1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Warga Rohingya Diperkosa Militer Secara Sistematis

16 November 2017

Pemerkosaan terhadap perempuan Rohingya terjadi secara sistematis dan tersebar secara merata, demikian laporan Human Rights Watch. Militer Myanmar dituding bertanggung jawab atas kekerasan seksual tersebut.

https://p.dw.com/p/2njm9
Bangladesch Frauen und Kinder Flüchtlingslager Cox's Bazar
Foto: Reuters/D. Sagoli

Kamis pagi (16/11), Human Rights Watch (HRW) merilis laporan secara khusus terkait kekerasan seksual yang menimpa perempuan  Rohingnya di Rakhine, Myanmar. Lembaga yang berkantor di New York itu menuding tentara Myanmar telah menggunakan pemerkosaan sebagai senjata untuk melakukan pembersihan etnis Rohingya.

"Pemerkosaan menjadi cara yang paling mencolok dan paling efektif yang dilakukan militer Myanmar untuk kampanye pembersihan etnis terhadap warga Rohingya,” ujar Skye Wheeler, peneliti sekaligus penulis laporan HRW. "Tindakan barbar militer Myanmar telah menyebabkan banyak perempuan terluka dan mengalami trauma secara brutal," katanya seperti dikutip dari AFP.

Laporan HRW ini seakan mempertegas tudingan yang dilontarkan Pramila Patten, utusan PBB khusus untuk kekerasan seksual di daerah konflik. Awal minggu ini dia menyebutkan bahwa kekerasan seksual telah "diperintahkan, dirancang dan dilakukan oleh angkatan bersenjata Myanmar."

Pemerkosaan massal

Dalam 30 lembar laporan yang berjudul "Seluruh Tubuhku Terluka", HRW memaparkan keterlibatan militer Myanmar dalam serangkaian pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan remaja Rohingya. “Pada tiap kasus, para pelaku digambarkan adalah prajurit berseragam dan hampir semuanya adalah anggota militer,” tulis laporan tersebut.

HRW menemukan bukti pemerkosaan juga dilakukan secara berkelompok. Ada delapan laporan yang mengakui pelaku pemerkosaan berjumlah lima tentara atau lebih. Mereka juga menceritakan bahwa mereka diperkosa di rumah atau saat mengungsi ketika desa mereka terbakar.

Salah satu korban, Hala Sadak, berusia 15 tahun mengisahkan kepada HRW tentang pemerkosaan berkelompok yang dialaminya. “Mereka meninggalkan saya di tempat saya berada. Ketika saudara laki-laki dan perempuan saya menemukanku, saya terbaring di tanah, dan mereka berpikir saya sudah tewas.”

Laporan seperti Hala Sadak ini menurut Nisha Varia, direktur advokasi HRW memberikan pemahaman yang lebih lengkap  “tentang bagaimana serangan dilakukan, termasuk membuktikan bahwa militer bertindak sebagai pelaku, tingginya angka pemerkosaan serta bukti adanya pemerkosaan massal dan pola kekerasan seksual yang terjadi hingga serangan gencar dilakukan ke desa-desa.”

Bantahan militer

Senin (13/11) lalu, Jenderal Min Aung Hlaing membantah seluruh tudingan terkait pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan para prajurit Myanmar. Pimpinan militer Myanmar tersebut menegaskan operasi militer di Rakhine murni hanya menyasar militan Rohingya. Kamis (16/11), Jenderal Min Aung Hlaing kembali mengeluarkan pernyataan yang mengisyarakatkan sulitnya proses pengembalian warga Rohingya secara damai seperti yang diusulkan Bangladesh. Ia menekankan warga Rohingya bisa kembali hanya jika ’warga pribumi” bersedia menerima mereka.  

“Penekanannya harus berdasarkan keinginan etnis lokal Rakhine, yaitu mereka yang merupakan warga asli Myanmar. Hanya jika warga etnis lokal Rakhine bisa menerimanya, maka seluruh orang bisa puas,” bunyi pernyataan yang ditulis pada hari Kamis (16/11) di laman Facebook miliknya

Pernyataan ini dikeluarkan setelah sehari sebelumnya Jendral  Min Aung Hlaing bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson. Pada pertemuan itu Tillerson meminta penyelidikan independen yang kredibel atas tuduhan yang diarahkan ke militer Myanmar. Tillerson bahkan menyebutkan AS belum akan memberikan sanksi kepada Myanmar. Tak hanya AS, pada pertemuan ASEAN yang berlangsung beberapa waktu lalu, sebagian besar petinggi negara di Asia Tenggara juga bungkam atas peristiwa kekerasan yang diduga dilakukan Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingnya.

ts/ap (Reuters,  AFP, New York Times)