setidaknya ada terobosan yang dibuat pemerintah untuk menjamin bahwa hukum tidak hanya berlaku tajam kepada masyarakat rentan.

Penulis:

Puri Kencana Putri, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)

@sheisacuckoo @KontraS

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.