1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tantangan Hak Asasi Manusia di Indonesia Setelah Pemilu

Anggatira Gollmer
16 Mei 2019

Pelanggaran hak asasi manusia di berbagai bidang selama ini masih menjadi isu yang cukup terabaikan di Indonesia. Di Berlin, kelompok-kelompok advokasi HAM internasional bahas tema-tema HAM yang harus ditangani segera.

https://p.dw.com/p/3IaF6
Conference:Human Rights and Peace for Papua  in Potsdam
Foto: DW/A. Purwaningsih

"Indonesia setelah Pemilihan Umum: Prospek untuk reformasi hak asasi manusia dan resolusi konflik?” adalah tema yang dipilih untuk kongres gabungan yang diadakan oleh International Coalition for Papua, Human Rights Watch, Amensty Internasional dan organisasi Westpapua Netzwerk untuk menjadi bahasan di Jerman tahun ini. Dalam pertemuan di pertengahan bulan Mei di Berlin ini sejumlah pakar dari Indonesia dan Jerman membahas masalah HAM yang selama ini masih terabaikan oleh pemerintah, khususnya di Papua.

"Kami ingin agar teman-teman dari Jakarta dan Papua, serta kami sebagai pihak eksternal untuk duduk bersama dan bisa mengerti, bagaimana jalan yang bijaksana ke depan. Banyak yang menganggap Jokowi sebagai pilihan yang lebih menjanjikan, walaupun mereka juga kecewa dengan Jokowi, karena itu kami tetap ingin melihat, harapan apa yang ada untuk pemerintah yang baru. Ini akan menjadi masa jabatan Jokowi yang terakhir dan kami harap, ia akan bertindak lebih progresif, " kata Norman Voß, ketua Sekertariat ICP.

Tantangan Pemerintahan Baru Jokowi: Bereskan Persoalan HAM

Andreas Harsono yang hadir sebagai perwakilan dari Human Rights Watch dalam kesempatan ini juga memaparkan tentang isu-isu pelanggaran HAM yang terjadi selama 20 tahun pasca pemerintahan Suharto.

Beberapa pelanggaran penting menurutnya terjadi karena ada diberlakukannya lebih dari 700 perda syariah di berbagai tempat di Indonesia. "Peraturan-peraturan ini mendiskirminasi perempuan, kaum minoritas beragama dan LGBT,” jelasnya. "Komponen terbesar dari aturan-aturan ini adalah kewajiban memakai jilbab, juga bagi orang non Muslim, dan UU Penistaan Agama. Ini intinya mengatakan, bahwa kaum minoritas harus menghargai kaum mayoritas dan prinsip ini menggantikan prinsip kebebasan beragama di Indonesia.”

Jurnalis senior ini juga memaparkan, bahwa tidak ditindaklanjutinya pelanggaran HAM di masa lalu memupuk budaya impunitas dan gerakan kekerasan. "Pelaku pelanggaran HAM di masa lalu menciptakan lebih banyak pemimpin yang berpikir, mereka bisa melakukan apapun yang mereka mau. Bukan hanya Prabowo. Anda bisa pergi ke ibu kota provinsi manapun dan Anda akan melihat para pembunuh yang menjadi walikota dan gubernur atau anggota parlemen.”

Harus ditangani badan independen

Pembunuhan di luar hukum menjadi salah satu fokus utama terkait pelanggaran HAM di Papua. Dalam analisa Amnesty International di Papua yang dilakukan selama kurun waktu 2 tahun dari 2016 sampai 2018, tercatat 69 kasus yang menewaskan 95 orang dalam berbagai konteks non politis, 85 di antaranya etnis Papua. Pelaku dalam 35 kasus adalah polisi, dalam 23 kasus TNI. Sampai hari ini hanya satu kasus yang dibawa ke pengadilan sipil.

"Pada tahun 2014 Presiden Jokowi, yang pada saat itu masih calon presiden, berjanji untuk mengubah sistem pengadilan TNI yang berlaku agar segla pelanggaran HAM harus ditangani oleh institusi sipil independen,” ujar Papang Hidayat dalam presentasinya di Berlin.

"Tetapi sayangnya amandemen ini gagal dan agenda ini menghilang dari janji-janji kampanye Jokowi tahun 2019. Presiden Jokowi sadar, bahwa ia membuat janji-janji penting terkait HAM pada tahun 2014, tetapi sampai sekarang sedikit sekali yang diraih. Di tahun 2019, timnya tidak menyertakan prospek menjanjikan terkait HAM,” lanjut peneliti senior Amnesti Internasional Indonesia ini.

Kekecewaan lain atas janji-janji yang dibuat Jokowi pada periode pertama pemerintahannya adalah pembebeasan tahanan politik Papua, yang tetap masih kurang, dibukanya Papua bagi jurnalis asing yang belum diimplementasikan, serta perkara Wamena dan Wasior yang tetap belum diproses, jelas direktur Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid, yang juga hadir. "Komitmen semacam ini sebenarnya bagus, tetapi jika tidak diimplementasikan, ini hanya akan menumpuk kekecewaan bagi orang Papua,” lanjutnya.

Pembangunan infrastruktur yang digiatkan oleh pemerintahan Jokowi juga tidak luput dari pembahasan. Dalam hal ini Cahyo Pamungkas dari LIPI mengatakan, walaupun warga Papua antusias dengan proyek pembangunan, mereka melihat bahwa prioritas pemerintah harus berubah dari infrastruktur fisik menjadi infrastruktur sosial, terutama pengembangan sumber daya manusia dan perbaikan pelayanan umum. Politik pembangunan juga tidak boleh menggantikan rekonsiliasi yang tetap dibutuhkan.

Menutup kongres yang berlangsung selama dua hari ini, para pakar juga memberikan beberapa saran dan harapan untuk pemerintahan selanjutnya. Norman Voß dari ICP mengatakan, "Saya rasa, prioritasnya adalah akses bagi jurnalis dan pengamat asing, serta komisi PBB untuk hak asasi manusia, pertanggungjawaban hukum dan benar-benar menciptakan ruang untuk mengekspresikan pendapat. Di banyak tempat masih ada ketakutan untuk berbicara tentang banyak tema secara terbuka dan dengan itu keadaannya tidak membaik. Kami berpendapat, bahwa semua pihak yang berkonflik dan pihak-pihak terlibat semua duduk di meja yang sama.”

Sementara itu direktur Amnesti Internasional Usman Hamid juga mengingatkan sebuah poin positif, bahwa Indonesia sejam jatuhnya Suharto sudah berhasil berkali-kali mengadakan pemilu tanpa kudeta politik atau pecahnya perang saudara. "Ini berarti, kaedah-kaedah kemanusiaan dalam menyelenggarakan pemerintahan masih kuat,” ujarnya. "Tinggal nanti orang-orang yang terpilih itu diuji. Demokrasi bukan saja sekedar apakah pemerintah yang berkuasa itu ditentukan oleh pemilihan suara tetapi apakah mereka yang terpilih dan kemudian menjadi pemerintahan yang berkuasa bisa melindungi yang lemah, minoritas, yang ditindas. Di situ ujiannya dan di situ yang harus diperkuat.”