1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakIndonesia

Siapkah Institusi Pendidikan Kita Terima Keberagaman Gender?

Betty Herlina
25 Agustus 2022

Keberagaman gender bukan pengaruh budaya Barat, keberagaman gender dan seksualitas sudah ada sejak lama di Indonesia. Namun, siapkah institusi pendidikan formal menerimanya?

https://p.dw.com/p/4FzwR
Ilustrasi gender netral
Ilustrasi gender netralFoto: Bildagentur-online/Ohde/picture alliance

Dalam beberapa hari terakhir, dunia media sosial Indonesia diramaikan dengan beredarnya video seorang mahasiswa baru yang diusir dari ruangan saat mengikuti orientasi kampus di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar.

Dalam video yang beredar itu, MN, mahasiswa tersebut, terlihat ditanya identitas gendernya yang ia jawab netral atau nonbiner. Jawaban ini tidak diterima dan membuat salah seorang dosen memanggil panitia orientasi dan mengusir MN.

Diskriminasi di dunia pendidikan tinggi di Indonesia terhadap orang dengan spektrum gender beragam bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya di tahun 2017, salah satu perguruan tinggi di Sumatera pernah mewajibkan mahasiswanya untuk mengisi surat pernyataan bebas LGBT.

Pengamat pendidikan menyayangkan insiden ini sebagai bentuk masih gagapnya dunia pendidikan di Indonesia dalam merespons keberagaman gender.

"Pendidikan itu bagian dari hak asasi manusia. Itu hak prinsipil setiap orang yang tidak boleh dilanggar, apa pun situasinya," ujar Muhammad Muklisin dari Yayasan Cahaya Guru (YCG) kepada DW Indonesia.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kampus sebagai institusi pendidikan tidak boleh menghilangkan hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan. Menurutnya, pengusiran dari ruangan terjadi karena kampus sebagai ruang akademis dan intelektual masih gagap dalam menghadapi adanya keberagaman identitas gender.

Tenaga pendidik tidak memiliki pemahaman utuh tentang identitas gender. Akibatnya, ketika ada mahasiswa yang berani menyuarakan identitas gender yang berbeda kerap mendapatkan respons negatif, ujarnya.

"Sudah seharusnya Kemendikbud memberikan pemahaman kepada tenaga pendidik, sehingga hal ini tidak perlu terulang lagi. Ini kasus yang mencuat tidak menutup kemungkinan ada kasus-kasus serupa," katanya.

Atas insiden ini, Rektor Unhas Profesor Jamaluddin Jompa seperti dilansir dari Kompas.com menegaskan bahwa Unhas merupakan lembaga pendidikan inklusif. Prof. Jamaluddin Jompa juga menyatakan pihak kampus akan memfasilitasi serta akan meminta maaf atas insiden tersebut.

Ragam spektrum gender dalam budaya Indonesia

Terpisah, dosen ilmu komunikasi Universitas Bengkulu, Wahyu Widiastuti, tidak menampik masih ada kalangan pendidik yang belum menerima keberagaman gender di kampus. Ia pun mengakui bahwa di lingkungannya mengajar sehari-hari, mahasiswa dengan gender nonbiner sering dijadikan bahan olok-olokan. Ketika berpakaian seperti perempuan, berdandan, atau bahkan menggunakan pelembab bibir, tidak jarang mereka jadi bahan olokan dosen.

"Sebenarnya tergantung pengetahuan dosennya, masalahnya di Indonesia hanya ada dua identitas gender yang diakui, laki-laki dan perempuan. Padahal gender itu spektrumnya bisa bermacam-macam. Kita tidak diajarkan untuk menerima itu, kalaupun ada kita disuruh ignore. Padahal mereka manusia, kalaupun tidak sepaham silakan saja, namun tetap kita anggap mereka manusia yang punya hak," ujar Wahyu Widiastuti. 

Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Ahmad Alex Junaidi, mengatakan bahwa budaya Indonesia sudah lama menunjukan keberagaman gender. Ia mencontohkan di Bugis, Sulawesi Selatan, ada lima jenis identitas gender yang berbeda.

Interpretasi jenis kelamin Bugis meliputi perempuan (Makkunrai), laki-laki (Orowane), laki-laki feminin (Calabai), perempuan maskulin (Calalai), dan Bissu (gabungan antara laki-laki dan perempuan). Praktik adat Bissu sudah berlangsung sejak abad ke-13 hingga saat ini.

Hal serupa juga ada di Toraja dan praktiknya sebagai pemimpin agama memiliki peran sangat penting, ujar Junaidi. Selain itu ada pula mitologi Si Dua Jambar tentang transgender yang dimuliakan etnis Batak. Serta tari gandrung dari Banyuwangi dan lengger dari Banyumas.

"Keberagaman gender bukan pengaruh budaya barat, keberagaman gender dan seksualitas itu sudah ada sejak lama di Indonesia. Ini dibuktikan dengan peninggalan budaya-budaya yang ada," ujarnya.

Hargai ekspresi gender

Lebih lanjut, Ahmad Alex Junaidi mengatakan pilihan identitas maupun ekspresi gender adalah kebebasan yang seharusnya dihormati dan dijunjung penuh martabat di setiap institusi pendidikan. Utamanya di kampus sebagai tempat di mana pandangan ideologi, keyakinan, dan identitas apa saja sah diterima.

"Sangat disayangkan hal ini terjadi, mahasiswa tersebut sudah cukup berani mengungkapkan identitas gendernya, karena tidak semua orang berani untuk bersuara. Ini harus dihargai. Sudah saatnya kampus menghormati keberagaman gender dan seksual atau mendorong prinsip SOGIESC (sexual orientation, gender identity, expression, sex characteristic)," terangnya. 

"Ini bisa menjadi refleksi bagi perguruan tinggi lain untuk bisa membuat peraturan serupa dan mensosialisasikan kepada semua tenaga pendidik sehingga tidak ada diskriminasi keberagaman gender," ujar Junaidi.

Rendahnya akses terhadap pendidikan

Hasil pemantauan LBH Masyarakat menunjukan diskriminasi dalam mendapatkan pendidikan menempati urutan ketiga bentuk-bentuk diskriminasi yang kerap dialami orang dengan keberagaman gender. Diskriminasi yang paling sering dialami adalah persekusi, disusul oleh upaya paksa pemidanaan.

Junaidi mengatakan diskriminasi yang diberikan institusi pendidikan terhadap keberagaman gender justru dapat berdampak buruk bagi pencapaian pendidikan di Indonesia. Orang dengan keberagaman gender banyak yang tidak dapat hak pendidikan yang lantas memengaruhi kualitas hidup mereka.

"Teman-teman didiskriminasi. Akibatnya tingkat pendidikan rendah, berujung pada dunia kerja semakin sempit. Belum lagi ketika bekerja di sektor informal, misalnya membuka salon kecantikan, itu biasanya dikejar-kejar juga, akibatnya banyak yang pindah," ujar Junaidi menyayangkan.

Sementara Muhammad Muklisin dari Yayasan Cahaya Guru mengatakan bahwa memperkuat pendidikan, utamanya tentang kesehatan reproduksi, sangat penting untuk mengantisipasi diskriminasi terhadap orang dari beragam spektrum gender. Bentuknya dapat dilakukan dalam penerapan kurikulum mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi.

"Tidak sedikit kasus bullying terjadi akibat keberagaman gender ... Akibatnya korban bisa putus sekolah," ujar Muklisin. (ae)