1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Berlin Rencanakan Dua Monumen untuk Hormati Buruh Migran

Julie Gregson
2 Mei 2024

Tugu dibuat sebagai pengakuan atas kontribusi dan sumbangsih kaum migran di Jerman. Rencana itu diumumkan di tengah meningkatnya xenofobia terhadap pencari suaka dan hajat bisnis demi datangkan pekerja asing.

https://p.dw.com/p/4fQ9P
Gerbang Brandenburg di Berlin
Gerbang Brandenburg sebagai ikon kota BerlinFoto: Hauke-Christian Dittrich/picture alliance

Kawasan Kreuzberg di Berlin sendirinya adalah monumen multikulturalisme di Jerman. Kawasan yang dulu dihuni buruh muslim asal Turki itu kini menjadi salah satu episentrum gerakan kesetaraan gender dan tempat kumpul bagi kaum LGBTQ+.

Saat ini pun, bahasa Turki. di samping Jerman, masih mendominasi kehidupan sosial di Kreuzberg, di samping bahasa Inggris dan Spanyol yang belakangan mulai sering terdengar.

Di Kreuzberg, pemerintah kota berniat membangun sebuah monumen untuk mengenang generasi pertama buruh migran di Berlin. Proyek itu juga mencakup sebuah tugu lain untuk menghormati bekas „buruh kontrak” asal Vietnam dan „negara saudara sosialis” lain, yang dulu diundang bekerja ke Jerman Timur.

Proyek tersebut digagas Senator Berlin Sevim Aydin, yang sendirinya berdarah migran. Menurutnya, kontribusi kaum migran di Jerman selama ini tidak dihargai.

„Kaum migran selalu digambarkan dalam nuansa negatif. Saya kira sekarang sudah saatnya mengaitkan mereka dengan hal-hal positif,,” kata dia kepada DW.

„Banyak buruh dari generasi pertama migran yang tidak bisa berbicara bahasa Jerman. Tapi mereka tetap bekerja, membesarkan keluarga dan membantu menjalankan negara ini,” imbuhnya. „Saya ingin agar aspirasi orang-orang ini ikut didengar.”

Lebih dari 25 persen penduduk Jerman, yang berjumlah sekitar 83 juta orang, memiliki latar belakang migran, menurut Badan Statistik Federal. Di kalangan anak-anak, angkanya meningkat hingga 40 persen.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Realita multikultural di Jerman

Dari sekitar satu juta monumen yang diperkirakan tersebar di penjuru negeri, hanya segelintir yang mencerminkan sejarah multikulturalisme di Jerman.

Frankfurt menjadi kota pertama yang menggagas tugu peringatan bagi "pekerja tamu" tahun 2004 lalu. Tapi hasilnya diperkirakan baru akan terwujud pada dekade 2030an.

Adapun museum sejarah migrasi di Köln, yang akan dibuka pada 2029 nanti, dicanangkan oleh kelompok migran Turki sejak akhir dekade 1980an.

Senator Sevim Aydin berharap, proyek pembangunan tugu peringatan migran di Berlin akan tuntas dalam tempo singkat, sehingga masih bisa disaksikan perwakilan generasi pertama pekerja migran.

Tujuannya bukan cuma pembangunan monumen, melainkan juga mendokumentasikan sejarah migrasi buruh asing dan pengalaman migran setelah Perang Dunia II, baik di Berlin Barat dan Timur.

Migran Nigeria Bertahan Hidup Selama Dua Minggu di Bagian Bawah Kemudi Kapal Kargo

"Tugu ini harusnya mengisahkan penderitaan dan kegembiraan,” kata Aydin, yang berusia enam tahun ketika dibawa keluarga bermigrasi ke Jerman pada tahun 1978. Ayahnya tiba pada awal dekade 1960an sebagai buruh tambang, sebelum kelak membuka sebuah kedai kopi di Berlin.

Marak diskriminasi di Timur

Direktur Museum FHXB Friedrichshain-Kreuzberg, Natalie Bayer, mengatakan kepada DW bahwa proyek tugu buruh migran juga akan menyoroti rasisme di kedua sisi kota.

"Anda tidak bisa membandingkan. Tapi menurut saya pengalaman rasisme yang dialami ‚buruh kontrak' di Jerman Timur jauh lebih dramatis,” kata Bayer, yang dibesarkan oleh ibunya yang warga Korea di bekas Jerman Barat.

Pada dekade 1980an, pemerintah Jerman Timur atau DDR giat mendatangkan buruh dari negeri komunis lain, yakni Vietnam dan Mozambik untuk menyelamatkan ekonomi yang diterpa krisis.

Dalam banyak kasus, buruh asing dipaksa menyerahkan paspor saat kedatangan. Bagi perempuan, kehamilan umumnya direspons dengan aborsi atau terancam dideportasi. Para pendatang baru ini sebagian besar hidup terpisah dari penduduk asli Jerman Timur. Interaksi sosial jelas tidak diinginkan.

Banyak migran yang datang dengan harapan atau karena dijanjikan mendapatkan pelatihan dan pekerjaan yang lebih baik. Mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar berupah murah untuk menopang perekonomian DDR di tengah kemerosotan produksi. Sebagian dari gaji mereka ditahan tanpa persetujuan untuk melunasi utang negara atau untuk membengkakkan kas pemerintah.

"Kami sebenarnya adalah budak modern,” kata Adelino Massuvira Joao, mantan buruh kontrak asal Mozambik.

Mayoritas buruh asal Mozambik kembali ke kampung halaman setelah runtuhnya DDR dan Uni Sovyet. Banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan bagian gaji yang ditahan atau kompensasi yang dijanjikan.

Massuvira Joao, yang memutuskan tinggal di Jerman, sejak lama terlibat dalam kampanye menuntut pelunasan gaji dari pemerintah Jerman.

Diskriminasi dan pekerjaan kasar

Bagi bekas Jerman Barat, buruh migran pertama didatangkan dari Italia dan kemudian selatan Eropa pada pertengahan tahun 1950an. Buruh asal Turki baru berdatangan pada awal dekade 1960an yang kemudian berkembang menjadi kelompok terbesar.

Buruh asing umumnya mendapatkan pekerjaan kasar dengan gaji rendah yang sebabnya tidak populer di kalangan tenaga kerja Jerman.

Meski demikian, mereka menghadapi pengucilan, diskriminasi dan rasisme di kedua sisi tembok. Karena menurut rencana, buruh migran tidak seharusnya menetap di Jerman.

Gul Ataseven-Ozen datang ke Jerman pada tahun 1972 ketika berusia 18 tahun. Setelah dua kali bekerja di pabrik, dia mendapat pekerjaan sebagai guru dan mulai aktif secara politik.

"Kami ikut membantu membangun Jerman. Banyak dari generasi kedua yang terjun ke dunia politik atau bisnis, seperti anak saya. Saya menghabiskan 30 tahun bekerja di bidang pendidikan. Sejarah ini harus dihormati. Kami ingin menunjukkan kepada generasi berikutnya dan juga generasi yang sudah ada bahwa kami juga terlibat aktif di sini, bahwa kami telah berpartisipasi dan berkontribusi,” katanya kepada DW.

Masa penuh gejolak di Jerman

Proyek monumen senilai setengah juta euro di Berlin muncul setelah terungkapnya sebuah diskusi rahasia kelompok esktrem kanan yang mengagendakan deportasi massal imigran dan warga negara Jerman berlatar belakang asing.

Tekanan kelompok populis kanan dalam isu imigrasi turut mendorong reformasi keimigrasian di Jerman. Pemerintah federal mempermudah penerimaan pekerja terampil dari luar negeri.

Peneliti migrasi Noa Ha mengatakan pemerintah koalisi kiri-tengah telah menyusun rencana legislatif yang ambisius untuk memodernisasi Jerman, sebelum negara itnidihadapkan pada berbagai krisis dan kebangkitan kelompok sayap kanan.

rzn/hp