1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Akhir Bahagia Politik Identitas

26 April 2017

Politik identitas yang dimulai sejak berbulan-bulan di Jakarta kini berakhir bahagia. Tidak ada utang yang tersisa di antara jenderal, komandan, para prajurit, serta rakyat. Simak opini Geger Riyanto

https://p.dw.com/p/2bt8z
Anies Baswedan Indonesischer Bildung- und Kultusminister
Foto: DW/H.Pasuhuk

Bagaimana kita tega mengatakan politik identitas yang berlarut-larut beberapa bulan ini tidak berakhir bahagia? Anies, yang peruntungan politiknya selalu naas, akhirnya memperoleh mandat politik yang sepadan dengan predikat-predikat intelektualnya.

Satu tombol ditekannya untuk menanggalkan identitasnya yang selama ini identik dengan "Islam liberal” dan "Syiah,” lantas ia memperoleh satu jabatan yang merenggut perhatian tidak adil dari media massa.

Presiden Anies Rasyid Baswedan Ph.D.? Orang nomor satu Indonesia yang merupakan cendekiawan sekaligus figur pemimpin Islam? Ini pun kini bukannya mustahil apabila ia menjalani jabatannya dengan siraman cinta tak henti dari para pendukungnya.

Prabowo, yang terus-menerus ditusuk oleh insan-insan yang dibesarkannya sendiri, dari Jokowi hingga Ahok, pun memperoleh pembalasan yang didapatkan Mande Rubayah—Ibu Malin Kundang.

Prabowo berterima kasih kepada semua orang yang bisa dihaturkannya ucapan terima kasih. Kita dapat memahami ini. Ia adalah sang ayah yang akhirnya berhasil menyaksikan anak-anak yang durhaka mendapat ganjarannya. Ditambah, ia kini mempunyai kuda hitam yang dapat memberikannya kesempatan menandingi Jokowi di pemilihan mendatang.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

FPI puas, umat pun puas?

Rizieq Shihab memenangkan perjuangan akbar yang telah dirintisnya berbulan-bulan silam. Gelar imam besar Islam yang disandangkan kepadanya oleh kelompoknya sendiri akan diakui meluas. Ia akan dikenal sebagai sosok penggerak umat tanpa tandingan.

Dan umat, tentu saja, yang menginginkan pimpinan yang tak menista agama, akhirnya mempunyai pemimpin yang mereka yakini Islami. Tak peduli sebelumnya ia disandingkan dengan macam-macam dakwaan sesat. Tak peduli sebelumnya ia berdiri jauh di seberang ormas-ormas radikal yang kini merengkuhnya.

Politik identitas, yang telah merusak hubungan pertemanan banyak orang, mengisap perhatian semua provinsi secara tak perlu, menghamburkan berlimpah-limpah uang dan sumber daya, berakhir dengan indah. Apa yang kurang?

Ada beberapa. Tapi, tentu saja, tidak banyak dan tidak terlalu penting. Isu ketimpangan dan marjinalisasi, contohnya saja, tidak pernah mewarnai pekik-pekik yang diteriakkan para pembela identitas. Faktanya, penggusuran dalam kurun dua tahun terakhir di Jakarta telah menuai korban yang jumlahnya bisa jadi melampaui periode kepemimpinan gubernur-gubernur sebelumnya. LBH Jakarta mencatat korban penggusuran yang dilakukan Ahok sebesar 25.533 korban. Dari semua penggusuran yang dilakukan, hanya 5 persen dari antaranya yang dilangsungkan setelah melalui mekanisme musyawarah.

Angka-angka dramatis ini tidak penting. Kalau ia penting, ia tak seharusnya raib di belantara hingar-bingar perjuangan melengserkan sang penista dari jabatannya. Demikian juga dengan perbincangan perihal program-program yang akan menyangkut jaminan sosial yang dibutuhkan warga. Perbincangan tentang KJS, KJP, rumah DP 0 persen tidak cukup penting dan, karenanya, ia tak pernah terdengar di antara seruan-seruan untuk mengangkat seorang pemimpin yang seagama.

Bila Anda belum mendengarnya, Anda mungkin perlu mendengar satu hal ini: temuan exit poll Indikator Politik Indonesia menunjukkan, 58 persen pemilih kandidat nomor tiga memilih dengan pertimbangan mereka mempunyai agama yang sama dengannya. Para pemilih yang memilih dengan pertimbangan program kandidat terpilih meyakinkan? Tak lebih dari tujuh persen. Dengan pertimbangan kandidat terpilih akan membawa perubahan? Sembilan persen. Dan yang kian memukau adalah ini menjadi pertimbangan memilih di satu tempat di mana empat orang terkaya menguasai kekayaan setara dengan 100 juta warga termiskin.

Tetapi, bukankah kita memang tak pernah terlalu muluk-muluk menuntut perubahan riil dalam pusparagam ajang yang silih berganti meminta kita mengamanahkan mandat kepada orang-orang yang tidak kita kenal? Bukankah kita, memang, tak pernah mempunyai ekspektasi yang sama luar biasanya untuk figur-figur yang menjajakan janji-janji luar biasa itu?

Selepas sang pemimpin terpilih, mereka jamak menghilang ke balik tabir tak terjangkau. Mereka beranjak ke kehidupannya yang baru, yang lebih bermartabat, dan yang bertaburan peluang-peluang menarik. Kita kembali ke kehidupan yang fana dan penat—persis atau mungkin lebih tak menyenangkan dibandingkan sebelum pemilihan. Kita bukan hanya sudah tahu ini. Kita sudah terlalu dibiasakan dengan ini. Dan kita, tetap saja, senang dengan janji-janji baru yang ditawarkan beberapa tahun selepasnya.

Dengan perulangan-perulangan yang melelahkan itu, maka janji yang paling bisa dipegang dalam perhelatan politik adalah janji kemenangan dalam sebuah perang imajinatif. Sebuah janji yang tak perlu repot-repot dituntaskan. Janji yang tunai tepat sesudah satu kandidat terpilih.

"Perang Badar"sudah  dimenangkan

Dan inilah mengapa kita bisa mengatakan politik identitas yang dimulai sejak berbulan-bulan silam di Jakarta kini berakhir bahagia. Tidak ada utang yang tersisa di antara jenderal, komandan, para prajurit, serta rakyat yang terlibat dalam perjuangan. "Perang Badar" sudah dimenangkan. Dan selanjutnya, orang-orang—para elite, tepatnya—akan belajar bahwa mengumpamakan kampanye mereka dengan perang adalah hal yang paling ampuh menggugah emosi serta menggerakkan orang-orang. Bonusnya, mereka tak perlu menjajakan janji apa pun yang akan membuatnya terikat dengan pemilihnya.

Memang, politik identitas tidak berakhir indah bagi segelintir kecil orang yang nama komunitas etnis, agamanya menjadi sasaran empuk ujaran-ujaran kebencian yang terus-menerus mencuat darinya. Mereka, memang, tersisih dari akhir bahagia. Dan, bukan hal yang hanya sekali-dua kali mereka tak hanya lekat dengan dakwaan-dakwaan menyakitkan melainkan juga terenggut semua yang dimilikinya. Tetapi, jumlah mereka toh secuil. Kita tak harus menyaksikan wajah cemas dan gusar mereka karena mereka jauh di luar dinding di mana kita merayakan kemenangan.

Maka, ini adalah akhir terbaik yang mungkin didapatkan semuanya. Kalaupun kita tak memperoleh apa pun nantinya dari oligarki baru yang terbentuk setelah ini, kita masih bisa mengatakan, kita pernah meraih satu kemenangan simbolik. Satu kisah yang bisa diceritakan dengan bangga setidaknya.

Penulis:

Geger Riyanto

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.