1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pelanggaran Rantai Pasokan Mineral, Indonesia Tertinggi?

7 Juli 2023

Kelompok advokasi hak asasi manusia umumkan dugaan puluhan pelanggaran hak buruh dan lingkungan yang dilakukan perusahaan Cina dalam investasinya di penjuru dunia. Di Indonesia, jumlah kasusnya tercatat paling tinggi.

https://p.dw.com/p/4TU5v
Pertambangan nikel di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi SelatanI
Gambar ilustrasi pertambangan nikelFoto: Basri Marzuki/ZUMA Press/imago images

Perusahan-perusahaan itu rata-rata terlibat dalam bisnis pertambangan atau pengolahan mineral yang berhubungan dengan energi terbarukan. Laporan yang dirilis hari Kamis (06/0/7) oleh Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia Resource Center di London, Inggris, ini mengatakan bahwa mereka menemukan 102 kasus dugaan pelanggaran dalam semua fase penggunaan mineral tersebut, mulai dari tahap eksplorasi dan perizinan, hingga di tahap penambangan dan pengolahan. Demikian dilansir dari Associated Press (AP).

Laporan teranyar ini mempelajari rantai pasokan untuk sembilan mineral, yaitu kobalt, tembaga, litium, mangan, nikel, seng, aluminium, kromium, dan yang disebut elemen tanah jarang. Semuanya sangat penting untuk produk teknologi tinggi seperti panel surya dan baterai untuk kendaraan listrik.

Indonesia, didaulat tersandung 27 kasus. Jumlah ini tertinggi, diikuti oleh Peru dengan 16 kasus dan Republik Demokratik Kongo mengintil dengan 12 kasus. Sementara di Myanmar tercatat ada 11 kasus, dan disusul Zimbabwe dengan 7 kasus.

Lebih dari dua pertiga kasus melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, dengan masyarakat adat sebagai korban yang paling terdampak. Banyak proyek yang diinvestasikan atau dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan Cina yang berlokasi di negara-negara yang memiliki kekayaan mineral, tetapi  hanya tersedia "pilihan yang terbatas bagi bagi para korban untuk mendapatkan ganti rugi."

Untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius, batasan global yang ditetapkan oleh perjanjian iklim Paris 2015, dunia perlu meningkatkan kapasitas energi bersihnya pada tahun 2030. Hal ini telah memicu perebutan "mineral transisi" seperti kobalt, tembaga, lithium, dan seng yang dibutuhkan dalam teknologi energi bersih.

Cina bukan satu-satunya yang dipermasalahkan

Pelacakan terpisah dari kelompok advokasi mencatat dugaan pelanggaran serupa oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Kanada, yang memainkan peran penting dalam pertambangan, pengolahan, dan pemurnian mineral-mineral ini, serta membuat panel surya, turbin angin, dan baterai kendaraan listrik.

"Intinya adalah, jika transisi energi tidak adil, maka transisi tidak akan secepat yang seharusnya, dan kita akan gagal memenuhi tenggat waktu," ujar direktur program regional organisasi tersebut, Betty Yolanda.

Perubahan iklim memiliki dampak yang sangat besar terhadap masyarakat miskin di dunia, yang paling sedikit berkontribusi terhadap pemanasan, tetapi sekarang menanggung beban dampak negatif dari penambangan mineral yang dibutuhkan untuk transisi ke energi terbarukan, tambahnya. Para penulis laporan tersebut tidak ingin teridentifikasi secara terbuka, karena alasan keamanan.

Negara-negara kaya seperti Australia, yang memiliki kekayaan mineral yang melimpah, tidak membutuhkan investasi asing untuk ekstraksi, meskipun proyek-proyeknya sering melibatkan investor asing.

Namun, negara-negara berkembang yang kaya tembaga seperti Peru dan negara-negara pengekspor nikel seperti Indonesia dan Filipina semakin bergantung pada investasi dan teknologi Tiongkok untuk menambang dan memproses mineral-mineral tersebut.

"Inilah saatnya untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di masa lalu. Transisi energi terbarukan harus dilakukan dengan cara yang adil dan merata," ujar penasihat kebijakan global untuk Departemen Sumber Daya Alam dan Departemen Tata Kelola Global Witness, Eric Ngang. Organisasinya yang berbasis di Inggris ini tidak terlibat dalam laporan tersebut.

Lemahnya penegakan hukum

Penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggaran-pelanggaran semacam itu memfasilitasi praktik-praktik korupsi yang menguntungkan perusahaan dan politisi yang tidak jujur dengan mengorbankan lingkungan dan hak asasi manusia, demikian dikutip dari Associated Press.

Sekitar 42% dari tuduhan hak asasi manusia yang dirinci dalam laporan tersebut terkonsentrasi di Asia Pasifik, 27% di Amerika Latin dan 24% di Afrika. Lebih dari setengahnya adalah kasus kerusakan lingkungan, termasuk hilangnya akses terhadap pasokan air bersih. Lebih dari sepertiganya melibatkan dugaan pelanggaran hak-hak pekerja, dengan mayoritas terkait dengan risiko kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Hal tersebut kemungkinan besar merupakan "puncak gunung es," kata Yolanda.

Laporan tersebut mencatat bahwa peningkatan perlindungan sangat penting karena semakin banyak negara yang mencoba untuk menyimpan sebagian nilai dari kekayaan mineral mereka di dalam negeri dengan mewajibkan para penambang dan perusahaan-perusahaan di bagian hilir dalam rantai pasok untuk membangun pabrik peleburan dan infrastruktur lainnya.

Sebagai contoh, Indonesia, yang memiliki pasokan nikel terbesar di dunia, sedang mencoba untuk menjadi pusat pembuatan kendaraan listrik dan juga membuat baterai berbasis nikel untuk menciptakan rantai pasokan nikel yang lengkap yang melibatkan investasi Cina. Tanpa adanya perlindungan, ambisi-ambisi ini "mungkin akan sangat dikompromikan" dengan bahaya yang ditimbulkan terhadap manusia dan lingkungan, tandas laporan tersebut.

Hanya 7 dari 39 perusahaan pertambangan Cina yang disebutkan dalam laporan tersebut telah menerbitkan kebijakan soal hak asasi manusia dan meskipun ada komitmen transparansi, hanya 4 dari 22 perusahaan di sektor ini yang menanggapi tuduhan-tuduhan yang diajukan kepada Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia, demikian ungkap laporan tersebut.

Laporan itu tidak secara eksplisit menyatakan apa tanggapan tersebut, selain respons pada bulan November 2022 dari Huayou Cobalt China terhadap tuduhan kerusakan lingkungan, di mana perusahaan tersebut "menanggapi dengan mengakui sebagian tantangan sosial dan lingkungan dan menjelaskan langkah-langkah uji tuntas ketenagakerjaannya."

Cina tidak memiliki undang-undang yang mengatur dampak dari bisnis Tiongkok di luar negeri dan rantai pasokannya. Kebijakan mengenai masalah-masalah tersebut sebagian besar masih bersifat sukarela. Masalah-masalah seperti itu sedang ditangani di AS dan Eropa dan laporan tersebut mengatakan bahwa Jepang dan Korea Selatan semakin menjadikan hak asasi manusia dan uji tuntas dampak lingkungan sebagai bagian dari kerangka kerja peraturan mereka.

ap/hp (AP)