1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikSuriah

Apa Dampak Normalisasi Arab bagi Rakyat Suriah?

Cathrin Schaer | Khaled Salameh
18 April 2023

Ketika negara-negara Arab siap menyambut kembali Suriah dari isolasi panjang, apakah rehabilitasi politik bagi Damaskus akan membantu sekkitar 90 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan?

https://p.dw.com/p/4QCPI
Perdagangan di Raqa, Suriah
Perdagangan di Raqa, SuriahFoto: DELIL SOULEIMAN/AFP/Getty Images

Kematian lewat racun, kata Dewan Islam Suriah, adalah "seribu kali lebih mudah ketimbang rekonsiliasi dengan kelompok kriminal yang menghancurkan negeri ini dan membantai penduduknya," demikian tulis organisasi di Istanbul, Turki, yang mewakili otoritas agama di kalangan oposisi Suriah.

Namun, sikap antipati kaum oposisi bertolak belakang dengan perkembangan teranyar di Timur Tengah. Sepanjang tahun ini, pemerintahan Bashar Assad banyak melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri. Padahal, Damaskus resminya sedang menjalani isolasi karena menumpas pemberontakan Musim Semi Arab 2011 dengan brutal.

Menyusul kunjungan menteri luar negeri Suriah ke Arab Saudi pekan ini, Damaskus diperkirakan akan kembali diterima di Liga Arab selambatnya pada pertengahan Mei mendatang. Sudah sejak Konferensi Keamanan di München, Jerman, Februari lalu, Menlu Arab Saudi Faisal bin Farhan al-Saud mengatakan bahwa "di dunia Arab mulai terbentuk konsensus betapa status quo di Suriah tidak lagi berfungsi."

Normalisasi: Berkah bagi ekonomi?

Diperkirakan sebanyak 90 persen penduduk Suriah hidup di bawah garis kemiskinan. Adapun nilai tukar mata uang Lira Suriah anjlok sebanyak 75 persen, ketika angka inflasi bertengger di kisaran 55 persen. Akibatnya, pemadaman bergilir dan kelangkaan air menjadi lumrah. Situasi ini diperparah dengan tingginya angka pengungsi domestik yang mencapai 6,8 juta orang.

Namun begitu, analis meyakini rehabilitasi politik bagi pemerintah di Damaskus belum akan memperbaiki nasib penduduk Suriah secara langsung.

Perkembangan di Timur Tengah, "bisa dipastikan tidak digerakkan oleh niat untuk mengurangi penderitaan warga Suriah atau oleh ambisi regional untuk memperbaiki taraf hidup penduduk di sana," kata Julien Barnes-Dacey, Direktur Program Timur Tengah di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri. "Yang terpenting di sini adalah tatanan regional dan dampak eksternal dari konflik Suriah terhadap kawasan, seperti penyelundupan narkoba atau pengungsi."

Pemerintah Suriah dicurigai mendorong perdagangan captagon, sejenis amfetamin, yang dulu dikabarkan banyak digunakan serdadu Islamic State (ISIS). Kini, volume perdagangan narkoba di sana mencapai USD50 milliar.

Hal lain yang mendorong normalisasi hubungan diplomasi antara negara Arab dan Suriah adalah prospek kepulangan pengungsi, serta membatasi kebergantungan Damaskus terhadap pemerintah Iran. Sebagai gantinya, Suriah mendapat pengakuan politik dan dana  pembangunan kembali. Terlebih, jika situasi memburuk, negara-negara Arab mengkhawatirkan dampaknya terhadap stabilitas di kawasan.

"Jadi, normalisasi ini menunjukkan bahwa kawasan Arab bergeser ke strategi kerja sama langsung untuk menanggulangi masalah yang berdampak terhadap mereka. Jadi ini tidak menunjukkan adanya dinamika baru di dalam Suriah yang membuka ruang politik baru dan bisa mewadahi solusi jangka panjang dan stabil bagi masyarakat Suriah sendiri," tutur Barnes-Dacey.

Potensi di balik perdamaian

Salah satu dampak positif terbesar yang bisa diharapkan adalah kemudahan bagi warga Suriah untuk berpergian ke luar negeri. "Normalisasi akan membuka akses perjalanan," kata Hamid, seorang warga Suriah yang hidup di wilayah oposisi. "Satu-satunya yang saya bisa pikirkan adalah keluar dari sini. Tidak ada yang baik di sini. Dan emigrasi akan selalu lebih baik ketimbang masuk tentara, di mana saya akan dipaksa berkontribusi pada pembantaian."

Pendapatnya itu diamini Zaky Mehchy, peneliti di lembaga wadah pemikir AS, Chatham House. Menurutnya, pembukaan perbatasan "akan menguntungkan warga Suriah secara umum," kata dia kepada DW. "Contohnya adalah, warga diaspora bisa mengunjungi keluarganya di Suriah dengan lebih mudah. Mereka akan membawa uang dan dalam skala besar hal ini bisa menghidupkan kembali ekonomi lokal."

Meski investasi langsung dari kawasan Teluk cenderung mustahil, negara-negara kaya Arab bisa membantu pembiayaan proyek rekonstruksi lewat utang, seperti misalnya pembangunan pembangkit listrik. "Kita hanya bisa berharap ada keuntungan-keuntungan kecil yang bisa membantu warga Suriah bertahan hidup," kata Barnes-Dacey.

Karena normalisasi pada dasarya hanya menguntungkan dinasti Assad. "Tidak akan pernah ada perjanjian yang baik di bawah rezim otoriter," kata Mehchy. "Jadi bisa dibayangkan apakah ada perjanjian baik antara dua rezim yang otoriter?," imbuhnya, merujuk pada kerajaan-kerajaan di Teluk.

Jurnalis Suriah, Omar Albam, ikut membantu pembuatan laporan ini dari Provinsi Idlib.

(rzn/ha)