1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mengapa Harus Kartini yang Diperingati Secara Khusus? 

21 April 2020

Tokoh atau pahlawan perempuan yang berjasa di Indonesia cukup banyak. Tetapi mengapa hanya Kartini yang diperingati secara khusus? Monique Rijkers mengulasnya dalam rangka Hari Kartini 21 April 2020. 

https://p.dw.com/p/3apfY
Peringatan Kartini
Surat Kartini untuk sahabat penanya di Belanda, Rosa AbendanonFoto: Public Domain

Tak bisa dipungkiri lagi, berkat semakin terbukanya arus informasi di masa modern ini, ketetapan pemerintah menyangkut hari-hari nasional semakin mudah untuk dipertanyakan atau bahkan diperdebatkan. Apakah pemerintah salah memilih Kartini?
 
Kartini identik dengan emansipasi wanita. Sejak saya duduk di bangku Sekolah Dasar tak ada sosok perempuan yang begitu sering disebut namanya selain Kartini. Bukan hanya karena ada satu hari khusus untuk mengenang Kartini saban 21 April, tetapi dari Kartini pula, saya mengenal kosa kata emansipasi.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria.

Kartini dianggap mendobrak belenggu yang membatasi kaum perempuan. Apakah persoalan Kartini adalah persoalan kaum perempuan di Indonesia pada masa itu atau terbatas pada persoalan perempuan keturunan bangsawan Jawa seperti dirinya sendiri? Pertanyaan ini muncul ketika saya mulai mendengar kisah perempuan-perempuan Kawanua, Sulawesi Utara dahulu yang berpendidikan. Sebagai seorang perempuan Kawanua dari Sulawesi tentu ada rasa bangga yang membuat saya mempertanyakan mengapa sosok Kartini yang dikenang oleh perempuan se-Indonesia dan bukan para pendiri sekolah perempuan di Tomohon, Sulawesi Utara?  
 
Sebelum Kartini, Ada Dewi Sartika 
 
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879 sebagai perempuan keluarga bangsawan Jawa. Dua tahun setelah Kartini lahir, tahun 1881 di Tomohon sudah berdiri sekolah dan asrama bagi anak perempuan yang disponsori oleh Ds. Jan Louwerier, seorang pendeta Belanda. Menurut sejarawan Minahasa Bode Talumewo, sekolah dan asrama itu kemudian dikenal sebagai Sekolah Nona. Meski didirikan oleh orang Belanda, minat dan antusiasme perempuan di Tomohon kala itu sudah tinggi. Bode Talumewo menambahkan kesadaran akan berorganisasi juga sudah dimulai dengan dibentuknya Perkumpulan Perempuan Kristen Tondano pada tahun 1867, sebuah organisasi semacam wanita kaum ibu yang berciri agama. Baru pada tahun 1918 Sekolah Kepandaian Puteri atau PIKAT didirikan oleh Walanda-Maramis, pribumi Minahasa.  

Terbukanya peluang perempuan di Sulawesi Utara menempuh pendidikan, bahkan tinggal di asrama sekolah berkaitan dengan budaya orang Kawanua yang egaliter. Karena itu tidak heran cukup banyak perempuan yang bisa bersekolah tinggi. Dokter wanita pertama Indonesia yang lulus dari Sekolah Kedokteran Belanda Stovia di Jakarta adalah Marie Thomas, seorang Kawanua pada tahun 1922. Gelar doktor hukum wanita pertama di Indonesia juga melekat pada perempuan Kawanua bernama Annie Manoppo. 
Jika Kartini di Jepara, Jawa Tengah berjuang agar bisa sekolah tinggi dan mempunyai sekolah sendiri, Dewi Sartika di Jawa Barat sudah mendirikan Sakola Istri pada tahun 1903. Selain membuka sekolah, Dewi Sartika menulis buku dalam bahasa Sunda yang berjudul, “Kaoetamaan Istri” pada tahun 1911 dan diterbitkan pada tahun 1912. Artinya kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan bukan cuma dirasakan oleh Kartini saja. Kaum perempuan di Sulawesi Utara sudah menempuh sekolah asrama dan Dewi Sartika membangun sekolah. Namun mengapa Kartini yang dianggap sebagai pendobrak?  
 
Kartini Tak Kuasa Melawan Kodrat 
 
Kartini memang dikenal karena keinginannya untuk bersekolah. Melalui lembaran surat demi surat yang ia tulis kepada Stella Zeehandelaar, sahabat penanya di Belanda, Kartini mencurahkan isi hatinya yang menderita karena dipingit dalam tembok rumah sejak berumur dua belas tahun. Kartini menyimpan keinginan besar untuk bisa sekolah di Belanda, tetapi berubah menjadi sekolah guru di Batavia (nama Jakarta masa itu). Namun ketika ia akhirnya bisa pergi ke Batavia untuk sekolah, Kartini malah memutuskan menikah dengan pria yang pernah memiliki tiga istri, meski Kartini menentang perjodohan dan poligami.

Blogger Monique Rijkers
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Pada surat kepada Stella Zeehandelaar tanggal 6 November 1899, Kartini menulis, “Aku tiada, sekali-kali tiada dapat menaruh cinta. Kalau hendak cinta, pada pendapatanku haruslah ada rasa hormat dahulu. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya mengatakan itu dosa.” Kegetiran Kartini semakin jelas dalam untaian kalimat ini, “Mengertikah engkau sekarang apa sebabnya maka sesangat itu benar benciku pada perkawinan.” Dalam sebuah surat yang ditulis Kartini untuk sahabat penanya Rosa Manuela Abendanon-Mandri pada Agustus 1901, Kartini mengeluh, “Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa menikah hari ini atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami.” Kartini akhirnya tak kuasa melawan kodrat, ia menikah jua dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, pria pilihan orangtuanya. Pernikahan karena perjodohan dan dengan pria pendukung poligami sesuatu yang bertentangan dengan isi surat-surat Kartini sebelumnya. 


Sampai di di sini saya masih belum memahami apa yang menginspirasi dari seorang Kartini. Betul jika dikatakan Kartini adalah gadis belia yang meski dipingit namun berwawasan luas. Betul jika dikatakan Kartini berjuang untuk emansipasi perempuan. Namun layakkah ia diperingati secara khusus dan dianggap lebih istimewa dari para pejuang perempuan lainnya? Jika merujuk pada perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, Kartini justru dekat dengan orang-orang Belanda. Berbeda dengan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu yang mengangkat senjata melawan Belanda. Cut Meutia bahkan harus berpindah-pindah di rimba Pasai selama 11 tahun menghindari pengejaran Belanda.  
 
Sekolah Kartini Berkat van Deventer 
 
Jika Kartini dianggap revolusioner karena memperjuangkan emansipasi perempuan dalam pendidikan, kenyataannya Kartini tidak jadi mengenyam pendidikan guru seperti yang ia idamkan. Keinginannya mendirikan sekolah, dalam suratnya tercatat nama Dewi Sartika yang menjadi panutan.  


Sekolah Kartini baru berdiri tahun 1913 di Semarang atas prakarsa Yayasan Kartini(Kartini Vereeniging) yakni teman-teman Kartini asal Belanda.  

Conrad T. van Deventer adalah tokoh dibalik pendirian Sekolah Kartini. Van Deventer bersama istrinya Betsy Maas tinggal di Ambon dan Semarang selama 17 tahun. Van Deventer merupakan rekan dari Bupati Jepara sehingga mengenal Kartini, putri Bupati Jepara yang berusia 12 tahun. Setelah kembali ke Belanda, pada tahun 1899 van Deventer menulis artikel berjudul “Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan” dalam jurnal De Gids. Dikutip dari situs Yayasan Van Deventer Maas, artikel itu menyatakan Belanda memiliki kewajiban moral untuk berinvestasi di Indonesia demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Ia mengabdikan diri sebagai juru bicara Politik Etis, politik balas budi Belanda untuk Indonesia. Tahun 1905 setelah terpilih sebagai Anggota Parlemen Belanda, van Deventer menyuarakan penyediaan pendidikan, irigasi, fasilitas kredit, jalan dan kereta api dan peraturan memerangi kecanduan opium dan mulai penggalangan dana guna mewujudkan cita-cita Kartini yang wafat pada tahun 1904 untuk membangun sekolah.  

Bisa dibilang gagasan dan impian Kartini diwujudkan oleh Conrad van Deventer dan istrinya yang berhasil mendirikan tujuh sekolah Kartini di seluruh Jawa dalam kurun waktu 1913 hingga 1915. Tahun 1915 berdiri Yayasan Van Deventer yang bersama Yayasan Kartini mendukung empat belas sekolah untuk ribuan perempuan dalam periode 1913 hingga 1942. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, yayasan baru bernama Van Deventer-Maas Stichting resmi berdiri tahun 1947 hingga saat ini membantu pendidikan di Indonesia.  
 
Kekuatan Pemikiran Kartini 
 
Meski Kartini bukan pendiri sekolah secara langsung dan bukan yang pertama, namun pada akhirnya saya harus setuju Kartini layak diperingati oleh seluruh perempuan dan laki-laki di Indonesia. Paling tidak ada dua persoalan utama yang muncul dalam surat-surat Kartini yang masih relevan hingga saat ini. Pertama adalah persoalan poligami dan kedua persoalan spiritualitas atau keimanan. Kartini menulis, “Sekalipun tiada jadi orang saleh, kan boleh juga orang jadi baik hati, bukan Stella? Dan “baik hati” itulah yang terutama. Agama itu maksudnya akan menurunkan rahmat kepada manusia, supaya ada penghubungkan silaturahim segala makhluk Allah.” Kartini menulis panjang lebar tentang pandangannya tentang agama dan diakhiri dengan kalimat, “Orang yang berkasih-kasihan dengan amat sangatnya, dengan amat sedihnya bercerai-cerai. Karena berlainan tempat menyeru Tuhan, Tuhan yang itu juga, terdirilah tembok membatas hati yang berkasih-kasihan. Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!” 

Kartini, seorang yang dipingit, tak mengenal pendidikan tinggi, tak mempunyai pengalaman hidup lebih dari 25 tahun usianya yang singkat di bumi ini namun pemikirannya bisa melampaui ruang dan waktu. Goresan pena Kartini menyuarakan kerinduannya akan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam pendidikan dan pernikahan, kesetaraan kelas tanpa kewajiban berjongkok-jongkok di depan para priyayi yang ditentang Kartini serta kesetaraan antar-bangsa antara orang bumiputera dan orang Belanda.  

Kartini yang tak berdaya menentukan masa depannya sendiri ternyata memiliki keberanian menggugat kedewasaan spiritualitas masyarakat, menabur harapan akan kedamaian sesama penyembah Tuhan dan mempromosikan toleransi yang sudah memudar di Indonesia. "Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah kasih sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni,” tulis Kartini yang mati muda setelah melahirkan anak pertamanya. Kebijaksanaan Kartini melampaui usianya yang berakhir pada usia 25 tahun.

Semangat perlawanan Kartini terhadap belenggu tradisi yang merugikan harkat dan martabat perempuan hingga hari ini masih relevan. Isu poligami, perjodohan, pernikahan usia dini, dogma agama dan tradisi yang mengekang kaum perempuan seperti yang ditulis dalam surat-surat Kartini hingga saat ini masih ada. Karena itu tak ada salahnya jika Kartini dikhususkan satu hari dalam setahun. Terima kasih, Kartini. 

 

@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
 
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
 
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.