1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membaca Kembali Kemerdekaan Timor Leste

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
17 Juli 2021

Setelah 20 tahun berlalu, sudahkah kemerdekaan Timor Leste yang sedikit banyak disponsori Australia berbuah manis bagi semua pihak yang terlibat? Opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/3ubV6
Relawan negara asing bantu pemilu di Timor Leste  tahun 2001
Pemilu di Timor Leste tahun 2001Foto: UN

Dari pembicaraan di dataran tinggi Dieng yang beriklim sejuk dan rumah bagi sekian banyak candi-candi tertua di Jawa tersebut, sebuah konflik internasional dilematis yang melibatkan Indonesia diputuskan. Tempat pembicaraan berupa bangunan sederhana itu kini dinamakan Pendopo Suharto-Whitlam, merujuk pada pertemuan Presiden Suharto dan Perdana Menteri Australia Gough Whitlam, pada 1974 silam. Whitlam mengiyakan ambisi teritorial Indonesia di Timor Leste, bekas koloni Portugal yang saat itu tengah bimbang memutuskan masa depannya setelah gagasan dekolonisasi berhembus kencang di negeri induk.

Pada 1975, giliran Presiden Amerika Serikat, Gerald Ford, berkunjung. Agenda dan keputusannya serupa, proyek aneksasi Suharto mendapat restu Amerika. Amerika tidak ingin Timor Leste yang memiliki partai komunis (Fretilin) merdeka dan menjadi negara pijakan bagi agenda-agenda Uni Soviet dan Cina di Asia Tenggara, terlebih ketika belum lama tentara Amerika baru saja dipukul mundur tentara komunis di Vietnam. Rencana serbuan Indonesia kebetulan menjadi momentum untuk menghentikan pamor bagus komunisme saat itu: Timor Leste tidak boleh menjadi Kuba atau Vietnam kedua.

Tentara Indonesia akhirnya dimobilisasikan pada 7 Desember 1975 (Operasi Seroja). Pertempuran tak imbang terjadi, disusul pendudukan dan sekian kasus pelanggaran hak asasi manusia. Tahun 1976, tepatnya 17 Juli, Timor Timur menjadi provinsi ke-27 Indonesia. Di bawah kendali Suharto dan visi pembangunan Orde Baru, provinsi ini menjadi anak emas meski tentara masih terus berseliweran di sana. Tahun 1999, Timor Timur memutuskan untuk berpisah dari Indonesia dan resmi merdeka pada 2002 dengan nama Timor Leste.

Namun kini, setelah 20 tahun berlalu, sudahkah kemerdekaan Timor Leste yang sedikit banyak disponsori Australia tersebut berbuah manis bagi semua pihak yang terlibat? Dan bagaimana orang-orang Indonesia kontemporer sebaiknya bersikap terhadapnya?

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Dari genosida Indonesia ke muka dua Australia

Kontribusi Indonesia kepada Timor Timur masa Orde Baru bukan hanya derasnya kucuran dana segar teratur dari Jakarta atau sekadar pembangunan patung Kristus Raja di Dili (terbesar kedua di dunia setelah Brazil) yang dianggap melambangkan rasa hormat Orde Baru terhadap mayoritas penganut Katolik di sana. Suharto menyebut orang-orang Timor Leste sebagai anak hilang yang telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Namun, apa yang saat itu disebut sebagai "integrasi Timor Timur” lebih terlihat sebagai kebijakan militeristik yang represif.

Pada 1993, Indonesianis Benedict Anderson menulis bahwa metode kekuasaan yang diterapkan Indonesia di Timor Timur setelah integrasi lebih mirip kebijakan untuk membendung musuh alih-alih merangkul saudara sebangsa. Metode-metode kekerasan terlewat batas diterapkan di mana-mana oleh tentara yang memburu gerilyawan-gerilyawan Fretilin. Dari penghancuran desa-desa, pembiaran terhadap kondisi para pengungsi, penculikan anak-anak setempat, dan lain-lain, yang menurut Ben lebih "dingin dan terencana” dibandingkan kampanye penumpasan orang-orang komunis pada 1965-1966 silam. Sulit melihat fenomena ini sebagai sebuah proses integrasi damai.

Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah bagaimana pandangan populer saat itu, tidak hanya elit Jakarta, namun juga publik Indonesia pada umumnya, yang melihat orang-orang Timor Leste sebagai warga negara kelas dua dan subjek yang mesti diberadabkan. Logika kolonial pun muncul ketika hasrat merdeka kemudian dianggap sebagai bentuk nihilnya rasa terima kasih mereka, bahkan pengkhianatan, karena orang-orang Indonesia menganggap telah membangun Timor Timur selama menjadi bagian Indonesia. Inilah mentalitas yang juga dulu ditunjukkan orang-orang Belanda kala berkuasa di Indonesia.

Universitas ternama seperti Oxford dan Yale menjadikan pendudukan Indonesia contoh fenonema genosida modern. Hal itu, meski pahit, adalah kenyataan yang harus diakui publik Indonesia. Timor Leste beruntung karena Presiden Habibie melihat aspirasi Timor Timur selaras dengan visi reformasinya. Meski ditentang, terutama oleh militer, Habibie mendukung referendum Timor Leste. Namun perpisahan tersebut tidak cukup adil karena Timor Timur sudah kehilangan banyak hal dan sialnya pihak yang seharusnya membantu akselerasi politik dan ekonomi negara baru tersebut, Australia, justru mempersiapkan agenda tersembunyi.

Kuncinya adalah sebuah wilayah di perairan Timor yang kaya minyak dan gas alam bernama Celah Timor. Australia menginginkannya, dan mereka ada di antrean terdepan mengingat jasanya sebagai negara yang mendampingi kemerdekaan Timor Leste pada 2002. Namun perundingan bilateral terkait hak dan bagi hasil eksplorasi Celah Timor dicurangi Australia yang ternyata terbukti menyadap kantor pemerintah Timor Timur untuk memaksimalkan keuntungannya dalam negosiasi tersebut. Skandal ini akhirnya ketahuan pada 2012, ketika seorang agen Australia yang terlibat (Witness K) melaporkan aksinya kepada publik. 

Pengkhianatan Australia ini menghambat angan-angan Timor Leste untuk menjadi negara kecil dengan kekayaan besar seperti Singapura dan Brunei. Layaknya Indonesia, kebijakan Australia terhadap Timor Leste terbilang eksploitatif meski dengan cara yang halus. Hidup orang-orang Timor Leste belum berubah drastis, bahkan masa depan terlihat suram ketika persediaan minyak mereka dikabarkan menipis dan jika para pemimpinnya tidak memutar otak untuk mencari alternatif pemasukan negara yang lain, Timor Timur diprediksi akan bangkrut pada 2027 nanti.

Ketakutan Australia 45 tahun silam pun mulai kembali, mengingat Cina kian agresif menawarkan pinjaman untuk Timor Leste, yang jika gagal dibayar, maka Cina punya alasan untuk mencaplok sebagian aset Timor Timur untuk dijadikan pangkalan militer. Ini mimpi buruk bagi Australia yang tengah menentang ekspansi politik dan ekonomi Cina di Pasifik, dan menjadi senjata makan tuan dari kebijakan muka dua mereka terhadap Timor Leste selama ini. Skenario ini tentu juga merugikan bagi Indonesia yang masih berseteru dengan Cina di Laut Cina Selatan.

Lantas, dengan situasi kontemporer yang rumit dan mengkhawatirkan tersebut, apakah sebuah kemerdekaan adalah harga yang pantas bagi kelangsungan masa depan Timor Leste?

Kemerdekaan di persimpangan jalan

Perlu batasan etika dan rasa tahu diri ketika seorang Indonesia ingin berkomentar mengenai masa depan sebuah entitas yang dahulu diperlakukan dengan buruk oleh perangkat otoriter negara ini. Kejayaan Timor Leste adalah hak mereka untuk mewujudkannya, dan sejarah bersama yang penuh dengan luka ini sebisa mungkin tidak menimbulkan dendam baru. Cukup banyak komentar tidak mengenakkan dari sebagian publik Indonesia di dunia maya yang menyebut Timor Leste kualat akibat berpisah dari Indonesia; ini bukanlah pernyataan yang menunjukkan kedewasaan sikap berbangsa dan bernegara.

Satu hal penting tidak boleh dilupakan: kemerdekaan Timor Timur adalah otokritik bagi Indonesia. Gagasan dan idealisme yang dijanjikan negara ini nyatanya belum memuaskan bagi mereka yang mempercayainya. Ini adalah pelajaran besar bagi Indonesia yang masih setengah-setengah menangani sikap tidak kompetennya dalam menghadirkan keadilan menyeluruh terhadap orang-orangnya, misalnya di Papua.

Namun, tentu saja perkembangan Timor Leste patut diamati oleh siapa pun. Ia negara kecil yang tengah berada di persimpangan jalan, dikepung kepentingan para raksasa, dan masih terlunta-lunta menerapkan kemandiriannya. Kemerdekaan dan risikonya adalah opsi yang mereka ambil dan patut didukung, khususnya oleh Indonesia. Hubungan kedua negara kini sudah terbilang baik dan jika Indonesia berniat memainkan peran lebih terhadap Timor Leste maka pendekatan yang ditampilkan harus lebih bersahabat dan penuh rasa menghargai satu sama lain, baik di tingkat pemerintah maupun opini publiknya.

 

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.