1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTimor Leste

Perempuan Dobrak Dominasi Kaum Adam di Pilpres Timor Leste

26 Maret 2022

Di masa perang, perempuan Timor Leste berkontribusi menyediakan makanan dan bergerilya. Kini kandidat perempuan berlaga dalam pemilu di negara yang masih sangat patriarkis ini.

https://p.dw.com/p/491wb
Francisco "Lu Olo" Guterres dari Timor Leste
Kandidat calon presiden Timor Leste, Francisco "Lu Olo" Guterres, saat memberikan suaranya pada pemilu 19 Maret 2022.Foto: Lorenio Do Rosario Pereira/AP Photo/picture alliance

Fenomena yang layak dicermati dalam pemilihan presiden (Pilpres) di Timor Leste pada tahun ini adalah majunya empat kandidat perempuan yang mencalonkan diri sebagai presiden Timor Leste untuk periode 2022 sampai 2027.

Para kandidat perempuan tersebut adalah Isabel da Costa Ferreira dan Maria Helena Lopes de Jesus Pires yang calon independen, serta Maria Ângela Freitas da Silva dari Partai Buruh, dan Armanda Berta dos Santos dari Kmanek Haburas Unidade Nasional Timor Oan - KHUNTO.

Sayangnya, keempat kontestan tersebut gagal mendapatkan suara signifikan dari pemilih Timor Leste saat hari pemungutan suara 19 Maret lalu. Tidak ada satu pun dari keempat perempuan kandidat presiden itu bisa meraih suara lebih dari 10%. Armanda Berta dos Santos meraup suara 8,9%, Maria Helena Lopes de Jesus Pires 1,1%, Isabel da Costa Ferreira dengan 0,6%, dan Maria Ângela Freitas da Silva hanya meraih 0.1% suara.

Kontribusi perempuan dalam kemerdekaan Timor Leste

Peneliti independen Berta Antonieta yang berbasis di ibu kota Timor Leste, Dili, menyebutkan keterlibatan empat kandidat perempuan dalam pemilihan presiden Timor Leste bukanlah hal yang mengejutkan. Berta menuturkan, merunut catatan sejarah, banyak perempuan di Timor Leste turut serta dalam perang gerilya untuk memerdekakan diri dari Indonesia.

"Para perempuan di Timor Leste saat itu kebanyakan berkontribusi menyediakan makanan untuk para gerilyawan," kata Berta saat berdiskusi dengan DW Indonesia dalam bahasa Inggris melalui sambungan telepon.

Berta Antoineta di depan lukisan mural tokoh perjuangan Timor Leste, Rosa Bonaparte Soares.
Berta Antoineta di depan lukisan mural tokoh perjuangan Timor Leste, Rosa Bonaparte Soares.Foto: privat

"Namun, sebagian perempuan Timor Leste tidak hanya menyediakan makanan, tapi juga aktif menjadi bagian dari gerilyawan," katanya lebih lanjut. Ia menyebutkan tokoh perempuan seperti Maria Tapo dan Bilesa yang dulu aktif bergerilya. 

"Saya rasa Timor Leste tidak akan merdeka bila tidak ada keterlibatan perempuan," tutur Berta yang berasal dari Betano, Manufahi, di pesisir selatan Timor Leste.

Timor Lorosa'e atau Timor Leste adalah negara termuda di kawasan di Asia Tenggara. Negara ini pernah dijajah oleh Portugis dari abad ke-18 sampai tahun 1975. Setelah itu, diintegrasikan paksa oleh Indonesia untuk menjadi provinsi ke-27 dengan nama Timor Timur. Tahun 1999 warga Timor Leste menggelar referendum dan memilih merdeka dari Indonesia. PBB secara resmi mengakui kemerdekaan Timor Leste pada tahun 2002.

Masih kental unsur patriarki

Berta Antonieta menyadari, negaranya yang tergolong relatif muda dan masih kuat dengan kultur patriarki. Dalam pilpres yang digelar kelima kalinya setelah kemerdekaan yang diikuti 16 kandidat presiden, setidaknya 48% pemilih adalah perempuan. Kendati demikian, bukan berarti keempat kandidat ini bisa dengan mudah mendapatkan suara dari kalangan pemilih perempuan.

"Ini berdasarkan sejarah. Saya tidak bisa menyalahkan kawan-kawan wanita saya bila mereka memilih kandidat laki-laki. Sosok pahlawan dan pemimpin selalu laki-laki," ujar peneliti independen ini. Dia juga menambahkan, tidak menutup kemungkinan pemilih laki-laki nantinya bisa malah tertarik untuk menjagokan kandidat perempuan.

Berta meyakini, perempuan harus berada di garis depan agar dapat membawa negaranya lebih maju lagi. "Tapi, langkah politik saja belum cukup untuk membawa perubahan pada suatu negara, terutama Timor Leste. Walau begitu, saya optimis perubahan akan terjadi," ujar Berta menandaskan.

Karisma veteran perang kemerdekaan

Athiqah Nur Alami, Kepala Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam kesempatan terpisah, mengatakan kepada DW Indonesia, para pemilih Timor Leste masih melihat figur-figur lawas yang berperan penting dalam kemerdekaan.

"Memang tidak bisa dielakkan karisma dari Ramos-Horta yang pernah menjabat sebagai presiden Timor Leste dari 2007 sampai 2012," kata Athiqah kepada DW Indonesia. Partai FRETILIN dan CNRT masih sangat berpengaruh di Timor Leste, dan para pemilih berharap para kandidat dari generasi tua dapat membawa perubahan lebih baik, ujarnya. 

Menurutnya, pemilihan presiden Timor Leste kali ini terbilang cukup meriah, yang merupakan sinyal bagus untuk generasi muda di negara itu. Namun Athiqah juga menyoroti generasi muda di Timor Leste yang masih menghadapi berbagai masalah pelik, seperti ketersediaan lapangan kerja, malnutrisi dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Selain itu kepala riset politik BRIN menyoroti beberapa masalah sosial yang masih belum selesai di Timor Leste. Antara lain, sekitar 30% penduduknya masih buta huruf dan mungkin saja masih belum paham politik. Hal itulah yang menguatkan mereka memilih kandidat berdasarkan karisma atau citra tokoh-tokoh veteran.

Angin segar calon pemimpin perempuan di Timor Leste

Athiqah Nur Alami mengatakan sangat mengapresiasi keterlibatan perempuan di dunia perpolitikan Timor Leste. Selain itu, konstitusi Timor Leste pun telah menetapkan kuota 38% untuk representasi perempuan.

Ada angin segar yang ditiupkan Timor Leste sebagai negara demokrasi baru, namun sudah sangat percaya diri dengan melibatkan perempuan di parlemen dan sistem pemerintahan.

"Ada (women) empowerment yang bagus di Timor Leste, bisa mengkader calon pemimpin perempuan. Nilai plus dibandingkan negara negara demokrasi yang sudah stabil," pungkas kepala riset politik BRIN itu. (ae/as)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).