1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib TKW di Tiang Gantungan

Atnike Sigiro15 Maret 2016

Ancaman hukuman mati kerap membayangi tenaga kerja wanita (TKW), khususnya di negara-negara dimana posisi perempuan masih marijinal dan retensionis terhadap penerapan hukuman mati. Berikut ulasan Atnike Sigiro.

https://p.dw.com/p/1IBaB
Foto: picture-alliance/dpa

Kurang lebih setahun yang lalu, eksekusi mati terhadap Mary Jane, seorang buruh migran asal Filipina, ditunda. Mary Jane yang didakwa bersalah atas kejahatan narkotika, cukup beruntung, jika kegelisahan menit-menit menunggu hukuman mati dapat dikatakan sebagai sebuah keberuntungan. Kurang dari satu jam sebelum dihukum mati, eksekusi Mary Jane ditunda.

Ironisnya, tak lama berselang dari gelombang kedua eksekusi dan drama penundaan eksekusi Mary Jane di Indonesia itu, Siti Zainab dan Karni, buruh migran asal Indonesia dieksekusi mati di Arab Saudi. Keduanya tak seberuntung Mary Jane. Atas tuduhan pembunuhan terhadap anak majikan, nyawa kedua buruh migran Indonesia ini berakhir di tiang gantungan.

Meski trend menunjukkan bahwa semakin banyak negara di dunia yang bergerak menuju penghapusan hukuman mati, namun pro dan kontra mengenai penerapan hukuman mati adalah perdebatan yang akan terus berlanjut. Perlu diingat, hukuman mati yang dikenakan kepada buruh migran seperti Siti Zainab, Karni dan hampir terjadi kepada Mary Jane, bukan hanya melanggar hak untuk hidup, tetapi juga juga mengabaikan dimensi kekerasan domestik dan kekerasan berbasis gender atau kekerasan terhadap perempuan, yang rentan terjadi terhadap perempuan buruh migran.

Buruh migran perempuan dari negara berkembang adalah penyuplai terbesar tenaga kerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga. Hal ini berbeda dengan buruh migran laki-laki yang lebih banyak masuk dalam sektor ekonomi formal, seperti perkebunan, infrastrukur, maupun industri lainnya. Perempuan buruh migran telah menjadi ‘global nannies' yang menjalani peran pengasuhan dan kerja-kerja domestik di seluruh dunia.

Potensi ancaman kekerasan

Rekomendasi Umum dari Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (General Reccomendation of CEDAW Committee) No. 19 tahun 1992 menyebutkan secara tegas, bahwa kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi menjadi faktor pendorong tindakan perdagangan perempuan, baik sebagai pekerja seks maupun rekrutmen untuk menjadi pekerja domestik – dari negara miskin ke negara kaya. General Recommendation ini menyebutkan bahwa pasar perdagangan buruh migran perempuan ini menempatkan perempuan dalam resiko kekerasan dan eksploitasi.

Disadari atau tidak, perdagangan perempuan telah menjadi kebutuhan pasar dunia. Negara pengirim (yang umumnya negara miskin) menyediakan ‘supply', dan negara penerima (yang umumnya negara kaya) memiliki ‘demand' atas buruh migran perempuan.

Motif ekonomi, jelas menjadi alasan seorang Mary Jane untuk pergi menjadi buruh migran. Sebelum tertangkap di Yogyakarta karena membawa heroin, Mary Jane dijanjikan oleh tetangga yang mengirimnya pergi untuk bekerja di Malaysia. Pemindahan lokasi tujuan, penipuan, perkosaan, intimidasi, penahanan gaji, penahanan paspor, adalah sedikit dari berbagai bentuk-bentuk kekerasan dan eksploitasi yang dialami oleh buruh migran perempuan.

Kegagalan negara melindungi warganya

Dalam kasus Siti Zainab dan Karni, dakwaan pembunuhan kepada mereka seharusnya juga perlu mempertimbangkan latar belakang kultural yang berbeda antara negara asal dan negara penerima buruh migran, dan juga aspek-aspek kekerasan domestik yang mungkin dialami oleh seorang buruh migran. Buruh migran perempuan harus hidup dalam ruang privat pada ‘cultural setting' yang berbeda dengan negara asal mereka. Adaptasi kultural bukanlah sebuah proses yang mudah.

Selain itu, karena sifat privat dari ruang kerja mereka, mekanisme pemantauan maupun pengaduan atas situasi kerja buruh migran perempuan di sektor domestik sangatlah terbatas, bahkan hampir tidak mungkin dilakukan. Berbeda dengan buruh migran di sektor formal yang dalam kegiatan sehari-hari dapat membangun asosiasi, baik formal maupun informal, buruh migran sektor domestik umumnya hidup terisolasi dari ruang publik. Dalam kasus eksekusi mati terhadap Siti Zainab dan Karni, kita tak akan pernah tahu motif tindakan pembunuhan yang dituduhkan kepada mereka.

Atnike Sigiro
Blogger, Atnike SigiroFoto: A. Sigiro

Hukuman mati terhadap tenaga kerja perempuan seperti Mary Jane, Siti Zainab dan Karni bukan hanya secara prinsip melanggar hak hidup, tetapi juga menegaskan bagaimana buruknya masyarakat dan pemerintah memperlakukan buruh migran (perempuan). Hukum yang berlaku seringkali abai terhadap posisi rentan dari buruh migran perempuan dalam sektor domestik terhadap kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan domestik). Sementara ketika gagal melindungi buruh migran, negara-negara, baik pengirim maupun penerima kerap bersembunyi atas nama nasionalisme dan kedaulatan hukum. Pemerintah di negara-negara ini abai bahwa kekerasan terhadap perempuan telah diatur dalam hukum internasional, seperti Kovensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Tidaklah mengherankan jika ancaman hukuman mati kerap membayangi buruh migran perempuan, khususnya di negara-negara dimana posisi perempuan masih marijinal dan retensionis terhadap penerapan hukuman mati seperti Arab Saudi. Bagi Indonesia yang sudah meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan sejak tahun 1984, pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang dapat memonitor kondisi kerja buruh migran perempuan di sektor domestik, dan kebijakan yang tanggap memberikan perlindungan ketika buruh migran menghadapi masalah, khususnya masalah hukum. Moratorium dan penghapusan hukuman mati juga harus menjadi bagian strategi diplomasi dan kebijakan perlindungan terhadap ratusan buruh migran perempuan Indonesia yang saat ini sedang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri.

Penulis:

Atnike Sigiro, aktivis Hak Asasi Manusia, bekerja di FORUM-ASIA, dan juga mengajar di Post Graduate School of Diplomacy - Universitas Paramadina.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.