1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mencari Galaksi Muda Jauh dari Bumi dengan Ilmu dari Jerman

11 September 2021

Cita-cita setinggi langit harus dikejar. Karena di Indonesia tidak ada teleskop yang memadai, Irham Andika melanjutkan kuliah S3 di bidang astronomi di Jerman.

https://p.dw.com/p/3zzC2
Irham Andika
Foto: privat

Irham Taufik Andika tertarik dengan berbagai hal yang bersifat luar angkasa. Waktu SMA ia tertarik segala hal yang berkaitan dengan perjalanan antariksa. Ia misalnya ingin tahu, bagaimana caranya, supaya manusia bisa hidup di planet lain? Atau mencari alien?

Jadi sejak SMA dia mulai belajar tentang astronomi, dan mencari informasi di ensiklopedia. Dia lalu menimba ilmu di Institut Teknologi Bandung, di bidang astronomi, dan meraih gelar S1 dan S2 di sana. Dibimbing oleh Dr. Ikbal Arifyanto, semasa studinya Irham melakukan riset terkait inti galaksi aktif yang dihasilkan oleh tabrakan antar-galaksi.

Kalau waktu SMA belum ada bayangan ingin melakukan apa setelah selesai berkuliah nanti, sekarang, Irham yang kelahiran di Medan, mengatakan akan menjadi “professional astronomer. Posisinya kalau di universitas, ya menjadi dosen. Atau menjadi peneliti di lembaga riset,” jelas Irham. 

Ketika masih berkuliah S2 di ITB, dia mulai mencari lowongan dan tempat yang menjanjikan bagi seorang ahli astronomi untuk bisa mengembangkan diri. Ternyata Belanda, Jerman dan Australia bisa jadi tempat yang bagus. Karena di negara-negara itu bidang astronomi berkembang baik, mereka juga punya akses ke teleskop paling canggih dan paling besar saat ini. “Sementara kalau di ITB kita punya teleskop yang umurnya udah cukup tua. Dari tahun 1920-an, Observatorium Bosscha di Lembang.” Begitu papar Irham.

Magang di Belanda dan Jerman jadi pendorong riset

Kebetulan, Irham juga pernah ikut “internship” di Jerman dan Belanda, ketika masih berkuliah S1. Kesempatan magang di Jerman, di kota Göttingen, ia peroleh setelah ia mengontak Wolfram Kollatschny, professor di bidang astronomi, yang bersedia membimbing. Profesor itulah yang mengarahkan Irham agar melamar beasiswa di program pertukaran mahasiswa Erasmus .

Di Belanda ia dapat kesempatan magang di Leiden. Ketika itu, universitas di sana punya “summer school”. Mereka punya proyek-proyek yang bisa dikerjakan selama musim panas. Orang yang tertarik bisa langsung kontak pembimbing. Prosesnya melewati wawancara, di mana peminat juga ditanyai  keahlian dan minat risetnya.

Foto menunjukkan Irham Andika bersama beberapa teman di Jenewa.
Ekskursi bersama komunitas "TK Heidelberg Ceria" ke Large Hadron Collider (LHC), akselerator partikel terbesar di dunia. LHC memungkinkan para ilmuwan untuk mereproduksi kondisi sesaat setelah Big Bang dengan menabrakan proton/ion berenergi dan berkecepatan tinggiFoto: privat

Kedua kesempatan magang itu jadi pendorong besar bagi Irham. “Nah, ketemu kan, satu topik riset yang menarik, misalnya meneliti evolusi galaksi. Juga, bagaimana caranya bintang-bintang berkumpul dan membentuk galaksi yang lebih besar.” Tapi masalahnya, dengan  teleskop di Bosscha, tidak mungkin orang melakukan penelitian galaksi-galaksi yang redup, dan jaraknya sangat jauh. “Makanya saya  pikir, coba cari deh, negara mana yang punya fasilitas, supaya bisa meneliti galaksi-galaksi itu.”

Jadi ketika selesai S2 Irham melamar ke beberapa tempat. Salah satu yang menerima adalah Jerman, tepatnya Universitas Heidelberg, tempat dia berkuliah S3 mulai 2018 hingga sekarang. Untuk berkuliah di Jerman, dia mendapat sokongan dari International Max Planck Research School . “Sebetulnya bentuknya bukan seperti beasiswa, tapi kita seperti digaji per bulan. Awalnya 50%, sekarang naik jadi sekitar 75%. Jadi dapat gaji, dan gaji kita dipotong pajak sekian persen,” papar Irham .

Awalnya ia mendapat kontrak tiga tahun dari Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), dan ada kemungkinan memperpanjang setahun. Di  MPIA, total durasi studi Ph.D memang biasanya empat tahun, begitu dijelaskan Irham.

Mencari galaksi muda dan jauh dari Bumi

Untuk mendapat gelar Ph.D, Irham bergabung ke grup riset “Euclid Mission” yang dikepalai oleh Dr. Knud Jahnke. Fokus penelitiannya adalah: fisika alam semesta dini melalui pengamatan galaksi yang masih muda dan terletak jauh dari bumi. “Kita kan tahu, alam semesta kita ini terciptanya dari satu titik singular, namanya ‘big bang’. Kemudian alam semesta mengembang dan meluas, sampai akhirnya membentuk struktur skala besar, gugus galaksi,  sistem keplanetan, dan ada bumi dan matahari yang kita huni saat ini.”

Sebetulnya, kalau kita memandang ke langit, kita seperti memandang ke masa lalu. Karena, cahaya punya batas kecepatan. Misal cahaya matahari yang kita lihat sekarang, sebetulnya itu cahaya delapan menit yang lalu. Jadi jika kita melihat cahaya galaksi yang letaknya jauh, berarti cahaya itu dari  jutaan tahun yang lalu. “Nah, riset saya ini mencoba mencari galaksi-galaksi yang jauh, supaya kita bisa melihat lebih detail, ketika ‘big bang’ terjadi dulu, dia meninggalkan jejak apa di galaksi tersebut.” Dari sana, kita bisa tahu, proses penciptaan dan evolusi alam semesta kita, terutama di masa ketika dia masih muda. Irham menambahkan, risetnya lebih bersifat fundamental. Jadi tidak ada aplikasinya secara langsung.

Setelah selesai kuliah nanti, Irham rencananya akan mencari pekerjaan di Jerman. “Pokoknya ga jauh-jauh dari Eropa,” katanya sambal tersenyum. “Kalau di Eropa, astronomi yang paling maju di Belanda atau Jerman, atau di Belgia. Mereka punya fasilitas observatorium paling bagus, meskipun observatorium mereka itu letaknya tidak di Eropa. Adanya di Chile, di Amerika Selatan.” Jadi Chile juga termasuk negara yang bidang astronominya maju, karena mereka memiliki banyak teleskop di lahannya, yang merupakan hasil kerjasama dengan negara lain.

Memakai teleskop bukan sekadar memakai teleskop

Berkaitan dengan soal teleskop, di situ jugalah letak tantangan terbesar yang ia hadapi untuk melaksanakan riset. Irham menjelaskan, dulu, ketika kuliah di ITB, dia tidak pernah menggunakan teleskop yang harus dia gunakan sekarang. Sehingga untuk mengetahui sistem komputer yang digunakan teleskop besar, juga merupakan suatu tantangan.

Gambar menunjukkan ilustrasi Lubang Hitam
Ilustrasi lubang hitam supermasif di pusat galaksi-aktif terjauh yang pernah ditemukan. Galaksi tersebut berperan penting dalam proses reioinisasi gas dan evolusi struktur skala besar di alam semesta kitaFoto: Robin Dienel/Carnegie Institution for Science

Irham menceritakan, ketika baru tiga bulan dalam program Ph.D dia diberi tugas membuat proposal pengamatan, yang tentu menggunakan teleskop untuk mengumpulkan data. Untuk itu, dia antara lain dituntut membaca dokumentasi panjang, dan mengerti “coding” cara pengoperasian teleskop. Tapi teleskop yang harus ia gunakan tidak hanya satu, antara lain teleskop optik/inframerah-dekat seperti Very Large Telescope, Gemini North Telescope, dan Hubble Space Telescope beserta teleksop radio Atacama Large Millimeter/submillimeter Array. Sedangkan setiap teleskop punya buku panduan penggunaan berbeda-beda. Itu semua harus ia mengerti dalam waktu cepat.

Rumitnya lagi, di MPIA, walupun ada profesor pembimbing, bukan berarti sang profesor mengerti cara pengoperasian semua teleskop. Misalnya untuk mengoperasikan teleskop di Chile, dia harus mencari orang yang mampu terlebih dahulu. “Kemudian ngobrol, kemudian minta diajarin. Tapi kalau ganti teleksop lagi, kita harus cari ahli yang lain lagi,” dijelaskan Irham.

Tantangan itu tentu muncul setiap kali harus menggunakan sistem yang belum dikenal, untuk mendapatkan data. “Dan nanti kalau sudah ada data, bagaimana kita mengolahnya, bagaimana analisisnya? Itu kan menggunakan ‘software’ yang berbeda-beda lagi. Jadi memang dituntut untuk belajar cepat, dan inisiatif mencari ahlinya siapa, dan minta buat diajarin.”

Pernah juga, orang yang diminta menolak untuk mengajarkan keahliannya, kata Irham sambil senyum-senyum. “Itu sering terjadi kalau kita minta dari ‘scientist’ yang sudah senior atau staf permanen. Kan mereka biasanya lebih sibuk, dan punya banyak proyek.” Untungnya, di MPIA banyak anak-anak “postdoc” atau “postdoctoral researcher,” dan mereka punya lebih banyak waktu luang, “dan lebih antusias buat ngajarin.”

Di negeri orang tidak boleh minder

Pelajaran terpenting bagi hidup yang didapat di Jerman adalah: tidak boleh minder. Dia menjelaskan lebih lanjut, dulu waktu ia berkuliah S1 misalnya, jika ada dosen yang memberikan penjelasan, terus bertanya, “Ada pertanyaan, ga?” Biasanya sebagian besar mahasiswa diam saja. Sehingga si dosen juga jadi bingung, mahasiswanya sebetulnya mengerti atau tidak? “Kalo di sini, selalu ada pertanyaan dari mahasiswa ketika dosen menjelaskan. Jadi mereka cenderung lebih aktif, dan ga minder begitu, meskipun pertanyaannya sangat ‘basic’, gitu. Tapi mereka tetap ‘PD’ [percaya diri - ed].”

Selain itu, Irham juga bercerita kadang mengalami semacam Impostor Syndrome. “Jadi seperti kita merasa yang kita kuasai saat ini kurang banget. Sedangkan orang-orang di sekitar kita sepertinya keren banget. Dia ngerti ini, udah ‘publish’ paper di mana-mana, pencapaiannya luar biasa lah. Jadi kita minder banget, gitu.” Padahal kalau digali lebih dalam, orang itu memang “jago”, tapi hanya di bidang riset yang dia kuasai. Hanya kebetulan saja, yang kita lihat adalah hal-hal yang orang itu bisa. “Kita ga ngeliat ‘struggle’ di balik itu.”

Foto menunjukkan observatorium di La Palma
Suasana pagi hari di Roque de los Muchachos Observatory, situs pengamatan astronomi yang terletak di La Palma. Di tempat ini terdapat teleskop optik/inframerah-dekat terbesar di dunia yang bernama Gran Telescopio CanariasFoto: privat

Awan jadi penghalang kesuksesan

Kegagalan juga sudah pernah dia alami dalam riset. Karena pengamatan dengan teleskop sangat tergantung pada cuaca. “Kalau langit tiba-tiba tertutup awan, kita ga bisa ngeliat bintang, ga bisa ngeliat galaksi.” Ditambah lagi, untuk bisa menggunakan teleskop, ia perlu menyerahkan proposal terlebih dahulu. Sedangkan di dunia banyak peneliti yang berminat untuk menggunakan teleskop canggih seperti di Chile atau Hawaii bagi risetnya. Jadi saingan banyak, sedangkan waktu yang diberikan untuk menggunakan teleskop hanya semalam atau dua malam. Celakanya, kesempatan untuk menyerahkan proposal berikutnya baru ada enam bulan lagi.

Dalam situasi seperti itu, peneliti mengambil data dari teleskop lain yang memang disediakan untuk “survey” langit, bukan untuk observasi individual. Jadi mengambil data dari arsip. Payahnya, yang dicari Irham bagi penelitiannya adalah galaksi yang belum banyak ditemukan. Sehingga di data arsip pun, belum tentu ada. Karena ia mengembangkan teknik untuk  menemukan galaksi baru, ia harus melakukan “follow up observation”, artinya: ia harus mengirimkan proposal agar teleskop mengamati ke arah yang ia inginkan, agar bisa menjawab pertanyaan, apa ada galaksinya. Itu tergantung juga, dapat jatah menggunakan teleskop atau tidak.

Jika semua kesulitan itu timbul sehingga tidak mendapatkan data, tetapi harus mempublikasikan “paper”, Irham menjelaskan, hasil akhirnya nanti hanya sampai di tahap bagaimana peneliti melakukan seleksi kandidat galaksi baru. “Tapi tidak bisa sampai tahap konfirmasi, bahwa itu memang galaksi.” Opsi lainnya adalah melakukan simulasi, supaya bisa dilihat bahwa metode observasi ini benar-benar meyakinkan. Sedangkan mengkonfirmasi jadi tugas orang lain.

Semua peluang harus dicoba

Untuk mereka yang berminat spesifik berkuliah Ph.D di Jerman, Irham menganjurkan untuk melihat berbagai kantor yang memberikan beasiswa, misalnya DAAD (Deutscher Akademischer Austausch Dienst), atau juga yang langsung dari universitas dan badan riset, seperti International Max Planck Research School. Itu semua harus dicoba.

Ia juga bercerita, ketika dulu berusaha melanjutkan kuliah S3 di Jerman, dia memberanikan diri mengirimkan email dan mengontak profesor yang berpotensi untuk jadi pembimbing, “Pak, ada lowongan, ga? Saya kebetulan punya minat di bidang ini. Saya dari Indonesia dan sudah punya pengalaman.” Banyak yang tidak memberikan respon sama sekali. Tapi ada juga yang memberikan jawaban dan menganjurkan untuk melamar beasiswa tertentu. “Emang harus disiapin dari jauh-jauh hari.”

Spesial untuk astronomi, Irham menyarankan untuk berkuliah di Eropa atau Jerman, karena ada konsorsium penelitian dan teleskop yang bagus, dan peneliti punya peluang ke observatorium itu.

SIM bisa jadi syarat penelitian

Irham juga bercerita ketika dapat kesempatan mengadakan pengamatan selama sepekan di observatorium di La Palma, yang merupakan salah satu pulau di kepulauan Canaria, Spanyol. Tempat mendarat kapal terbang adalah di dekat pantai. Yang penting untuk bisa pergi ke observatorium adalah punya SIM, atau kenal orang yang bisa menyetir mobil, karena observatorium letaknya di puncak gunung.

Taksi ada, tetapi terlalu mahal. Selain itu, pulau itu berpenduduk, tetapi penduduk hanya ada di kawasan pantai. Jadi agar bisa sampi ke puncak, hanya bisa mengandalkan GPS. Untungnya ketika itu, Irham pergi ke sana bersama seorang teman, dan teman itu bisa mengemudikan mobil. Yang juga penting kalau sedang mengadakan pengamatan, harus bisa “switch” tidur di siang hari, dan bekerja di malam hari.

Harus membangun “network”

Saran terakhir bagi orang yang akan berkuliah di Jerman adalah: Harus membangun jaringan, harus punya teman. Teman tidak perlu dekat, kata Irham, tapi yang penting kenal. Sehingga jika kita punya pertanyaan, atau harus membuat proyek, bisa mudah mengontak orang untuk kolaborasi atau kerjasama. Terutama di bidang astronomi, lapangan kerjanya sangat sedikit.

Menurut Irham, lebih dari 50% lulusan S3 di bidang astronomi beralih ke industri, bisnis, “engineering” dan sebagainya. Jika ingin tetap bekerja di bidang astronomi dengan status “postdoc”, profesor kerap memilih orang yang sudah pernah dia kenal sebelumnya dari misalnya, konferensi. Jadi konferensi harus dimanfaatkan agar lebih mengenal orang. “Jangan hanya diem di lab aja, dan  terlalu fokus di riset kita.” (ml/hp)