1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Buena Vista : Klub Musik Yang Menginspirasi

Andibachtiar Yusuf (as)10 November 2015

Buena Vista Social Club dari Kuba menjadi simbol dari semangat bermusik dan gairah hidup dalam situasi apapun. Para pemusik gaek ternyata masih bisa menginspirasi semangat untuk hadapi perubahan zaman.

https://p.dw.com/p/1H13h
Abschiedstour von Buena Vista Social Club Hamburg
Foto: DW/E. Romero-Castillo

Omara Portuondo naik keatas panggung, ia agak dipapah dengan langkahnya yang berat pertanda manula. Wanita berusia 85 tahun ini tampak sumringah saat publik Beacon Theatre, New York berdiri memberi tepuk tangan panjang baginya. Lalu meluncurlah Siempre en Mi Corazon dari bibirnya yang dipenuhi keriput. Maka berguncanglah theater yang malam itu sesak oleh para penggemar Buena Vista Social Club, sebuah kelompok Afro-Cuban Jazz asal Kuba yang pertama datang ke New York pada penghujung abad 20 lalu.

Buena Vista Social Club
Vokalis gaek Omara Portuondo yang masih punya olah vokal primaFoto: Alejandro Gonzales

Saya mengenal Buena Vista Social Club dengan cara yang sangat sederhana. Lima belas tahun lalu di Jakarta, saya datang pada sebuah pemutaran film dokumenter dengan judul yang sama dengan kelompok itu. Jauh dari pikiran bahwa saya akan berkenalan dengan sebuah energi besar yang terpancar lewat musik yang dimainkan oleh para manusia lanjut usia alias manula asal Kuba itu. Yang ada dalam pikiran saat melangkah masuk ke teater adalah sebuah dokumenter terbaru karya Wim Wenders.

Lima belas tahun lalu itu saya terperangah melihat gairah dan energi sangat besar dari sosok-sosok ceria macam Compay Segundo (lahir 1907), Ibrahim Ferrer (1927), Ruben Gonzalez (1919), Omara Portuondo (1930) dan para kompatriot mereka dalam bermusik. Mereka adalah musisi Kuba yang bagai terlupakan oleh masa, tenggelam pada kubangan dalam yang tercipta setelah rezim Fidel Castro berkuasa secara absolut di negeri kecil tak jauh dari Amerika Serikat itu.

Pada film itu, Ry Cooder seorang musisi asal Amerika Serikat mendatangi mereka dan berusaha mengumpulkan mereka satu persatu. Mengajak mereka kembali bermusik yang faktanya ternyata bukan hanya tetap di hati, tapi juga tetap mereka mainkan bersama. Lalu pada penghujung film, pergilah para kakek nenek ini ke tanah harapan di kota New York—lengkap dengan visual Patung Liberty—untuk kembali unjuk gigi. Sebuah ending yang sempurna dan mengharukan juga mengundang tepuk tangan tak henti saat film itu diputar di bioskop di Plaza Senayan, Jakarta.

Manula pemberi inspirasi

Malam itu, 4 November 2015 di Beacon Theater, saya hadir khusus untuk menyaksikan aksi mereka. Para kakek nenek yang bagi saya sungguh sungguh sungguh sangat inspiratif! Mereka yang terus berkarya dengan gairah yang sangat tinggi, masih punya energi besar untuk berkata pada dunia bahwa "Beginilah cara seniman hidup dan terus mencipta,"

Buena Vista Social Club
Eliades Ochoa, Barbarito Torres, Omara Portuondo, Luis “Guajiro” Mirabal und Jesús “Aguaje” Ramos (kiri ke kanan)Foto: Alejandro Gonzales

Buena Vista Social Club malam itu muncul dengan formasi praktis baru, setidaknya bagi saya. Praktis hanya Eliades Ochoa (lahir 1946) dan Omara Portuondo saja yang masih bisa hadir diatas panggung. Nama-nama yang terus terkenang dalam kepala selama belasan tahun ini macam Compay Segundo (yang bercerita bahwa ia mulai merokok pada usia 7 tahun dan saat itu berusia 89 "Artinya saya sudah merokok selama 82 tahun!") Ibrahim Ferrer yang ceria, Manuel Galban yang tenang, mereka telah tiada.

Indonesien Andibachtiar Yusuf
Andibachtiar Yusuf, fimmaker & travelerFoto: Andibachtiar Yusuf

Omara memang tidak bernyanyi di sepanjang pertunjukan. Eliades yang juga tidak muncul sepenuh konser. Mereka tahu diri bahwa usia dan kemampuan fisik sudah tak sama lagi. Tapi mereka memberi contoh sempurna bahwa usia bukanlah halangan untuk terus bisa hidup dan berkarya. Si nenek tua ini tak hanya bergoyang, ia juga memamerkan teknik vokal yang masih sangat prima. Bahkan penyanyi legendaris kita yang usianya sekitar 12 tahun lebih muda dari Omara, sudah tak punya lagi kemampuan olah vokal yang bisa mendekati sedikitpun.

Semangat! Itulah yang saya lihat malam itu. Api besar kehidupan yang terus menyala di jiwa dan mata mereka adalah inspirasi, bahwa usia memang hanya angka dan tua hanya ada dalam pikiran. Lalu saya penasaran…..sampai kapan Mick Jagger yang kini sudah berusia 72 tahun akan terus mampu berjingkrakan penuh energi selama 3-5 jam pertunjukannya. Berlari dari sisi panggung yang satu ke sisi yang lain dengan cara bergerak dan bernyanyi yang sama.

Saya sungguh menantikannya, menyaksikan para seniman besar yang tak pernah menua….mereka hanya dimakan oleh usia.

Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Traveller

@andibachtiar